Johan Kohar: Relawan Tzu Chi Jakarta
Menerapkan Injil Dalam Perbuatan


Sebagai Prodiakon, Johan bertugas melayani umat di gereja tempatnya bernaung. Kerinduan untuk bisa melayani lebih banyak orang mempertemukannya dengan Tzu Chi. Di organisasi kemanusiaan ini, Johan bisa bertemu dan melayani orang dari berbagai latar belakang agama, suku, ras, maupun golongan.

Doa Johan untuk bisa melayani lebih banyak orang akhirnya terkabul. Sebagai Prodiakon (Asisten Pastur), Johan bertugas melayani umat di Gereja Fransiskus Xaverius, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Mulai dari kebaktian, memberikan siraman rohani, sampai konsultasi mengenai keimanan dan kehidupan sehari-hari dijalani pria kelahiran Palembang, 14 Desember 1952 ini.

Namun, bekerja kemanusiaan seolah menjadi “candu” baginya. Merasa “kolamnya” terlalu kecil, Johan pun berkeinginan terjun ke kolam yang lebih besar. Tentunya dengan air yang sama: jernih, bersih, dan menyegarkan. Hanya beda ukuran, tetapi manfaatnya sama untuk kemanusiaan. Dan “kolam” itu ia temukan di Tzu Chi. “Selama ini saya hanya melayani di lingkungan gereja saja. Di dalam hati ada kerinduan untuk bisa melayani lebih banyak orang. Di Tzu Chi saya menemukan ini, bisa melayani orang dari berbagai latar belakang agama, suku, ras, dan golongan,” ungkap Johan.

Jika di Tzu Chi pertemuan ini disebut jalinan jodoh, bagi Johan ini merupakan panggilan-Nya. Jawaban Tuhan atas doa-doanya selama ini. Dimulai dari melihat tayangan-tayangan DAAI TV, perjumpaan Johan dengan Ji Shou Shixiong (relawan Tzu Chi asal Malaysia) di Jing Si Books & Café Kelapa Gading sebelas tahun silam semakin menguatkan tekadnya menjadi relawan. Ditemani sang istri, Elisabeth Fairiana, mereka mulai aktif mengikuti kegiatan Tzu Chi.

“Yang bikin tertarik jadi relawan Tzu Chi itu karena Master Cheng Yen kan bilang kalau Tzu Chi itu lintas agama, bisa bantu banyak orang. Jadi kita toleransi, kita berbagi kepada semua umat,” ungkap Ketua Misi Amal He Qi Timur ini. Johan kemudian mengaitkannya dengan ajaran agama yang dianutnya. Menurutnya, di ajaran Kristen ada lambang Salib, yang secara horizontal bermakna mengasihi sesama umat manusia. “Kasihilah sesama manusia seperti mengasihi dirimu sendiri,” kata Johan mengutip Injil. Sementara secara vertikal itu memiliki makna mengasihi Allah Sang Pencipta.

Dilahirkan dalam keluarga yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, rasa toleransi tumbuh subur dalam dirinya sejak kecil. “Adik saya Islam, kakak Kristen, kakak satunya Buddha. Paman saya bahkan seorang haji, tetapi kami bisa saling respect satu sama lain. Karena itu saya bingung kalau orang bisa bertentangan karena perbedaan agama,” tegas ayah lima orang anak ini.   

Mendalami Ajaran, Mempraktikkannya Dalam Keseharian
Mendalami ajaran agama dan mempraktikkannya di masyarakat, dua hal inilah yang dilakukan Johan dengan menjadi relawan Tzu Chi. Sebagai Asisten Pastur, Johan dituntut untuk bisa memberikan “siraman rohani” kepada umat di gereja. Injil menjadi panduannya, dan Tzu Chi ladang praktiknya. “Injil kita dalami dan terapkan dalam perbuatan. Ketika ceramah saya bisa bawakan pengalaman saya di Tzu Chi ke dalam Injil itu. Jadi tidak hanya teori, karena saya juga pelakunya,” terang Johan.

Johan juga berkeinginan agar umat di gereja lebih banyak tahu tentang Tzu Chi. “Saya mau menjembatani supaya orang nggak salah pengertian, alergi dengan Tzu Chi karena Yayasan Buddha. Dia harus masuk dulu biar tahu kalau (jadi relawan) tidak bertentangan dengan ajaran agamanya,” terang Johan.


Sebagai Prodiakon (Asisten Pastur), Johan bertanggung jawab melayani umat di gereja. Kerinduan untuk bisa melayani lebih banyak orang lagi mendorong Johan untuk bergabung menjadi relawan Tzu Chi.  

Mengutip yang disampaikan Master Cheng Yen, Johan mengatakan bahwa Master Cheng Yen tidak pernah meminta relawan yang non Buddhist untuk pindah agama. Beliau hanya minta para relawan menjalankan ajaran agamanya dengan baik dan benar. Hal inilah yang membuatnya merasa berada di tempat yang tepat, sekaligus memiliki sosok guru yang humanis dalam kemanusiaan. “Di Tzu Chi saya belajar banyak tentang pelayanan. Kita jangan puas begitu aja dengan pelayanan gereja, tetapi bisa juga ambil yang baik-baiknya dari Tzu Chi. Begitu juga sebaliknya,” kata Johan.

Melayani Sesama, Memahami Karakter Banyak Orang

Di masa-masa awal bergabung, hampir semua kegiatan Tzu Chi dijalani Johan. Mulai dari misi amal, kesehatan, pendidikan, hingga pemberian bantuan bagi korban bencana. Di Tim Tanggap Darurat Tzu Chi, jejak Johan terlihat dalam pemberian bantuan bagi korban angin puting beliung di Kepulauan Seribu dan banjir bandang di Manado, Sulawesi Utara. Namun dari semua ini, misi amal yang berhasil “mengunci” hatinya.

Sebagai akar dari Tzu Chi, misi amal banyak memberi pelajaran tersendiri bagi relawan yang dilantik sebagai Komite tahun 2016 ini. “Saya semakin mensyukuri berkah dan juga belajar banyak dari para Gan En Hu (penerima bantuan) tentang kesabaran, ketabahan, dan kekuatan mereka. Ini membuat saya belajar bagaiamana membentuk karakter yang baik,” kata Johan. Beragam karakter sering ditemui Johan. Meski sama-sama penerima bantuan, namun karakternya berbeda-beda. Ada yang sejak awal memiliki sikap optimis, dan banyak juga yang pesimis dalam memandang kehidupannya. “Saya belajar kejiwaan orang secara tidak langsung,” ungkapnya.  

Johan membandingkannya jika ia hanya sebatas melayani di lingkungan gereja. Pengalamannya mungkin tidak sekaya ini. Ibarat pelangi maka cuma ada satu warna saja. Padahal keindahan pelangi justru terletak pada keragamannya, perbedaannya, dan variasinya. “Di Tzu Chi saya belajar bagaimana bergaul dengan orang-orang yang tidak seagama, bagaimana menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Belajar mengerti orang lain, belajar sabar, dan terus berlatih membentuk karakter terbaik,” tegasnya.

Dari sekian banyak pasien dan penerima bantuan, ada dua orang yang menginspirasi Johan: Agatha Meralda Stevanya Montolalu dan Mimi. Agatta menderita kelumpuhan akibat kecelakaan, dan Mimi mengidap kanker serviks stadium 4.


Mendalami ajaran agama dan mempraktikkannya di masyarakat, dua hal inilah yang dilakukan Johan dengan menjadi relawan Tzu Chi. Injil menjadi panduannya, dan Tzu Chi ladang praktiknya.    

Agatta (20), mengalami kelumpuhan (dari pinggang ke bawah) setelah terjatuh saat atraksi panjat dinding di kampusnya. Masa-masa itu menjadi masa terkelam dalam hidup Agatta. Gadis ini sering menjerit histeris karena sedih, kalut, dan, marah. Ia belum bisa menerima keadaannya. Beberapa kali ia bahkan mencoba bunuh diri. “Mamanya bilang, ‘kalau kamu mau bunuh diri, ya udah nggak papa, Mama akan temani’,” kata Johan mengulangi perkataan Anny Pankey, Ibu Agatta dua tahun lalu.

Kejadian ini cukup mengkhawatirkan Johan karena keluarga ini termasuk keluarga yang religius. Agatta adalah seorang mudito (muda-mudi) di gereja, dan keluarganya juga aktif beribadah. Mereka merasa sudah menjalankan ajaran agamanya dengan baik, tetapi mengapa masih mengalami cobaan berat seperti ini. Bahkan sudah sampai tahap mempertanyakan keadilan Tuhan.

Beruntung, situasi itu tidak terlalu lama. Kehidupan keluarga ini kembali bergairah ketika insan Tzu Chi mulai hadir di hati mereka. Johan yang kala itu memberikan konseling di gereja membawa asa baru bagi Agatta. Berbicara dari hati ke hati, terkuak keinginan terpendam Agatta. Sesuatu yang selama ini menjadi kekhawatiran dan kendala terbesarnya. Ternyata Agatta menginginkan sebuah ranjang seperti di rumah sakit. Bukan demi kenyamanan dirinya, tetapi semata-mata untuk meringankan beban mamanya. “Agatta merasa mamanya stuck buat jaga dia. Ekonomi keluarga turun karena Mamanya nggak bisa kerja lagi. Kalo ada ranjang itu dia bisa lebih mandiri,” terang Johan.

Gayung bersambut. Keinginan Agatta disampaikan Johan ke Tzu Chi, dan disetujui. Menjelang Natal, ranjang pun dikirim ke rumah Agatta. Tangis sukacita pun pecah di rumah yang sederhana itu. “Agatta bilang, ‘saya sudah komplain sedemikian rupa kepada Tuhan, tetapi Tuhan menjawab pada waktunya’,” kata Johan. Dan jawaban itu datang melalui Tzu Chi.

Pendampingan terhadap Agatta terus dilakukan. Bukan hanya mengobati raganya, tetapi juga jiwanya. Imbasnya, gadis ini pun kemudian berkeinginan untuk kuliah lagi. “Kami juga ajak Agatta untuk sharing, memberi motivasi kepada penerima bantuan lainnya. Dengan begitu, ia merasa hidupnya masih berguna, masih bisa memotivasi orang lain,” terang Johan. Seiring semangat Agatta yang tumbuh, kehidupan ekonomi keluarga ini pun kembali bergeliat. Sang Mama kemudian bisa bekerja kembali, menopang kebutuhan ekonomi. “Jadi ketika seorang pasien bisa sembuh maka sesungguhnya yang sembuh bukan hanya diri pasien itu sendiri, tetapi juga seluruh keluarganya,” tegas Johan.

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto

Bekerja untuk hidup sangatlah menderita; hidup untuk bekerja amatlah menyenangkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -