Johny Chandrina
Berubah untuk Lebih Baik


”Segala macam jenis permainan judi saya pernah. Bahkan pernah ludes habis-habisan sampe cuma tersisa 200 ribu rupiah. Sangat parah untuk ukuran orang yang punya rumah dan mobil.”

Tidak seberuntung anak-anak lainnya, sejak kecil (SMP –red) saya sudah bekerja sambil bersekolah. Saya bekerja di perusahaan konveksi milik saudara. Pagi sekolah, siangnya bekerja sampe malam dan tinggal di tempat itu juga. Karena itulah hubungan saya dengan orangtua tidak begitu baik. Kami tinggal terpisah.

Karena sudah bisa nyari duit, dan juga lingkungan pergaulan saya yang kurang baik, maka saya terjangkiti hobi berjudi. Mulai berjudi dah sejak SMP, main bilyar.

Karena dah kerja, megang duit, dan bergaulnya dengan orang-orang dewasa, akhirnya hobi orang-orang dewasa juga dah ngerti semua. Saya masih belasan tahun, teman-teman saya dah umur 20 sampai 30 tahunan. Bahkan pernah saking ”rajinnya” main bilyar, sampe ilang sepeda. Bahkan di sekolah, meskipun nggak ada kartu, buku pun bisa dijadikan sarana untuk berjudi. Kita buka halaman yang tebal, terus jadiin nomor halaman sebagai penggati kartu. Kalo teman buka halaman 231, itu dijumlahkan jadi 6, sedangkan saya buka 441=9, jadi saya yang menang. Saking gilanya hobi main bilyar di zaman SMA, bisa main 3 hari berturut-turut. Makan di tempat bilyar dan pulang mandi sekali lalu balik main bilyar lagi.

Kebiasaan ini terbawa sampai saya menikah pada tahun 1999 dengan Nilawati. Bahkan saat kelahiran anak pertama saya (Kevin –red) pada tahun 2000, saya nggak terlalu peduli. Pulang kerja, saya nggak langsung pulang ke rumah, tapi ke tempat bilyar dan baru pulang larut malam. Hampir semua permainan judi pernah saya lakukan. Judi bola, judi online, kartu, dan kasino, pokoknya segala macam judi. Bahkan saya pernah main kasino sampai ke Genting, Malaysia dengan teman-teman.

Biasanya sekali main bisa habis jutaan. Bisa lebih besar lagi kalo pas piala dunia (sepakbola). Itulah sulitnya judi, kalo dah senang gimana, akhirnya jadi suatu hobi. Selain kebiasaan berjudi, saya juga punya sifat pemarah. Sedikit saja ada masalah di kantor, ujungnya keluarga yang di rumah juga jadi kena dampaknya.

Kebiasaan Judi yang Hilang


Tahun 2007, saya sakit keras, lever. Ketika itu saya harus diopname di rumah sakit hingga 5 hari. Pada saat itu, ada satu kejadian dimana ada teman saya sewaktu kecil, yang waktu SMA merantau bareng ke Jakarta, paginya dia telepon kalau nanti malam mau besuk saya di rumah sakit. Tapi siangnya, saya terima telepon dari dia kalau istrinya mengalami kecelakaan dan meninggal. Ada juga teman lainnya yang waktu malamnya masih telepon dan kemudian besoknya terkena stroke dan meninggal.


Dari sini saya terpikir, orang kok hidup itu ngga kekal ya? Misalnya kita yang ngalamin kejadian itu, apa yang kita bawa? Yang kita bawa tentunya hanya amal pahala saja.

Sejak saat itu, selepas dari rumah sakit, saya sering tanya ke teman, siap nggak sih saat ini jika kita tiba-tiba meninggal? Siap itu kan artinya apa yang dah kita perbuat, mungkin kejahatan apa yang pernah kita lakukan. Siap nggak dengan kondisi seperti itu. Mungkin hal inilah yang akhirnya membuat saya mengenal Tzu Chi. Kan kita bisa berbuat membantu sesama. Itulah yang membuat saya tertarik di Tzu Chi.

Saya mulai gabung di Tzu Chi pada bulan Mei 2008. Sebelumnya saya sudah tahu Tzu Chi, dari drama di DAAI TV yang berjudul Menggapai Harapan. Drama ini menggambarkan profil Hong Xiu Lan, seorang yang dulunya gila judi tapi akhirnya bisa berubah. Dan welas asihnya itu, yang bahkan seorang penjambret aja diampuni, seorang maling yang harusnya ditangkap malah dilepasin dan bahkan dikasih uang. Awalnya saya penasaran, apa ada orang seperti itu? Tapi setelah lihat di talk show dengan para pemeran aslinya, ternyata memang benar ada. Pas terakhirnya begitu banyak anggotanya yang mengelu-elukannya. Dari sini saya tambah yakin kalo itu benar.

Setelah mengikuti sosialisasi Tzu Chi, saya kemudian ikut kegiatan pembagian beras. Setelah itu sempat vakum selama sebulan. Kemudian saya ikut lagi kegiatan baksos dan survei kasus pasien pengobatan yang dibantu Tzu Chi. Setelah gabung dan mengikuti survei kasus dan baksos, rasa “gan en” (bersyukur) itu bisa keluar. Kita terkadang sebagai manusia selalu memandang ke atas, tidak pernah melihat yang di bawah kita yang hidupnya sangat kekurangan. Bisa dikatakan rasa tak puas diri saya cukup tinggi, kenapa kita nggak coba lihat yang di bawah?


Melihat semua itu, saya mutusin untuk berhenti judi. Saya merasa, kita menghambur-hamburkan uang dengan begitu gampang. Di satu sisi, orang mau butuh uang untuk berobat dan transportasi aja nggak ada, kenapa ngga uang ini kita salurkan aja ke mereka yang lebih membutuhkan.

Kebahagiaan yang Tidak Bisa Dibeli
Yang kedua, pengalaman yang berkesan adalah pasien Horiyah. Dia yang awalnya begitu alot nggak mau berobat, kita yang sampe ”nge-push”. Bahkan terbalik, bukan orang yang memohon dibantu berobat, tapi justru kita yang minta tolong dia untuk berobat. Artinya begitu dia dah sembuh, dia begitu bahagia. Melihat itu kan kita jadi ikut bahagia. Hal-hal (kebahagian –red) seperti itulah yang nggak bisa dibeli dengan uang.

Kenapa saya dan relawan Tzu Chi lainnya memaksa Horiyah untuk berobat? Itu karena dia memiliki pemahaman yang keliru jika berobat. Dia merasa takut jika setelah operasi justru akan meninggal. Itu yang harus kita beri penjelasan dan juga bukti. Kini Horiyah juga telah sembuh dan dapat bekerja kembali. Dia bersama kakak ipar dan juga tetangganya kini juga menjadi donatur tetap Tzu Chi. Seperti yang Master Cheng Yen bilang, kalo yang bantu orang itu 10% gampang, yang 30%, dan 60%-nya yang sulit. Kadang kita agak sulit. (Dalam Tzu Chi dikenal suatu prinsip, dalam proses pemberian bantuan kepada orang lain, manfaatnya 10% jika pemberian bantuan berhasil membantu penerima, 30% jika penerima bantuan menyalurkan kembali cinta kasih yang ia peroleh kepada orang lain, dan 60% jika dari pemberian bantuan tersebut kita menjadi terinspirasi untuk berubah menjadi lebih baik.)

Horiyah yang dulunya waktu kita mau datang ajak berobat aja ngumpet, mengusir, tapi sekarang kalo kita datang, dari jauh dah diteriak-teriakin. Kepuasan istilahnya, kita bisa sampe menimbulkan cinta kasihnya itu yang benar-benar kita rasakan. Dia juga dah kerja, artinya dia yang dulunya pesimis, berubah optimis. Meski dia telah sehat dan mandiri, kita tetap kunjungi dia sebulan sekali, memberi perhatian.

Ada juga pasien lain bernama Budiyanto. Ia menderita basalioma, penyakit yang membuat wajahnya menjadi rusak parah. Semua bermula ketika pada suatu hari, tahi lalat di wajah Pak Budiyanto jatuh dan meninggalkan lubang kecil di wajahnya. Ia kemudian mengobatinya dengan obat luka biasa. Tapi lama kelamaan lukanya semakin membesar hingga akhirnya wajahnya menjadi rusak parah. Bisa dibayangkan kesakitannya setiap hari. Akibat luka di wajahnya itu, Pak Budiyanto sehari-hari hanya mengurung diri di dalam kamar rumahnya. Bahkan pernah saat ia keluar rumah, anak-anak mengejek dan ada yang ketakutan melihat wajahnya.

Saya mengetahui kasus ini dari Afu Shixiong. Afu ini kenal dengan temannya Pak Budiyanto. Saya bersedia menangani kasus ini awalnya karena lihat dia sakit. Dia itu kan setiap hari menahan sakit. Memang wajahnya rusak, tapi rasa sakitnya itu yang harus ditanggulangi. Prioritas pertama saya adalah bagaimana menghentikan rasa sakitnya dulu, itu aja dulu.

Penyakit Pak Budiyanto ini butuh penanganan satu tim dokter, THT, kulit, dan bedah. Mungkin juga memerlukan biaya yang sangat besar. Dalam benak saya, yang penting adalah bagaimana supaya dia nggak merasakan sakit dulu. Saya kemudian membawanya berobat ke RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. Karena penyakitnya terbilang parah, kemudian dirujuk ke RSCM Jakarta. Pak Budiyanto ini diberi obat, dan ternyata sangat bermanfaat. Tiga hari kemudian, saat kunjungan berikutnya, Pak Budiyanto bilang kalau ia bisa tidur. Pada saat itu ia minta dibawa ke rumah sakit, padahal sebelumnya dia takut ke rumah sakit. Buka perban aja banyak mengeluarkan darah karena lengket.

Dari cerita keluarganya, Pak Budiyanto ini di masa mudanya dulu adalah pemburu babi hutan dan menangkap burung di Lampung. Dia lebih banyak terlibat dalam hal-hal demikian, mencari nafkah dengan membunuh dan menangkapi makhluk hidup. Ternyata kini anaknya juga mengikuti jejaknya dalam mencari nafkah, menangkap burung. Saya nasihati dan bujuk dia untuk mencari pekerjaan lain. Dari kasus ini saya belajar kita jangan berhubungan dengan hal-hal seperti itu, jangan menyakiti makhluk hidup.



Ketenangan dan kebahagiaan saya juga berdampak kepada istri dan anak-anak saya. Istri saya juga telah bergabung sebagai relawan dan menjadi ”Da Ai Mama” di Kelas Budi Pekerti Tzu Chi. Saya juga sudah menjalani pola hidup vegetarian. Selain menyehatkan, dengan bervegetarian kita juga turut menyelamatkan bumi. Hubungan saya dengan orangtua juga bagus. Dulu ibu saya orangnya keras, kalau A ya harus A, nggak mau tahu. Hal ini yang kadang nggak bisa saya terima. Sekarang di Tzu Chi saya belajar, sama orangtua gimana? Apalagi Master Cheng Yen bilang, ”Ada dua hal yang tidak bisa ditunda di dunia ini, berbakti kepada orangtua dan berbuat kebajikan.” Sekarang kalau Mama bilang ”A” ya saya ikutin aja, cuma kalau memang dirasa itu nggak terlalu benar ya saya rubah jadi ”B”. Yang penting saya tidak bantah, saya terima dulu. Jadi sebenarnya tinggal beda cara pandang saja.

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto
Foto: Dok. Tzu Chi

 

Beramal bukanlah hak khusus orang kaya, melainkan wujud kasih sayang semua orang yang penuh ketulusan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -