Khimberly Wen: Relawan Tzu Chi Bali
Turut Bersumbangsih di Tanah Bali

Saya merupakan pendatang di Bali, aslinya saya berasal dari Riau, Sumatera. Sejak 1992, saya sudah membuka usaha tour & travel di sini. Awalnya memang hanya datang ke Bali untuk bekerja, namun sejak tahun 2002, saya mulai mengenal Tzu Chi. Saat itu terjadi bencana angin puting beliung di Karang Asem Timur, Bali. Salah seorang relawan Tzu Chi mengajak saya untuk ikut membantu menyumbang dana dan sekaligus menjadi relawan. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengatakan, “Iya, saya ikut.” Mungkin itu awal jodoh saya dengan Tzu Chi.

Semakin hari setelah saya ikut menjadi relawan Tzu Chi, saya semakin memahami apa yang Master Cheng Yen inginkan dan saya mencoba untuk melakukannya. Salah satunya adalah seperti apa yang dipesankan oleh Master Cheng Yen, apabila kita bekerja dan mencari nafkah dari suatu tempat, sudah seharusnya kita juga memberikan sumbangsih bagi daerah tersebut. Begitu juga yang ingin saya lakukan. Saya mencari nafkah di Bali, saya juga ingin bersumbangsih bagi warga Bali.

Hingga sekarang, hanya satu yang menjadi catatan saya untuk benar-benar serius di Tzu Chi, yakni di Tzu Chi ini selain kita menjadi donatur, kita juga menjadi relawan, dan terjun di lapangan, langsung melihat serta membantu dengan tepat sasaran. Membantu dari awal sampai akhir, A sampai Z, tidak meninggalkan pasien di tengah jalan. Jadi sampai selesai kita tetap menemaninya. Itulah yang bisa menumbuhkan rasa syukur dan membuat saya bertekad untuk tetap mengikuti jalannya Tzu Chi.

Dari Orang Lain, Kita Belajar

Dalam menjalankan misi Tzu Chi saya lebih banyak menangani anak asuh bantuan pendidikan Tzu Chi. Karena seiring perjalanan waktu, kita survei ke pelosok Bali. kita bisa melihat bahwa mereka masih sangat awam dengan pendidikan, mereka buta akan wawasan sehingga membuat hidup mereka semakin sulit. Seperti yang saya rasakan beberapa saat lalu saat melakukan screening untuk Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-96. Kebanyakan dari warga sama sekali tidak mengetahui penyakit apa yang mereka derita, sudah begitu, mereka bukan memeriksakannya ke dokter, tapi malah membawanya ke dukun yang akhirnya memperparah penyakit.

Pernah suatu kali saya menangani satu anak asuh Tzu Chi yang bernama Wayan Mudra. Dulu saat saya menerima kasusnya, ia sudah menderita glukoma absolute (buta total), namun karena orang tua tidak memiliki biaya dan minim pengetahuan mengenai penyakit anaknya maka Wayan tidak mendapatkan pengobatan. Yang paling saya ingat saat melakukan survei, anak itu masih tinggal di kos pamannya dan hanya bersembunyi di pojok, tidak ada senyum di wajahnya dan dunia sepertinya sangat gelap baginya. Akhirnya kami membawanya ke RS. Indra, sebuah rumah sakit khusus mata. Sampai di sana kami baru tahu kalau anak ini menderita glukoma absolute. Kemudian kita memberitahukan pada orang tuanya mengenai sakit anaknya ini. Saat itu mereka menangis, sangat sedih.

Orang tua Wayan meminta anaknya untuk pulang ke kampung saja, namun kami mencoba untuk membujuk Wayan untuk sekolah di salah satu sekolah tunanetra (Griya Raba). Awalnya Wayan sama sekali tidak mau dan orang tua tetap memaksanya untuk pulang kampung. Berkali-kali kami membujuk Wayan dan orang tuanya dan mencoba memberikan penjelasan mengenai masa depan Wayan jika ia mendapatkan pendidikan, hingga Wayan akhirnya bersedia untuk ikut kami mengunjungi sekolahnya. Kami mengajaknya melihat-lihat dan akhirnya ia pun mau bersekolah di sana.

Setelah beberapa bulan di dalam sekolah, kita datang menjenguknya. Ia terlihat sangat berbeda sekali jika dibandingkan dengan saat pertama saya bertemu dengannya. Paling tidak ia sudah bisa membuka diri dan bisa senyum. Setelah lulus, walaupun memiliki keterbatasan karena tunanetra, semangatnya untuk sekolah tidak kalah dengan anak-anak lainnya, karena ia mau melanjutkan ke perguruan tinggi. Sebenarnya di Griya Raba ia sudah diberikan keterampilan memijat, namun Wayan tidak mau hanya lulus sebagai tukang pijat, ia ingin menjadi guru. Awalnya ia ditolak karena tunanetra, namun dengan kesungguhannya, akhirnya ia diterima dan sekarang sudah menempuh pendidikan hingga semester tujuh. Ia juga sempat mengikuti perlombaan atletik di Pekanbaru.

Dari sini saya berpikir, andai saat itu orang tuanya membawa Wayan kembali ke kampung, apa yang akan terjadi dengan anak ini? Ia tidak mungkin menjadi percaya diri dan punya skill seperti sekarang. Melalui kisah ini, saya memetik hikmah, bahwa pendidikan bagi kaum muda itu sangat penting karena dapat membentuk manusia yang lebih baik. Dari pendidikan ini, Wayan selanjutnya bisa memperbaiki nasib keluarganya, mengangkat keluarganya. Kita juga tidak boleh menyepelekan semangat dari orang lain, karena setiap orang mempunyai kekuatan tersendiri. Walaupun seorang tunanetra, tapi dia bisa saja mempunyai semangat belajar yang lebih dari anak pada umumnya.

Selalu Ada Kesempatan Untuk Berbuat Baik

Selain syukur karena melihat orang lain, saya juga bisa mengubah diri sendiri khususnya emosi saya. Saya sekarang bisa lebih menahan emosi. Pernah teman saya bilang, “Kamu kok hidupnya nggak pernah susah ya?” Mendengar itu saya bilang kalau saya selalu mencoba enjoy dengan apa yang saya lakukan dan mengendalikan emosi saya. Apalagi di Tzu Chi ini kita bantu orang, itu luar biasa sekali senangnya. Mungkin ini khasiat di Tzu Chi bisa bikin awet muda. Selain itu saya juga lebih mudah memaafkan dan meminta maaf ke orang lain.

Walaupun namanya bantu ada rasa capek, tapi saya tetap suka. Kadang saya juga heran, memang kita punya kesibukan masing-masing tapi saat ada kegiatan besar anehnya otomatis waktu itu ada. Memang kalau kerja di travel ini tidak pernah kenal waktu dan hari. Beruntung dari tanggal 9 sampai 23 Desember itu sudah tidak ada wedding (acara pernikahan). Jadi pas sekali untuk fokus ke baksos, setelah itu sudah jadwal saya sudah penuh untuk acara wedding lagi. Maka itu saya bingung. Kok bisa ya? Inilah namanya berkah untuk bantu orang.

Mengenai Tzu Chi sendiri, saya sangat salut sekali dengan Master Cheng Yen yang mendirikan Tzu Chi ini dan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk bisa berbuat baik. Jadi Tzu Chi ini benar-benar suatu ladang berkah. Saya salut sekali, Master Cheng Yen yang tidak pernah pergi kemana-mana tapi bisa menanam ladang berkah dimana-mana. Semoga saja kalau jodoh saya sudah tiba, akan ada waktunya untuk menjadi calon komite dan saya ikut aliran air saja. Bagaimanapun saya harus melakukan semaksimal mungkin sebisa saya.

Jurnalis : Metta Wulandari
Fotografer : Metta Wulandari

Tanamkan rasa syukur pada anak-anak sejak kecil, setelah dewasa ia akan tahu bersumbangsih bagi masyarakat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -