Kittina Nagari
"Relawan Adalah Harta Saya"


Suaranya lembut dan tutur katanya halus. Gerak gerik tubuhnya teratur rapi. Sikap yang apa adanya, dan wajahnya yang tampak bersungguh-sungguh dalam menjawab pertanyaan yang diajukan Dunia Tzu Chi, membuat perbincangan selama hampir 2 jam mengalir tanpa terasa. Suasana di Jing-si Books & Cafe yang tenang rasanya memang ideal untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Kitty, panggilan akrab Kittina Nagari, yang baru pulang dari tempat kerjanya di sebuah perusahaan bahan konstruksi. Sehabis wawancara, ia sudah menjadwalkan untuk mengikuti rapat Tzu Chi di tempat yang sama. Demikianlah kesibukannya dari hari ke hari, mengabdikan semua sisa waktu yang ia punya untuk Tzu Chi.
 
 
 
“Tadinya cuma ikut-ikutan aja”
Tahun 80-an, banyak pelajar Indonesia yang melanjutkan studi ke Taiwan, termasuk Kitty. Ia menuntut ilmu selama 4 tahun di Fu Jen Catholic University, Jurusan Pangan dan Nutrisi, dan setelahnya kembali ke Indonesia. Perhimpunan alumni berbagai universitas Taiwan yang berasal dari Indonesia terjalin baik, dan sering mengadakan pertemuan. Dari pertemuan-pertemuan inilah Kitty mulai mengenal Tzu Chi.

Mulanya ia menjadi donatur lewat Jia Wen-yu, seorang relawan Tzu Chi Indonesia pada masa-masa awal. Setelah itu, dalam suatu kesempatan tahun 1996, M.A Chandra mengajaknya untuk ikut kegiatan bagi sembako di Serang. “Waktu itu saya ajak Rui Cu Shi-jie, teman baik saya waktu SMP di Medan. Ya... kita ikut-ikutan aja, belum serius gimana, anggap seperti piknik,” katanya sambil tertawa. Sejak itulah, Kitty mulai aktif mengikuti kegiatan Tzu Chi, namun sebagai peserta yang tidak memegang beban tanggung jawab. Belum ada keseriusan untuk sungguh-sungguh mencari tahu tentang Tzu Chi apalagi mempelajari filosofi yang mendasarinya.

Bulan Desember 1996, Liu Su-mei (Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia) mengajak Kitty untuk ikut pulang ke Hualien, Taiwan, kota kelahiran Tzu Chi. Saat itu, ia pun hanya iseng menyetujui ajakan tersebut. Kitty tidak menyangka, di Hualien kejutan besar telah menantinya. “Begitu sampe di Taiwan, kita sudah disambut oleh relawan-relawan Tzu Chi Taiwan yang juga adalah pengusaha-pengusaha di sana. Mereka begitu serius menyambut dan menerima kami,” kata Kitty menggali kenangannya. Selain itu ia juga merasa kagum pada para pendamping kelompok yang sangat tepat waktu dan tertib melaksanakan kegiatan. Pintu hati Kitty mulai terketuk.

“Tadinya nggak nyangka kalo Tzu Chi besar begitu,” akunya. Wajarlah, sebab pada tahun 1996, Tzu Chi di Indonesia baru mulai melangkah, jumlah relawan masih sedikit, bahkan kantor pun masih berupa sebuah rumah di Kelapa Gading. Sangat berbeda dengan Tzu Chi Taiwan yang saat itu sudah berusia 30 tahun. “Dari situ kami belajar banyak. Balik ke Indonesia, kami waktu ada kegiatan juga mulai belajar mengikuti apa yang kami lihat di Taiwan,” cerita penggemar musik ini dengan semangat. Ia dan relawan Tzu Chi Indonesia yang lain mulai menerapkan bagaimana cara relawan Tzu Chi Taiwan menggelar kegiatan.

Selamat Tinggal Coffee Shop!
Kitty lahir di Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, sebagai anak ke-4 dari 12 bersaudara dalam keluarga pecinta musik. “Sebelum saya ikut Tzu Chi, saya lebih suka habiskan waktu dengan teman-teman di coffee shop di hotel, sambil dengar musik dan ngobrol,” kata Kitty. Ketika karaoke mulai menjadi tren dunia hiburan, ia juga tidak ketinggalan. Tak jarang Kitty dan teman-temannya mengunjungi tempat hiburan itu hingga tengah malam.
 
Meski dari luar tampak hidup penuh kesenangan, namun kesenangan yang direguk terus-menerus ternyata juga bisa menimbulkan kebosanan sebagaimana diungkapkan Kitty, “Saya merasa nggak ada artinya, pulang-pulang kayaknya kosong begitu. Lama-lama bisa bosen juga hidup begini, nggak ada isinya. Habisin duit, ngobrol, setelah itu pulang.”

Usai kunjungan pertama ke Hualien, Kitty semakin serius mengikuti kegiatan-kegiatan Tzu Chi. Apalagi setelah itu ia dipilih menjadi ketua grup relawan untuk daerah Muara Karang, Pluit, dan sekitarnya di Jakarta Utara. Tahun 1998, saat terjadi kerusuhan di Jakarta, Tzu Chi membagi sembako untuk masyarakat yang menghadapi kesulitan hidup akibat krisis moneter. Dari pembagian sembako yang dikoordinir oleh relawan dari Grup Sinar Mas ini, Kitty belajar tentang cara mendistribusikan beras dengan tertib. Tak bosan-bosan Kitty mengikuti rapat demi rapat sebab ia ingin tahu bagaimana cara memimpin pelaksanaan suatu kegiatan. Selama 2 tahun pertama, Kitty benar-benar belajar banyak hal. Semangatnya dinyalakan oleh kesadaran bahwa Tzu Chi saat itu sedang giat mengadakan acara ramah tamah (cha hui) untuk menghimpun relawan, dan karenanya akan membutuhkan ketua-ketua grup relawan. Sebagai salah seorang relawan yang sudah terbilang lama bergabung, Kitty tahu bahwa ia perlu mempersiapkan diri.

“Setelah ikut kegiatan-kegiatan, apalagi saya dengan menjadi ketua, setelah selesai tugas kayaknya terasa enak karena merasa kegiatan hari ini berhasil. Waktu kembali ke rumah rasanya sudah belajar banyak,” kata Kitty. Perasaan inilah yang membuatnya merasa senang mengikuti kegiatan Tzu Chi, sebab ia meyakini bahwa kini waktunya tidak terbuang sia-sia. “Waktu saya terisi, karena apa yang saya perbuat itu ada manfaatnya buat orang lain,” lanjutnya lagi. Disadari atau tidak, waktu Kitty semakin padat dengan berbagai kegiatan Tzu Chi seiring makin besarnya tanggung jawab yang diembannya di sini, hingga ia pun tidak pernah lagi menjalani kebiasaan lamanya di coffee shop ataupun karaoke.
 
Hal Kecil yang Bermakna Besar
Sebagai seorang yang ingin segalanya berjalan dengan tertib, Kitty terbiasa memperhatikan detail setiap kegiatan. Jauh-jauh hari ia sudah memikirkan bagaimana cara mengatur kegiatan yang melibatkan ratusan relawan agar tetap lancar. Ia selalu memastikan agar setiap relawan mengetahui apa yang harus mereka lakukan pada hari-H tanpa perlu menunggu lama dan kebingungan. Ia mengatur mulai dari transportasi, peralatan, acara, relawan, konsumsi, tempat sampah, sampai dengan musik yang diputar. “Saya mikirnya yang kecil-kecil gitu. Jadi saya maunya lokasinya indah, suasananya indah, perasaan juga indah,” ujarnya.
 
“Berbaris itu paling penting di Tzu Chi,” tegas Kitty. Sebab menurutnya dengan berbaris akan terlihat tertib dan indah. Ketertiban ini tentunya akan membangkitkan wibawa tersendiri di mata para penerima bantuan, di samping menjadikan kegiatan berjalan teratur. Satu budaya lagi yang diutamakan Kitty adalah tentang ketepatan waktu, “Misalnya waktu bagi beras, saya selalu menekankan pada setiap ketua grup agar ‘jangan terlambat’!” katanya. Demikian supir yang bertugas mengantarkan relawan tak luput diingatkan oleh Kitty. Sungguh suatu pantangan bagi Kitty untuk tiba ke tempat kegiatan lewat waktu, di mana warga penerima bantuan sudah menunggu sambil berdesak-desakan, sehingga akan jauh lebih sulit untuk mengatur jalannya kegiatan.

Karena ia sendiri masih berstatus sebagai karyawan, di hari kerja ia tetap harus masuk kantor. Itulah sebabnya Kitty lebih banyak aktif dalam baksos kesehatan Tzu Chi yang diadakan hari Sabtu dan Minggu. Biasanya ia bertugas sebagai ketua bagian pemulihan pasien. Di bagian ini, perawat punya peranan yang paling penting. “Kalau perawat itu tugasnya urus pasien, kalau tugas saya perhatikan mereka, mengurus makanan dan minuman untuk mereka,” Kitty menerangkan. Sepengetahuannya, selama baksos para perawat harus bertugas sampai malam, dan tetap menjalankan tugas mereka dengan serius. Bahkan apabila perawat shift berikutnya tidak datang, para perawat jaga malam akan terus berjaga hingga esok harinya. Melihat ketulusan para perawat yang baik ini, Kitty pun ingin menjadi relawan yang baik dengan memperhatikan kebutuhan para perawat.

Semuanya untuk Tzu Chi
Meski kedua orangtuanya tinggal di Medan, Sumatera Utara, dan Kitty sendiri tinggal di Jakarta, selama ini ia yang mengurus segala keperluan orangtua dan keluarganya. Hal itu berlangsung sampai saat ia bergabung dengan Tzu Chi. Padatnya kegiatan membuat Kitty tak sempat lagi melanjutkan tugas tersebut. Beruntung, saat itu anak-anak dari kakak perempuannya yang tertua sudah beranjak dewasa, sehingga kakaknya itu dapat menggantikannya mengurus segala keperluan keluarga.

Kitty sangat beruntung karena kedua orangtuanya tidak memprotes kesibukannya di Tzu Chi, apalagi ayahnya sendiri juga senang berorganisasi. “Papa saya memang pernah complain, Tzu Chi-Tzu Chi terus! Tapi Papa tuh kagum dengan Tzu Chi,” tuturnya. Terbukti ayahnya suka membeli dan membaca buku-buku Tzu Chi. Begitu pun saat berkumpul dengan teman-temannya, ayah Kitty sering membicarakan tentang Tzu Chi. Sementara itu, ibunya sangat senang menonton TV Da Ai, dan sering mengumpulkan barang-barang daur ulang untuk dibawa ke Kantor Tzu Chi di Medan. Faktor usialah yang menghambat kedua orangtuanya untuk aktif sebagai relawan Tzu Chi.

Atas dukungan keluarganya, langkah Kitty di Tzu Chi semakin mantap. “Kadang-kadang udah nggak ada waktu untuk sendiri lagi. Siang hari kita kerja di kantor. Sesudah jam kantor orang lain bisa istirahat, kalo saya setelah jam kantor baru mulai urus kegiatan Tzu Chi,” katanya. Namun tak masalah baginya, yang terpenting bagi Kitty hanyalah menjalankan baik-baik tanggung jawab yang dipercayakan padanya. Bahkan bila ada urusan Tzu Chi yang cukup penting hingga ia terpaksa harus pulang kerja lebih awal, Kitty rela berangkat lebih pagi ke kantor agar pekerjaannya tidak terganggu.
 
Tak hanya waktu, Kitty tidak berkeberatan mengeluarkan uang pribadinya untuk kepentingan Tzu Chi. Misalnya saja, setiap kali ada kegiatan, Kitty mengabari hampir 200 relawan yang menjadi tanggung jawabnya lewat sms (short message service). Belum lagi koordinasi yang ia lakukan lewat telepon genggamnya. “Dalam hati saya, kayaknya uang saya udah nggak kemana-mana, pasti untuk kegiatan Tzu Chi,” katanya tulus.

Sejak tahun 2006, sistem koordinasi relawan diubah menjadi ‘4 in 1’ yang terdiri dari He xin, He qi, Hu ai, dan Xie li. Sejak itu pula Kitty dipilih menjadi koordinator Hu Ai 1. Selain termasuk relawan senior, Kitty juga dipandang sebagai seorang pemimpin yang sabar. Menanggapi ungkapan ini, Kitty berkata, “Prinsip saya, kalau ada masalah-masalah, jangan emosi pada saat itu juga. Setelah kegiatan selesai baru kita bicarakan.” Kepedulian dan perhatiannya pada relawan membuat Kitty hampir tidak pernah menolak relawan yang ingin ikut dalam kegiatan yang dikoordinirnya, meski jumlah relawan sudah melebihi kebutuhan. “Relawan adalah harta saya,” katanya, karenanya Kitty selalu berupaya agar semua relawan senang menjalankan kegiatan Tzu Chi sehingga mereka mau terus bergabung dengan Tzu Chi.

Keindahan dalam Isyarat Tangan
Hampir 10 tahun berkecimpung, hal yang paling dinikmati Kitty di Tzu Chi adalah memperagakan isyarat tangan (shou ie). Kesukaan ini tak lepas dari kecintaannya pada musik. Di telinga Kitty, lagu-lagu Tzu Chi sangat nikmat didengar. “Lagu-lagu Tzu Chi biarpun waktu baru denger kayaknya nggak enak, tapi makin denger makin masuk (di telinga),” ungkapnya. Dan Kitty menganggap peragaan isyarat tangan sangat indah. Gabungan dua kesenangan ini membuatnya hampir tidak pernah melewatkan kesempatan untuk berbagi dengan relawan ataupun perawat yang lain. “Di bis, dalam perjalanan kalau ada kegiatan, saya tidak buang waktu untuk mengajar mereka (relawan atau perawat) shou ie,” katanya. Menurut Kitty, isyarat tangan juga bisa membuat setiap kegiatan lebih hidup dan mengharukan. Setiap usai menjalankan kegiatan, menjadi kebiasaan Kitty untuk mengumpulkan relawan dan mengajak mereka untuk sharing kesan dan ditutup dengan peragaan isyarat tangan.
 
“Shou yu bisa mengubah penampilan seseorang menjadi lebih baik,” kata Kitty menjelaskan. Ternyata, isyarat tangan bukan hanya mengenai bagaimana kita menggerakkan tangan sesuai irama lagu, namun juga harus memperhatikan cara berdiri, ekspresi muka, kelembutan gerakan, dan sebagainya. Dulu Kitty yang terbiasa duduk dengan menyilangkan kaki, sejak belajar isyarat tangan mulai duduk dengan tegak, dan mulai membiasakan untuk berbicara dengan suara yang lembut.
 
Kitty sangat mengagumi budaya yang diajarkan oleh Master Cheng Yen dan dikembangkan dalam Tzu Chi. Ia berharap dengan segala usahanya dapat mengatur pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan budaya kemanusiaan Tzu Chi. Meski rasa lelah adalah konsekuensinya, sama sekali tak terpikir untuk menghentikan langkah. Kitty berkata tegas, “Saya pikir sampai akhir hidup saya sudah untuk mengabdi ke Tzu Chi. Karena saya merasa ini sudah jalur yang tepat untuk saya”.

Seperti dituturkan kepada Ivana
Foto: Dok. Tzu Chi Indonesia
 
 
Semua manusia berkeinginan untuk "memiliki", padahal "memiliki" adalah sumber dari kerisauan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -