Liliawati Rahardjo Soetjipto
Tekad untuk Tzu Chi

   
“Jadi, apa ikrar kamu selanjutnya?”
Liliawaty kehilangan kata-kata. Ia tak mampu menjawab pertanyaan sederhana itu. Dan tanpa dapat ditahan lagi, air mata mengalir deras dari matanya. Ia tiba-tiba merasa sangat malu di depan biksuni yang baru pertama ditemuinya ini.

Bunga Lily adalah bunga yang berbentuk sederhana namun elegan. Warna putihnya mencerminkan ketulusan dan keterbukaan. Bolehkah mengandaikan Liliawaty Rahardjo Sutjipto seperti bunga yang kebetulan memiliki nama yang sama dengan panggilan dirinya itu? Di samping nama Indonesianya Lili juga sering dipanggil dengan nama mandarinnya, Li Ying. Dan di perusahaan properti besar yang dikelola bersama sang suami, ia menyandang nama suaminya sebagai Ibu Sutjipto Nagaria.
  
Hidup Liliawaty penuh warna keberuntungan. Sejak kecil ia tumbuh dalam keluarga yang berkecukupan. Sebagai anak bungsu, ia tak kekurangan kasih sayang. Meski demikian, ia seorang yang berkarakter mawas diri dan memiliki kesadaran sosial tinggi. Di usia yang terbilang muda, ia menikah dan merawat rumah tangga bagi suami dan 2 orang anaknya. Sutjipto suaminya, membangun dan mengelola kompleks perumahan yang tergolong elit dan eksklusif di wilayah Jakarta Utara.

Ketika anak-anaknya beranjak dewasa, Lili yang terbebas dari rutinitas mengurus anak-anak, mulai membantu di perusahaan properti milik suaminya. Sewaktu baru mulai terjun ke dunia bisnis, Lili tidak memiliki dasar pengetahuan dan pengalaman. Ia membeli banyak buku dan kaset tentang manajemen dan bisnis untuk dipelajarinya sendiri. Lili yang memang berkepribadian terbuka dan bicara apa adanya, tidak pernah malu bertanya tentang hal-hal yang belum diketahui atau dimengertinya. Ia dengan gigih akan terus bertanya sampai suatu hal benar-benar dipahaminya. Sikapnya ini mulanya memberi kesan kurang sabaran dan emosional, namun ketulusannya kemudian akan menumbuhkan kedekatan, kepercayaan, dan rasa hormat dari para karyawannya.

Banjir yang Menyatukan Jodoh
Saat banjir terjadi, dan kita terkepung di tengah air, ada perasaan aneh bahwa air menghubungkan diri kita dengan orang-orang lain yang juga mengalami banjir. Tahun 2002, bencana banjir besar di Jakarta ternyata memang menyatukan jodoh banyak orang. Sebagai pebisnis properti di Jakarta, Sutjipto dan Lili cukup berbangga hati bahwa selama hampir 30 tahun sejak dibangun, kompleks perumahan mereka selalu bebas banjir. Pengecualiannya adalah di tahun 2002 tersebut. Februari tahun itu hujan deras mengguyur ibukota selama berhari-hari. Lebih dari separuh wilayah Jakarta dilanda banjir, termasuk area kompleks perumahan milik Lili pun tergenang air cukup tinggi. Tepat pada waktu itu, kedua anaknya masih sekolah di luar negeri, sementara Sutjipto sedang ada urusan di luar negeri. “Kita semua di kantor nggak siap, karena nggak nyangka bisa banjir. Saya merasa nggak berdaya sekali,” kenang Lili.

Pada tahun 2002 itu sesungguhnya hampir seluruh rumah dalam kompleks perumahan Lili sudah laku terjual. Meski demikian, perusahaan pengembang yang dikelolanya tetap merasa bertanggung jawab membantu penghuni kompleks itu menanggulangi banjir yang menimpa mereka. “Sport club waktu itu kita buka untuk tempat pengungsian. Kita juga pesankan mi instan dari pabriknya untuk bahan makanan. Saya cuma khawatir Jakarta bisa kehabisan air bersih waktu itu,” tukas Lili. Saat itu, ia mulai bekerja sama dan terlibat bersama-sama Tzu Chi yang juga melakukan penanggulangan banjir. Ia berkenalan dengan sesama pengusaha yang sama-sama baru saja merasakan bahwa dalam bencana seperti ini, kegiatan sosial sangatlah berarti.
 
Lili sangat mengagumi Budaya Kemanusiaan Tzu Chi yang penuh syukur, kasih, dan penghormatan pada orang lain. Ia berharap budaya ini dapat menyebar ke segala lapisan masyarakat Indonesia.
 
Perkenalan ini membawa Lili pertama kali ikut dalam rombongan pengusaha Indonesia ke Hualien, Taiwan, kantor pusat Tzu Chi dan tempat tinggal Master Cheng Yen, pendiri Tzu Chi. Saat mendapat kesempatan makan siang bersama Master Cheng Yen, beliau berkata, “Indonesia adalah negara Muslim yang besar (ada 200 juta lebih penduduk –red), maka kalau Indonesia bisa cerah, seluruh dunia pun akan ikut cerah. (Anda) para pengusaha yang hidup dari dan mencari nafkah di bumi Indonesia, sudah seharusnya bersumbangsih kembali bagi Indonesia.” Kata-kata ini menyentuh Lili. “Di situ saya merasa, Master sangatlah hebat. Dia berpikiran luas, kita bukannya disuruh sumbang ke Taiwan, tapi diminta sumbang ke Indonesia sendiri,” ujarnya. Usai makan siang itu, mereka berjalan berkeliling, dan Master Cheng Yen kemudian menanyakan tekad masing-masing dari mereka sepulang nanti, “(Sumbangsih) apa yang akan kalian lakukan setelah ini?” Tiba gilirannya, Lili tidak sanggup menjawab apa-apa, selain menangis tersedu-sedu, membingungkan relawan pengusaha yang lain. “Saat itu saya benar-benar merasa bahwa saya berbuatnya kurang. Saya ‘berbuat’ (masih) kurang,” ungkapnya.

Berbuat Kebajikan Butuh Pengorbanan
Sejak tahun 90-an, Lili sudah mengenal Tzu Chi dari Wen Yu (salah seorang relawan asal Indonesia yang merintis Tzu Chi Indonesia –red). Ia dan Wen Yu sama-sama adalah alumni sekolah di Taiwan. Hari-hari Lili sudah penuh disibukkan dengan berbagai urusan bisnis. Ia merasa tak ada waktu lagi untuk aktif di kegiatan sosial apapun. Maka, selama bertahun-tahun, ia lebih memilih menjadi donatur saja. “Paling sesekali kalau Tzu Chi sedang ada kegiatan tahunan, saya dateng untuk ikut acaranya. Dalam acara itu waktu lihat video, orang sharing, pentas shou yu, saya sering ikut terharu juga terus nangis. Tapi setelah itu pulang, sibuk lagi, sudah lupa lagi semuanya,” demikian Lili berkisah. Ia bukannya tak peduli pada orang yang membutuhkan. Hanya saja, seperti juga banyak pengusaha lain, ia merasa sudah cukup sibuk dengan urusan bisnisnya, sehingga untuk urusan sosial cukuplah dengan dana uang saja.

Pertemuannya dengan Master Cheng Yen memang telah menumbuhkan tekad baru dalam hati Lili. Namun, Master sendiri pun sering berkata, “Tekad yang tumbuh dalam waktu sesaat, harus digenggam dan diwujudkan dalam tindakan nyata, barulah membawa manfaat bagi banyak orang.” Tekad Lili langsung dihadapkan pada ujian. Tahun 2003, ia diminta membantu mensupervisi sekolah yang dibangun Tzu Chi dalam kompleks Perumahan Cinta Kasih Cengkareng. Lili kelabakan mendapat tugas ini sebab ia memahami sifatnya sendiri yang total dalam mengerjakan hal apapun. Baginya berjanji sama seperti membuka cek. Maka, janji yang tidak ditepati sama dengan cek kosong. “Saya tu orangnya kalau sudah ikutan ngurus apa, pasti nantinya saya jadi mikirin. Apalagi kerja Tzu Chi ini tanggung jawabnya langsung ama Master, saya nggak berani (main-main), sementara saya sendiri sudah cukup sibuk,” katanya. Tekadnya untuk “berbuat lebih banyak” mulai menuntut pengorbanan.
  
Hari-hari Lili sudah penuh disibukkan dengan berbagai urusan bisnis. Ia merasa tak ada waktu lagi untuk aktif di kegiatan sosial apapun. Maka, selama bertahun-tahun, ia lebih memilih menjadi donatur saja di Tzu Chi.
  
Masih dalam kebimbangannya antara siap berkorban atau tidak, suatu kali Lili dan suami pergi lagi ke Taiwan untuk menerima cinderamata karena menyumbang Rong Dong bagi Tzu Chi (sumbangan senilai NT$ 1 juta atau sekitar Rp 300 juta –red). Lili lebih dulu berangkat dibanding suaminya, dan sempat mengikuti kamp bagi relawan Tzu Chi sedunia. Dalam kamp tersebut, Lili terkesan dengan kata-kata Stephen Huang (relawan senior yang sering mewakili Master Cheng Yen dalam berbagai acara di luar Taiwan –red), “Berbuat bajik (Shan) itu sama seperti kambing (Yang) di mulut (Kou) macan. Kalau sudah terjun maka tidak akan bisa lepas lagi.” Huruf Mandarin berbuat bajik (Shan), memang merupakan gabungan dari huruf kambing (Yang) yang disusun di atas huruf mulut (Kou). Lili merasa perkataan ini mengena betul dengan hal yang sedang dihadapinya. Ia saat itu memang seperti anak kambing yang ketakutan pada jeratan tanggung jawab tambahan, mencoba berontak dari mulut macan. Maka, ia pun menemui Stephen Huang untuk berkonsultasi. “Waktu itu Stephen Huang bilang begini sama saya, sesungguhnya permasalahan timbul karena saya (1) tidak berani mengambil tanggung jawab, dan (2) tidak berani merelakan waktu,” Lili bercerita. Kata-kata ini ditambah dukungan dari beberapa relawan Indonesia yang lain akhirnya membuka hati Lili untuk terjun dalam aktivitas Tzu Chi.

Meluaskan Budaya Kemanusiaan
 Misi keempat Tzu Chi, yaitu Budaya Kemanusiaan adalah jiwa dalam ketiga misi utama Tzu Chi yang justru muncul lebih awal darinya. Budaya ini juga yang menanamkan kesan mendalam bagi Lili. “Saya sangat terpesona melihat upacara Waisak Tzu Chi di Taiwan yang dihadiri ribuan orang, tapi semua orang bisa begitu rapi dan teratur,” katanya. Sementara, Lili justru merasa ia masih sangat perlu mempelajari Budaya Kemanusiaan ini. Karakternya berbicara lantang dan blak-blakkan, dipahaminya sebagai kurang mencerminkan budaya kemanusiaan yang rapi, penuh kelembutan, dan welas asih. Meski demikian, Lili sungguh berharap bahwa budaya kemanusiaan dapat dipelajari secara luas oleh masyarakat Indonesia.
 
Pembukaan Toko Buku Jing Si di Mal Kelapa Gading bertujuan mengenalkan budaya kemanusiaan kepada masyarakat luas. Dengan didukung oleh suaminya Soetjipto (kanan), Lili dengan tekun menebar cinta kasih universal di Indonesia.
  
Harapan ini kemudian diwujudkannya dengan memotori pembukaan Toko Buku Jing Si di Mal Kelapa Gading pada tahun 2007. Keinginan Lili untuk membuka toko buku ini muncul sewaktu Ketua Tzu Chi Singapura, Ji Yu Shixiong datang berkunjung ke Indonesia. Saat itu Ji Yu berkata, “Perkembangan Tzu Chi Indonesia ini seperti roket, cepat sekali. Tapi jangan kerja terus, tetap harus ada waktu untuk baca buku (Master Cheng Yen). Dengan begitu baru tak ada kerisauan, sebab kita memahami apa tujuan dari kesibukan kerja kita.” Pikiran Lili menjadi terbuka oleh pesan pengingat dari Ji Yu ini. Memang pada tahun-tahun itu, beberapa kejadian seperti tsunami di Aceh dan gempa di Yogyakarta menyebabkan Tzu Chi Indonesia memiliki banyak pe er yang harus diselesaikan. “Kalau kita baca buku (Master Cheng Yen), kita akan paham bahwa maksud dasar dari berbuat baik adalah demi diri kita sendiri, sehingga tidak berhitungan dengan orang lain. Tidak menuntut karena merasa saya sudah mengerjakan lebih banyak dan orang lain tidak mengerjakan apa-apa,” Lili menjelaskan. Sesuai kebiasaannya untuk mengerjakan segala hal dengan segera, proses persiapan hingga dibukanya toko buku ini hanya berlangsung dalam waktu setengah tahun.

Di sisi lain, permasalahan timbul dari segi bahasa. Kebanyakan buku-buku Tzu Chi yang diterbitkan Jing Si Publication berbahasa Mandarin, dan hanya sebagian kecil berbahasa Inggris. Sementara tidak banyak masyarakat, termasuk para relawan Tzu Chi di Indonesia yang memahami bahasa Mandarin. “Dengan yang mengerti mandarin nggak banyak jadi bagaimana ya, padahal kalau sebagai relawan cuma kerja tapi nggak baca buku, maka nggak betul-betul menangkap tujuan dari kerja Tzu Chi ini. Lama-lama bisa kecapean,” renungnya.

Maka ketika akhirnya ia diminta menjadi penanggung jawab PT Jing Si Mustika Abadi Indonesia, perusahaan yang dibangun untuk menerbitkan buku-buku dan CD Tzu Chi dalam bahasa Indonesia, Lili dengan sukarela menerima. “Awalnya bener-bener nggak ngerti sama sekali. Tapi untung karena mau belajar juga, dan minta masukan orang banyak, akhirnya saya baru tau bagaimana harus jalaninnya,” tukas Lili. Ia sungguh berharap bahwa dengan produksi dalam negeri buku dan CD Tzu Chi, harganya menjadi lebih terjangkau dibanding bila impor dari Taiwan, hingga dapat disebarkan ke lebih banyak orang.
  

Selain menjadi donatur, Lili kini terjung langsung membantu orang yang membutuhkan. Tahun 2008, ia ikut mendukung program renovasi rumah Bebenah Kampung bagi warga sekitar perumahan yang dikelolanya agar kehidupan mereka menjadi lebih cemerlang. Pada tahun 2009 ia juga turut meresmikan Posko Daur Ulang Tzu Chi di Serpong, Banten.
 
 
Yang Baik, Ayo Lakukan Bersama
Kedudukan Lili sebagai pimpinan di sebuah perusahaan properti besar yang masih terus tumbuh, menempatkannya di posisi yang berbeda dari orang umumnya. Dengan wewenang yang dimiliki, ia mencoba “menyerap” filosofi budaya kemanusiaan Tzu Chi ke dalam dinding kantornya. Pada tahun 2007, Lili berinisiatif menggelar acara ramah tamah Tzu Chi bagi para karyawannya, serta menghadiahi masing-masing dari mereka sebuah celengan bambu. “Ini saya lakukan karena di Tzu Chi kan yang dilihat bukan sumbang besar atau kecilnya, tapi niat hatinya. Maka saya ingin menyentuh mereka (para karyawan) supaya dapat merasakan ikut dalam kapal (kebajikan) ini,” ujarnya menerangkan. Ia sangat gembira karena para karyawan ternyata merespon positif, “Ada karyawan yang lucu, kalau lagi ada rezeki atau dapat bonus, sering-sering mereka nambahin ke dalam sumbangannya,” tukas Lili. Ia juga kerap melibatkan para karyawannya dalam kegiatan pelestarian lingkungan, ataupun survei bantuan renovasi rumah Bebenah Kampung.

Bila mendapat informasi tentang suatu hal yang baik dan perlu dilakukan, Lili memang senang mengajak banyak orang untuk bersama-sama menjalankannya. Sense of crisis yang tinggi membuat Lili seringkali berintrospeksi dan mencari langkah untuk memperbaiki diri. Sewaktu aktif mensosialisasikan tentang pelestarian lingkungan misalnya, ia mulai memahami bahwa styrofoam merupakan bahan yang merusak lingkungan serta berbahaya bagi kesehatan. Langkah yang diambil Lili kemudian sangatlah berani. Ia mencanangkan bagi pusat perbelanjaan besar yang dimilikinya di Kelapa Gading untuk tidak lagi memakai styrofoam sebagai bahan kemasan. “Ya, saya kasih waktu 1 tahun untuk para tenant itu, karena kan mereka harus habiskan dulu stok bungkus styrofoam yang mereka punya. Setelah itu saya minta agar mereka nggak pake itu lagi,” cerita Lili.

Setelah aktif sekitar 7 tahun dalam Tzu Chi, Lili merasa dirinya masih perlu terus meningkatkan diri. Ia pun mulai terbiasa menyisihkan waktu di sela kesibukannya berbisnis untuk mengelola berbagai urusan Tzu Chi. Satu pesan Master Cheng Yen bagi dirinya yang selalu dicamkannya, bahwa ia tidak boleh “percaya diri” berlebihan, sehingga menjadi kurang pertimbangan bijaksana. Kalaupun perbuatan bajik dalam Tzu Chi hendak diandaikan sebagai jalinan jodoh yang tidak mungkin dapat dilepaskan lagi, Lili menjalani segala sumbangsih dan tanggung jawab ini dengan penuh kelapangan hati dan kegembiraan.

Seperti dituturkan kepada Ivana
Foto: Anand Yahya
Dalam berhubungan dengan sesama hendaknya melepas ego, berjiwa besar, bersikap santun, saling mengalah, dan saling mengasihi.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -