Lim Ai Ru
Menjadi Pribadi yang Mandiri

Dalam setiap kegiatan budaya humanis Tzu Chi, seperti latihan gerakan isyarat tangan (shou yu), seni menuang teh, dan kegiatan kelas budi pekerti sosoknya sering hadir di tengah-tengah relawan.Lim Ai Ru tidak sendiri, Hardiman Tiang, suaminya terkadang mendampinginya dalam setiap kegiatan Tzu Chi.

Kehidupan Lim Ai Ru dan keluarga sejak dulu bisa dibilang cukup harmonis dan bahagia.Dari segi ekonomi juga terbilang mapan dan dalam hal materi juga tidak kekurangan. Bahu-membahu bersama sang suami, Lim Ai Ru juga turut mengembangkan usaha sekaligus menjadi istri dan ibu yang baik bagi suami dan anak-anaknya. Dari hari Senin hingga Sabtu, Lim Ai Ru sibuk dengan usaha toko granitenya dan di hari Minggu ia juga masih buka walaupun itu hanya untuk setengah hari. “Prinsip saya ialah jika punya usaha lalu didiamkan saja, rasanya sangat sayang sekali walaupun itu hanya untuk satu hari,” jelas Lim Ai Ru.

Pada hari Sabtu malam, biasanya mereka (Lim Ai Ru dan suami) akan berdiskusi mengenai rencana acara keluarga untuk hari Minggu. Biasanya mereka sekeluarga akan mencoba makanan-makanan restoran yang ada di mal-mal besar atau restoran yang terkenal. Dalam satu kali kunjungan, mereka dapat menghabiskan uang hingga jutaan rupiah.Selain hobi kuliner, Lim Ai Ru juga gemar berbelanja. “Dulu sebelum bergabung di Tzu Chi saya hobi belanja. Kalau ada barang yang saya inginkan, tanpa pikir panjang pasti langsung dibeli. Meskipun belum tentu barang itu akan dipakai. Dulu juga nggak mikir itu harganya mahal, yang penting saya mau, pasti saya beli,” terang wanita kelahiran Medan ini.

Meskipun keduanya sibuk dengan usaha, Lim Ai Ru dan Hardiman masih tetap meluangkan waktu untuk menjaga agar komunikasi dan keharmonisan dalam keluarga tetap terjaga. Tetapi dalam hal pengambilan keputusan tetap semuanya berada di tangan sang suami. Bila hendak bepergian kemanapun, baik ke luar kota ataupun jalan-jalan ke luar negeri, Lim Ai Ru harus ditemani oleh keluarga ataupun Hardiman.

Belajar Untuk Melepas
Jalinan jodoh Lim Ai Ru dan suami dengan Tzu Chi dibawa oleh putri bungsu mereka, Wilindayati yang dulu berkuliah di negeri Jiran, Malaysia.Saat itu putrinya aktif di Tzu Ching Malaysia. Linda berharap bahwa papa dan mamanya juga dapat bergabung di Tzu Chi. Bahkan saat Linda menemui Master Cheng Yen di Taiwan, ia berikrar di depan Master agar kedua orang tuanya bisa menemui Master Cheng Yen suatu hari. Niat yang kuat dari sang anak sampai ke hati Master Cheng Yen.

Ketika mereka  hendak berpamitan, Master Cheng Yen khusus berpesan kepadanya,   “Ingatlah untuk membawa kedua orang tuamu pulang ke sini.” Mendengar  pesan  khusus dari Master Cheng Yen, tekad Linda untuk membawa orang  tuanya masuk ke  Tzu Chi semakin kuat.

Berdasarkan dorongan dari putri bungsunya ini, Lim Ai Ru dan suami secara perlahan mulai mengubah hidup mereka yang awalnya penuh dengan kesenangan berganti dengan pola hidup yang sederhana dan bersahaja.Seperti relawan Tzu Chi umumnya, pada mulanya Lim Ai Ru hanya aktif menjadi donatur. Setiap bulan ia menyumbangkan dana untuk kemanusiaan melalui Tzu Chi. Lalu Linda yang baru saja pulang dari Malaysia, melihat jika Lim Ai Ru dan Hardiman yang belum juga mendapat informasi kegiatan Tzu Chi langsung mendaftarkan mereka ke relawan komunitas di Jing Si Books and Café Pluit yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal mereka.

Pada waktu itu Linda bertemu dengan Su Hui Shijie, relawan Tzu Chi yang berasal dari Taiwan. Dari Su Hui Shijie lah, Lim Ai Ru menjadi aktif di Tzu Chi. “Kebetulan waktu kegiatan Tzu Chi hanya di hari Sabtu atau Minggu, kan waktu itu saya masih buka toko, jadi nggak bisa ikut. Tetapi karena sering ditelepon akhirnya jadi penasaran seperti apa sih Tzu Chi. Suami juga penasaran, akhirnya setiap hari Minggu kita tutup toko juga,” ujar Lim Ai Ru.

Langkah Lim Ai Ru dan suami di Tzu Chi dimulai tahun 2005, ketika itu Lim Ai Ru dan suami mengikuti kegiatan pembagian beras di Teluk Gong, Jakarta Utara, lalu dilanjutkan dengan kegiatan baksos kesehatan di Singkawang, Kalimantan Barat. Di sana, Lim Ai Ru mendampingi seorang nenek yang berusia70 tahun yang menjalani operasi katarak. Setelah selesai operasi dan membuka perban, si nenek menangis terharu.

Ia  (nenek) berkata jika sudah tujuh tahun lamanya  tidak dapat melihat wajah  cucu-cucunya.Karena untuk mengumpulkan biaya  makan sehari-hari saja sudah cukup  berat, apalagi ditambah dengan biaya  operasi katarak, maka harapan untuk dapat  melihat pun pupus  sudah.Beruntung ada bantuan operasi katarak dari Tzu Chi  sehingga nenek  tersebut kembali memiliki harapan. Dari pertemuan dengan nenek  inilah  Lim Ai Ru menyadari jika ternyata di luar sana masih banyak orang yang   hidup dalam kekurangan dan kesusahan.

Dengan tekad tersebut, Lim Ai Ru pun memutuskan untuk lebih aktif di Tzu Chi. Lim Ai Ru perlahan tapi pasti mulai melepas kemelekatannya terhadap kegemarannya untuk membeli barang-barang mewah. “Setelah kita turun ke lapangan dan melihat masih banyak orang yang susah, saya pun sekarang kalau mau beli barang saya pikir dulu. Daripada dibuang sia-sia mending uangnya untuk sumbang di Tzu Chi untuk menjalankan amal sosial membantu sesama,” jelas ibu dari tiga anak ini. Hal ini pun membuatnya menjadi orang yang selalu bersyukur. Selain melepas hasrat untuk berbelanja, Lim Ai Ru juga mulai mengikhlaskan toko granitenya untuk tutup dan fokus ke Tzu Chi. ”Jika dulu biasanya kalau tidak ke toko rasanya nggak tega, tetapi sekarang setelah ikut Tzu Chi ternyata saya bisa melepas. Sampai akhirnya setelah berunding dengan suami, toko pun akhirnya ditutup dan saya juga mulai lebih aktif di Tzu Chi,“ terang Lim Ai Ru.

Perubahan Positif di Tzu Chi
Lim Ai Ru sendiri merasa sejak masuk Tzu Chi kehidupannya dan keluarga berubah seratus delapan puluh derajat. Awalnya ketika masuk Tzu Chi, sang suami masih belum dapat mengubah kebiasaan merokoknya. Tetapi setelah mendengar ceramah Master Cheng Yen ketika sedang pulang ke Medan, keesokan harinya Hardiman langsung menghentikan kebiasaan buruknya.

Perubahan positif lain yang ia rasakan ialah pada waktu mengikuti training di Taiwan. Pada waktu itu para relawan yang hadir diminta untuk menuliskan tekad untuk bervegetarian. Lim Ai Ru yang berada di rombongan relawan perempuan tidak dapat menulis karena jika dirinya ingin bervegetarian tetapi suami tidak berkenan maka akan repot. Maka Lim Ai Ru pun tidak menulis. Hingga pada hari terakhir training, Hardiman, suaminya menanyakan apa yang ditulis oleh Lim Ai Ru pada waktu penulisan tekad. Lim Ai Ru pun memberitahu jika ia tidak menuliskan apa-apa.

Lim Ai Ru pun berbalik  bertanya kepada suami, apa  yang ia tulis. Hardiman mengatakan jika dirinya  menulis untuk berikrar  vegetarian seumur hidup.Lim Ai Ru pun terperanjat tidak  percaya. Tetapi  Hardiman membenarkan jika itulah yang ia tulis. Maka sepulang  dari training, mereka berdua langsung menjalani kehidupan bervegetarian.

Satu setengah tahun berselang, ketika sedang mengikuti training relawan biru putih, Hardiman dan anak diminta untuk sharing mengenai bagaimana dirinya dan keluarga dapat bervegetarian.Ketika ingin berbicara, Hardiman terlebih dahulu meminta maaf kepada Lim Ai Ru.Ternyata waktu ketika mereka training di Taiwan, Hardiman tidak menuliskan tekad apapun.Sontak Lim Ai Ru kaget.Tetapi ‘kebohongan’ yang diciptakan oleh Hardiman telah membawa kebaikan dalam keluarga mereka.Mereka sekeluarga telah dapat menjalani kehidupan bervegetarian hingga saat ini. “Dulu sebelum bervegetarian, kolesterol dan Trigisit suami cukup tinggi, membuat hidup saya tiap hari tidak tenang. Nah semenjak kita ikuti pola hidup vegetarian, kolesterol, dan trigisitsuami semuanya sudah normal. Sekarang kita hidup lebih bahagia dan harmonis,” jelas Lim Ai Ru.

Lalu pada pertengahan tahun 2012, Lim Ai Ru diajak untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi di Palembang, Sumatera Selatan.Lim Ai Ru pun menceritakan hal ini kepada suami. Tetapi pada hari tersebut, ternyata Hardiman memiliki kegiatan lain. Lim Ai Ru pun langsung meredam niatnya untuk ikut ke Palembang.Hal ini karena sudah menjadi sebuah kebiasaan jika dimana ada Lim Ai Ru di situ pasti ada suami atau anggota keluarga yang menemani. Tetapi saat itu, Hardiman justru memberikan izin kepada Lim Ai Ru untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi di luar kota tanpa dirinya. Dalam hati Lim Ai Ru merasa kaget dan aneh. Biasanya kemanapun ia pergi selalu ada suami yang mendampingi. Ini juga menjadi pembelajaran bagi Lim Ai Ru karena biasanya kemana pun ia pergi pasti ada suami atau anak yang mendampinginya. Seiring berjalannya waktu, Lim Ai Ru menjadi lebih berani melakukan perjalanan tanpa didampingi oleh keluarga maupun suami.Jika biasanya kemana-mana sudah direncanakan oleh suami, maka kali ini dalam mengambil keputusan dan tujuan semuanya sudah harus diputuskan sendiri.Hal ini membuatnya menjadi lebih percaya diri dan mandiri.

Selamanya di Tzu Chi
Sebagai seorang relawan komite, Lim Ai Ru memiliki tanggung jawab untuk menggalang relawan dan menggalang hati. Tidak hanya di rumah dan lingkungan tempat tinggalnya, ia pun menularkan semangat ini di dalam kelas penyuguhan teh yang sering diadakan di Sekolah Tzu Chi Indonesia, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.

Tidak hanya melalui kelas penyuguhan teh, setiap hari Jumat malam, Ai Ru juga aktif melatih isyarat tangan di Jing Si Books and Café Pluit. “Murid saya ada sekitar 20 orang, ada yang dari masyarakat umum (non relawan) juga. Lumayan, bisa menggalang Bodhisatwa. Sudah ada murid saya yang menjadi relawan Tzu Chi,” ujar Lim Ai Ru yang menjabat sebagai Ketua Hu Ai Pluit sejak beberapa bulan lalu.

Selain itu perubahan besar yang terjadi pada Hardiman memberikan nuansa baru dalam keluarganya.Kini Hardiman tidak lagi menjadi sosok yang ditakuti dalam keluarga.Komunikasi dalam keluarga pun semakin mulus dan tidak ada lagi jurang pemisah dalam keluarga. “Sekarang kalau ada masukan dari anak-anak tidak langsung dibantah, tetapi didengarkan oleh suami. Jika memang benar dia akan turuti, jika tidak ia akan cari solusinya bersama-sama. Dengan perubahan ini, anak-anak menjadi lebih dekat dengan saya dan suami,” kata Lim Ai Ru. Dalam melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai kontraktor, Hardiman juga masih meluangkan waktu untuk melakukan sosialisasi Tzu Chi kepada para kliennya. “Saat mau melakukan perjanjian jual beli, jika notarisnya telat, sambil menunggu, suami suka sharing mengenai Tzu Chi kepada mereka,” ujar Lim Ai Ru. Dari awal ia bergabung ke Tzu Chi hingga saat ini sudah ada beberapa kliennya yang telah bergabung menjadi relawan Tzu Chi.

Di kala anak-anak mereka telah berkeluarga, mereka seharusnya sudah bisa menikmati hidup dengan tenang layaknya orang yang purnakarya. Tetapi di Tzu Chi tidak ada kata pensiun, justru Lim Ai Ru dan Hardiman semakin giat bersumbangsih di Tzu Chi. “Kalau sekarang saya merasakan hidup lebih bahagia, biar pun dulu kita hobby belanja, tetapi ketika pulang hati tidak pernah bahagia. Kalau sekarang, ikut kegiatan baksos atau kegiatan apapun di Tzu Chi, biar capek, tapi hati kita rasanya bersyukur karena bisa membantu sesama,” kata Ai Ru sambil mengembangkan senyumnya yang khas.

Seperti dituturkan kepada Teddy lianto dan Cindy Kusuma
Foto: Anand Yahya, Erli Tan (He Qi Utara), Hadi Pranoto dan Henry Tando (He Qi Utara)
Setiap manusia pada dasarnya berhati Bodhisatwa, juga memiliki semangat dan kekuatan yang sama dengan Bodhisatwa.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -