Lynda Suparto
Berjodoh dengan Kebajikan

  
Ada berbagai alasan mengapa begitu banyak jumlah relawan Tzu Chi di dunia, dan bahkan Tzu Chi bisa ada di 47 negara. Namun salah satu yang menjadi “magnet” adalah kelebihan Tzu Chi yang membuat relawan tidak hanya berbuat kebajikan tapi juga mendapat kesempatan untuk melatih diri.

Sejak awal Lynda Suparto sepertinya telah berjodoh dengan jalan kebajikan. Lynda berasal dari keluarga Buddhis yang taat dan tinggal di Medan. Istri dari Awaluddin Tanamas ini sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Kristen Methodist, sebelum kemudian menikah dan pindah ke Jakarta pada tahun 1989. Bahu-membahu dengan sang suami, Lynda mengembangkan usaha sekaligus menjadi istri dan ibu yang baik bagi keempat anaknya.
  
Seperti relawan Tzu Chi umumnya, pada mulanya Lynda Suparto atau yang lebih dikenal sebagai Lynda Awaluddin  hanya menjadi donatur. Setiap bulan ia menyumbangkan dananya untuk kemanusiaan melalui Tzu Chi. Adalah Lim Jian Liang Shixiong dan istrinya, Lai Zhen Yue Shijie, dua warga Taiwan yang membuka bisnisnya di Indonesia yang sangat berperan hingga Lynda dan suaminya, Awaluddin Tanamas, menjadi relawan Tzu Chi sekaligus murid Master Cheng Yen yang setia. Rupanya selain menjalin hubungan bisnis, Lim Jian Liang dan istrinya ini kemudian menjalinkan jodoh Tzu Chi kepada Lynda dan suaminya.

Keraguan yang Sempat Muncul
Jika awalnya Lynda ragu, tidak demikian dengan sang suami. Sejak tahun 1997, Awaluddin  sudah menjadi donatur Tzu Chi. “Sewaktu suami menyumbang di Tzu Chi, sebenarnya awalnya saya nggak terlalu setuju, karena saya kalau belum lihat sendiri kegiatannya rasanya belum yakin,” kata Lynda jujur. Sementara sang suami sendiri berprinsip jika sudah yakin untuk berderma, maka lakukan saja. Jika ada yang menyalahgunakan biar mereka sendiri yang tanggung akibatnya. Ini berbeda sekali dengan prinsip Lynda. “Apa yang saya sumbang, saya mau tahu arahnya kemana?” tegas wanita kelahiran Medan, tahun 1967 ini.

Seolah menyadari keraguan sang istri, Awaluddin  yang kemudian menjadi relawan Tzu Chi selalu menceritakan apa-apa yang dialami usai mengikuti kegiatan Tzu Chi. “Nah, kamu kan mau lihat nyatanya apa? Tadi tuh kita dah bagi sambako— minyak goreng, biskuit, beras, dan lain-lain – tapi kita malah diajarin untuk “Gan En” (bersyukur) sama orang yang kita bantu, karena kita diberi kesempatan untuk berbuat kebajikan,” cerita Awaluddin kala itu. “Dalam hati saya sebenarnya nggak percaya, apa benar ada yayasan seperti itu, dah menyumbang tapi berterima kasih kepada yang diberi bantuan,” kata Lynda.

Didorong rasa penasaran dan keingintahuannya, akhirnya Lynda pun ikut ke Serang saat Tzu Chi sedang mengadakan baksos kesehatan. Dari sinilah kemudian hati dan pikiran Lynda terbuka. “Ternyata memang benar-benar nyata. Saya baru pertama kali lihat langsung tersentuh dan tergugah,” kenangnya.

Setelah itu Lynda pun memutuskan untuk mengikuti jejak sang suami. “Waktu itu kantor Tzu Chi masih di Kelapa Gading, dan kegiatannya belum begitu banyak,” kenang Lynda. Menjelang, masa dan pasca krisis moneter yang terjadi di Indonesia tahun 1997-1998, barulah ladang berkah Tzu Chi terbuka lebar. Meskipun kegiatan-kegiatan sosial yang diikuti Lynda waktu itu masih dalam skala kecil, seperti pembagian sembako (minyak goreng, beras, dan  dan gula) serta pengobatan kepada masyarakat tidak mampu, ternyata cukup memberikan pemahaman yang berbeda tentang Tzu Chi dibanding organisasi sosial lain yang diketahuinya. “Saya bisa melihat dan merasakan sendiri, kita yang memberi pertolongan kepada orang lain, tapi justru kita yang berterima kasih. Tzu Chi juga menjadi tempat kita melatih diri, itulah kelebihan Tzu Chi,” ungkapnya. Selain itu menurut Lynda, dengan mengikuti kegiatan Tzu Chi, seperti kunjungan kasih, ia bisa melihat dan merasa bersyukur bahwa dirinya jauh lebih beruntung dari orang-orang yang dikunjunginya. “Seperti yang diajarkan Master Cheng Yen, kita bisa lebih membuka pikiran, lebih sederhana, dan berlapang dada untuk menolong sesama,” kata Lynda, yang dilantik menjadi anggota Komite Tzu Chi pada tahun 2003.
 
Selain itu menurut Lynda, dengan mengikuti kegiatan Tzu Chi, seperti kunjungan kasih, ia bisa melihat dan merasa bersyukur bahwa dirinya jauh lebih beruntung dari orang-orang yang dikunjunginya. “Seperti yang diajarkan Master Cheng Yen, kita bisa lebih membuka pikiran, lebih sederhana, dan berlapang dada untuk menolong sesama,” kata Lynda, yang dilantik menjadi anggota Komite Tzu Chi pada tahun 2003.
 
Bukan Kuantitas Tapi Kualitas
Selama hampir 13 tahun di Tzu Chi, Lynda mengaku jalan masuk ke dunia Tzu Chi adalah sebuah jalinan jodoh yang baik. Masih terkenang dengan jelas dalam benaknya masa-masa awal ia bergabung menjadi relawan, dimana ia banyak sekali mendapat bimbingan dari relawan Tzu Chi asal Taiwan yang tinggal di Jakarta, seperti Liu Su Mei (Ketua Tzu Chi Indonesa), Kao Pao Chin, Cun Ing, Su Hui dan relawan senior lainnya, Chia Wen Yu dan Like Hermansyah. Sebagai yang termuda, Lynda pun mendapat banyak bimbingan dari seniornya.

Dampaknya pun cukup positif bagi Lynda, ia menjadi semakin matang dan memahami Tzu Chi dan ajaran Master Cheng Yen. Hingga akhirnya di tahun 2007, Lynda diberi kepercayaan sebagai Ketua He Qi (komunitas relawan Tzu Chi) Timur. Kepercayaan ini tentu menuntut tanggung jawab dan totalitas yang tinggi. “Tentunya kepercayaan ini harus saya jaga baik-baik. Saya juga harus belajar lebih giat,” katanya bersemangat. Untuk melatih diri ini, setiap pagi Lynda selalu mencari kata Perenungan Master Cheng Yen untuk dikirimkan kepada keluarga, relawan Tzu Chi, dan teman-temannya. ”Sebenarnya ini me-remind diri saya sendiri, saya kan kalau mau kirim harus baca dulu. Itu mengingatkan ke diri saya sendiri sebenarnya,” ungkapnya jujur.

Sebagai Ketua He Qi, kesibukan membuat Lynda harus terjun ke semua misi Tzu Chi di Indonesia: Kemanusiaan, Kesehatan, Pendidikan, Budaya Kemanusiaan, dan Pelestarian Lingkungan. He Qi Timur sendiri memang terbilang unik, karena mayoritas relawannya berada dalam satu wilayah, yaitu Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saat ini jumlah relawannya mencapai 100 orang lebih (7 komite dan biru putih), dan ditambah relawan abu putih. Meski dari sisi jumlah relatif kecil, tapi dalam setiap kegiatan mereka dapat menunjukkan kekompakan dan menerapkan budaya kemanusiaan Tzu Chi. ”Karena setiap tim fungsionalnya itu sangat kuat (4 in 1), dan mereka bersedia memikul tanggung jawab, benar-benar kompak,” ucap Lynda bangga. Berbagai kegiatan seperti Jing Si Talk dan Bedah Buku pun rutin diadakan untuk menyirami batin relawan agar kembali segar. Selain itu menurut Lynda, faktor individu setiap relawan juga sangat penting, ”Keindahan individu-individu inilah yang kemudian membuat keindahan kelompok.”
  
 
Lynda berharap kekompakan yang sudah terjalin ini tetap terjaga. ”Jangan sampai pecah. Harus ada pengertian di antara setiap relawan. Inilah ladang berkah yang kita garap dengan sepenuh hati, inilah yang kita harap bisa membuat masyarakat tersentuh dan mengenal Tzu Chi,” katanya, ”ditambah He Qi lainnya semoga Tzu Chi lebih besar.
 
 
Bukan hanya besar dalam jumlah relawan maupun donatur, tapi benar-benar yang kuat dan kokoh akarnya. Dari akar yang kuat, tentunya akan menghasilkan ranting, buah, daun, dan akhirnya menjadi sebuah pohon yang kuat.”

Pelajaran dari Tzu Chi
“Tak ada gading yang tak retak”, begitu pula dengan kehidupan manusia, tidak ada yang sempurna. Hal ini pula yang dialami Lynda, cobaan terberatnya datang ketika putra bungsunya divonis dokter terkena autis. Meski begitu, kekhawatiran Lynda dan keluarga tidak berlebihan karena mereka mendapat banyak pelajaran kehidupan di Tzu Chi. “Saya sering mengikuti survei pasien penanganan khusus dan kunjungan kasih pasien, dari situ saya bisa tahu dan merasa bersyukur kita tidak kurang suatu apa. Orang lain mengalami cobaan lebih berat dari keluarga kami,” terang Lynda.

Lynda dan Awaluddin  dikaruniai 4 orang anak, 2 putri dan 2 putra: Stella (21), Sharon (19), Andrew (18), dan Alvin (14). Seperti ketiga anaknya, sewaktu kecil Alvin sama sekali tidak menampakkan perbedaan. “Waktu umur setahun Alvin sudah bisa jalan, tapi kalau bicara justru belum bisa. Dari orangtua bilang itu nggak apa-apa, karena memang ada anak yang duluan jalan, lambat bicara, dan sebagainya,” terang Lynda. Kecurigaan Lynda mulai muncul tatkala menginjak usia 2 tahun Alvin juga belum bisa bicara. Lynda dan suami pun membawa Alvin konsultasi ke dokter, dan menurut dokter Alvin mengidap autis (suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal).

Meski awalnya sempat bimbang, namun Lynda akhirnya bisa menerima. Ketimbang saling menyalahkan, Lynda dan Awaluddin  lebih fokus untuk mencari solusi, salah satunya terapi. ”Kita juga pernah bawa Alvin berobat ke Guangzhou untuk akupunktur selama setengah tahun,” ujar Lynda. Setiap 2 minggu sekali, Lynda dan suami bergiliran menjenguk Alvin. Di sana Alvin ditemani seorang pengasuh dan juru masak asal Indonesia. ”Itu masa yang cukup sulit untuk keluarga kami, setelah selesai kita bawa pulang dan putuskan untuk terapi di Jakarta,” terang Lynda.
 
 
Keyakinan hati Lynda untuk merawat anak bungsunya sebaik mungkin semakin mantap ketika mengikuti training di Hualien, Taiwan tahun 2007. Di sebuah sesi sharing, seorang relawan Tzu Chi yang memiliki anak dengan kelainan mental memberikan kesaksian betapa ia sempat berpikir untuk membunuh anaknya tersebut. Tetapi setelah bergabung dengan Tzu Chi, pikiran dan hatinya menjadi terbuka dan bisa lebih menerima keadaan anaknya dan merawat dengan penuh kasih.
   
Menurut Lynda, apa yang dialami Alvin ini ia anggap sebagai cobaan dari Tuhan, ”Yang penting kita coba berikan yang terbaik untuk Alvin. Syukurlah perkembangannya cukup menggembirakan, dia bisa mengikuti apa yang diajarkan. Banyak kemajuan, khususnya di bidang Matematika (ilmu hitung).” Lynda juga tidak memperlakukan Alvin secara khusus. ”Tentu untuk komunikasi dengan Alvin beda, kita tahu anak autis harus diawali dengan ketegasan. Jadi awal komunikasi dengan jawaban ”ya” dan ”tidak”. Tapi setelah dia besar, dia dah bisa komunikasi dengan kita, ’ya’ kenapa, ’tidak’ kenapa?” jelasnya.

Dalam hal pendidikan pun sama. Alvin disekolahkan di sekolah umum dengan pendidikan tambahan terapi. Untuk hal ini Lynda memiliki alasan tersendiri. ”Biar dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan anak-anak lain. Untungnya pihak sekolah nggak keberatan.” Ini juga merupakan saran dari terapisnya agar dapat bergaul dan berinteraksi dengan banyak orang, sehingga diharapkan proses penyembuhannya menjadi lebih cepat.

Bila bagi sebagian orang, jika memiliki anak yang autis merupakan suatu ”momok” di keluarga, tidak demikian dengan Lynda. ”Saya nggak ada rasa malu untuk bawa Alvin keluar,” tegasnya. Menurut Lynda, jika di lingkungan sendiri saja tidak bisa menerima, maka apalagi orang lain. Selain memberikan terapi, Lynda juga berdoa kepada Tuhan untuk memberi jalan (kesembuhan). ”Tapi lebih tepatnya lagi kita juga berbuat, semoga Tuhan bisa memberi pahalanya ke Alvin. Makanya dari keluarga kita yang pertama menjadi ”Rong Dong” (komite kehormatan Tzu Chi-red) adalah Alvin,” kata Lynda.

Bisnis, Keluarga, dan Tzu Chi
Sebagai anggota komite, Lynda memiliki tanggung jawab untuk menggalang relawan dan hati. Tidak hanya di rumah dan lingkungan tempat tinggalnya, Lynda pun menularkan semangat ini di perusahaannya, PT Lestarindo Ampuh Perkasa. Sebagai seorang direktur sekaligus ibu rumah tangga, Lynda masih tetap dapat beraktivitas di Tzu Chi. ”Saya bersyukur kepada staf saya, mereka punya hati sebagai relawan. Memang kalau turun langsung sebagai relawan sih belum, tapi supir-supir di kantor saya sering bawa mobil box untuk angkut barang-barang Tzu Chi saat baksos,” tuturnya bangga.
  
 
Seluruh karyawan di perusahaannya adalah donatur Tzu Chi. ”Ada 50 orang lebih. Dari level karyawan sampai staf, sesuai kemampuan mereka, tapi saya awali dengan prinsip jangan sampai ada keterpaksaan,” tegas Lynda. Salah satu media yang cukup efektif menyebarkan cinta kasih ini menurut Lynda adalah Buletin dan Majalah Tzu Chi. ”Jadi mereka bisa tahu bahwa dana yang mereka sumbangkan itu digunakan untuk apa saja,” terangnya.
  
Prinsip-prinsip Tzu Chi pun diterapkan di perusahaannya, salah satunya anjuran untuk tidak memakai sumpit bambu dan tidak merokok. ”Bentuknya lebih kepada himbauan, bukan larangan. Kita berusaha menggugah kesadaran mereka dengan cara mengadakan sosialisasi. Selain itu, saya juga terapkan di diri saya sendiri untuk selalu membawa alat makan sendiri,” terang Lynda.

Menanamkan Prinsip Tzu Chi di Keluarga
Aktivitas di Tzu Chi mempunyai pengaruh cukup besar bagi keluarga Lynda dan suaminya, termasuk keempat anaknya. Sejak dini Lynda berusaha mengenalkan Tzu Chi kepada anak-anaknya. Seperti saat baksos kesehatan, Lynda mengajak putra-putrinya yang kala itu berusia 10 - 13 tahun bersama relawan lainnya berbaris di ruang tunggu pendaftaran dan menghibur para pasien dengan Shou Yu dan bernyanyi bersama. Lynda juga selalu menceritakan kepada anak-anaknya tentang kegiatan Tzu Chi yang diikutinya. “Bahkan ketika anak saya Stella sudah kuliah di Singapura, saya masih rutin sharing mengenai kegiatan-kegiatan sosial di sini dan kata-kata perenungan melalui e-mail,”  jelas Lynda.

Apa yang ditanam, maka itu pulalah yang dituai. Keseriusan Lynda menanamkan prinsip-prinsip Tzu Chi kepada anak-anaknya berbuah manis. Dengan ketekunan Lynda memberikan pengertian tentang pentingnya bervegetarian bagi kebaikan diri sendiri dan sesama makhluk hidup, membuat Sharon, putri keduanya yang sudah menjadi anggota Tzu Ching pada bulan Desember 2007 memutuskan untuk bervegetarian sepulangnya mengikuti training Tzu Ching di Taiwan. Lynda sangat mensyukuri karena pada akhirnya jodohnya telah tiba bagi anak-anaknya.

Bahkan suatu ketika Lynda pernah ditegur oleh Alvin dan Andrew karena dianggap justru tidak menerapkan ajaran Master Cheng Yen. ”Waktu itu saya lagi marah dan larang anak-anak nggak boleh ini, nggak boleh itu, eh nggak tahunya Alvin bilang, ’Mama tiap hari kasih kita Kata Perenungan Master Cheng Yen, tapi kok Mama kayak gini.’ Saya langsung tersadar dan meminta maaf,” aku Lynda.

Tak dipungkiri Lynda, membagi waktu antara keluarga, pekerjaan kantor dan Tzu Chi, apalagi dengan posisinya sebagai Ketua He Qi Timur, merupakan tantangan tersendiri baginya. Akan tetapi, dengan kesadaran dan rasa bersyukur penuh, Lynda merasakan hal ini sebagai jalinan jodoh dan berkah baginya untuk bisa berbuat kebajikan. Dengan tantangan-tantangan ini pula, Lynda melihatnya sebagai pengalaman bagi dirinya untuk berkembang. “Saya jadi mampu membagi waktu, setiap detik akan saya pergunakan sebaik-baiknya,” ucapnya mantap.

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto dan Wanda Pratama
Foto: Anand Yahya, Sutar Soemithra, Kurniawan
 
 
Bila sewaktu menyumbangkan tenaga kita memperoleh kegembiraan, inilah yang disebut "rela memberi dengan sukacita".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -