Prof. DR. Dr. Satyanegara, Sp.BS (K): Direktur Senior Tzu Chi Hospital
Tak Henti Menjadi Inspirasi


Prof. DR. Dr. Satyanegara, Sp.BS (K) adalah dokter ahli bedah saraf senior di Indonesia. Meraih gelar Kedokteran dan Doktoral serta Profesor di Jepang, ia kembali ke Indonesia dan sempat menjadi dokter Kepresidenan RI. Kini di usianya yang tak lagi muda ia pun tak mau menyia-nyiakan kesempatannya untuk menjadi orang yang terus bermanfaat dan bergabung di Tzu Chi Hospital.

*****

Sejak Oktober 2021, Tzu Chi Hospital yang berlokasi di PIK telah beroperasi setelah melalui perjalanan yang panjang dan atas dukungan dari berbagai pihak, baik Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dan seluruh tim pembangunan, serta SDM mumpuni lainnya. Begitu banyak ahli “bertangan dingin” yang ikut andil dalam kelahiran rumah sakit Tzu Chi pertama di luar Taiwan ini, salah satunya adalah Prof. DR. Dr. Satyanegara, Sp.BS (K).

Sejak pembangunan Tzu Chi Hospital masih dalam angan, Prof. Satya (panggilan akrabnya –red) sudah beberapa kali bertemu dengan Ketua dan Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia untuk ikut meramu perencanaan adanya Tzu Chi Hospital. Beliau mengaku kagum dengan prinsip Tzu Chi dalam mendirikan rumah sakit ini yang adalah: menghargai jiwa, mengutamakan kehidupan dan cinta kasih. Itu juga yang menjadi salah satu alasan Prof. Satya mau bergabung di Tzu Chi.

“Ya di tahun 2013 itulah, ketika menerima ajakan dari Pak Aguan (Sugianto Kusuma, Wakil Ketua Tzu Chi) untuk bertemu Master Cheng Yen di Taiwan, itu pintu masuk saya di Tzu Chi,” ungkap Prof. Satya.

Saat ini, di usia yang ke-83, Prof. Satya menjabat sebagai Direktur Senior Tzu Chi Hospital sekaligus masih menjalankan praktik di Poli Bedah Saraf di Tzu Chi Hospital. Walaupun sudah tak lagi muda, tapi jangan salah, beliau tetap sepenuh hati memberikan pelayanan dan pemeriksaan, begitu pun dengan me-manage rumah sakit. Semangatnya masih sama seperti zaman muda.

“Saya rasa fisik masih sehat kuat, hanya mungkin ingatan yang sedikit kabur,” guraunya diiringi tawa renyah ketika memulai bercerita.

Mewujudkan Mimpi Sang Ibu
Prof. Satya besar di Kecamatan Welahan, Jepara, Jawa Tengah dengan nama Oei Kim Seng. Ayahnya orang Semarang, sedangkan Ibunya orang Shanghai, Tiongkok. Sejak kecil, didikan yang keras serta penanaman kemandirian membawa sulung tiga bersaudara ini bisa bertahan dan melanglang buana sesuai kata hatinya.

Terhitung sejak SMA, Oei Kim Seng sudah merantau dari Semarang ke Surabaya untuk bersekolah di kota besar. Katanya, ia ingin mewujudkan salah satu impian ibunya yang ingin punya anak, dokter.

Di usia yang tak lagi muda, Prof. Satyanegara masih menggenggam kesempatan untuk memanfaatkan ilmunya dengan menjadi Direktur Senior Tzu Chi Hospital. Ia juga masih membuka praktik dan melayani pasien di Poli Bedah setiap harinya.

“Orang berguna itu seperti dokter Y (menyebutkan inisial). Jadilah manusia seperti itu,” ucap Oei Kim Seng mengingat perkataan ibunya. Dokter Y sendiri merupakan seorang dokter asal Shanghai yang ditugaskan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk datang ke Semarang di tahun 1954. Saat bertemu dengan dokter itu, Ibunya tampak merasa bangga karena kala itu di Semarang hanya terdapat sekitar empat atau lima orang saja yang berasal dari Shanghai.

Demi mewujudkan hal itu pula, ia memberanikan diri untuk merantau lebih jauh lagi setelah lulus SMA, yakni ke Jepang. Berbekal uang saku yang terbatas, Oei Kim Seng pergi seorang diri ke Jepang dengan Kapal Tjitjalengka yang memakan waktu perjalanan sekitar 2 bulan lamanya. Saat itu pun ia belum mengerti bahasa Jepang. Tapi yang membuatnya semakin mantap untuk berjuang dengan diri sendiri adalah perkataan ayahnya ketika mengantarnya di dermaga.

“Ayah saya bilang, ‘Nak, kalau kamu tidak berhasil, pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir!’” tutur Prof. Satya menirukan perkataan sang ayah. Saat bercerita, ia memang mengingat peristiwa itu dengan penuh tawa bahagia, tapi ketika kejadian itu terjadi, Prof. Satya mengaku merasa sangat tertekan. Namun begitu, kata-kata ini lalu menjadi cambuk untuk anak lulusan SMA yang sebelumnya sudah belajar mandiri itu. Mau tak mau, ia harus bisa berhasil.

Di Jepang, Oei Kim Seng lebih dulu belajar bahasa selama satu tahun empat bulan. Ia juga tinggal (nge-kos) di rumah salah satu keluarga di Jepang untuk memperlancar praktik bicara dan menambah perbendaharaan katanya. Hingga ketika semua sudah matang, 3 Maret 1960 ia ikut ujian masuk kuliah kedokteran di Kyushu University dan dinyatakan berhasil lulus pada 15 Maret. Kemudian mencoba ikut ujian masuk di universitas berbeda, Tokyo Medical & Dental University pada 23 Maret. Lagi-lagi, namanya tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang lulus ujian masuk. Ia lalu memutuskan berkuliah di Kyushu University.

Setelah menjalani perkuliahan, Oei Kim Seng lalu dinyatakan lulus dan diwisuda pada 26 Maret 1966. Ia lalu melanjutkan S2 Bedah Syaraf di Tokyo University dan kemudian S3 di universitas yang sama. Gelar profesor pun ia dapatkan di Jepang. Kemudian pada 18 September 1972 ia kembali ke Indonesia setelah 14 tahun berjuang di Jepang untuk menjadi tim dokter Kepresidenan RI. Saat kembali pulang ke Indonesia itu, Oei Kim Seng lalu menggunakan nama Satyanegara.

Mendalami Makna Tzu Chi
Bertemu dengan Tzu Chi dan berkesempatan menjalin jodoh baik serta menggarap ladang berkah dalam misi kesehatan merupakan hal yang berbeda bagi Prof. Satyanegara. Dalam perjalanannya selama 60 tahun menjadi tenaga medis dan direktur dari berbagai rumah sakit besar, baru kali ini ia merasakan hal yang lain.

“Jodohnya memang membuat saya tersentuh dengan filosofi Tzu Chi dan bisa mendengar langsung ajaran dari Master Cheng Yen. Banyak yang sangat menyentuh dan saya anggap ajaran yang betul dan sejalan dengan pemikiran saya,” kata Prof. Satya. Seperti salah satunya adalah pemikiran Tzu Chi – Master Cheng Yen tentang hal paling mendasar, yakni cinta kasih. Menurut Prof. Satya, banyak yang mengajarkan cinta kasih, tapi yang spesial di Tzu Chi, Master Cheng Yen memberikan wadahnya untuk mempraktikkan cinta kasih itu.

“Di sini (Tzu Chi Hospital) kan ada prinsip yang sangat baik. Ketiga (menghargai jiwa, mengutamakan kehidupan dan cinta kasih) itu benar harus ditanamkan kepada bidang medis,” tutur Prof. Satya, “dengan praktik nyata itu, saya kira itu yang dinamakan Tzu Chi.”

Prof. Satyanegara memberikan sambutan dalam Pembukaan Layanan Cluster Palliative di Tzu Chi Hospital. Layanan ini merupakan satu dari lima layanan yang diunggulkan di Tzu Chi Hospital. Ia berharap seluruh tim di Tzu Chi Hospital dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat yang membutuhkan.

Tzu Chi yang dimaksud Prof. Satya merujuk pada artian secara harfiah. Yang mana Tzu berarti cinta kasih dan Chi berarti memberi bantuan. Sehingga Tzu Chi berarti memberi dengan cinta kasih. Hal itu sesuai dengan tujuan didirikannya Tzu Chi Hospital yang bukan semata untuk komersialisasi dalam bidang Kesehatan.

“Di sini kita berorientasi kepada pasien dan sekaligus bisa mengisi diri kita dengan berbagai filosofi kebaikan (budaya humanis Tzu Chi) itu sendiri,” kata Prof. Satya, “untuk saya pun, saya mendapat pelajaran untuk menilai lagi sejauh mana saya melakukan ajaran Master Cheng Yen, apakah sudah pas atau belum.”

Hidup dengan Baik dan Bermanfaat
Dari sana pula, kini Prof. Satya mengoreksi beberapa sifatnya yang ketika muda dulu dirasa tidak patut untuk ditiru karena terlalu sibuk dengan urusan rumah sakit. Di masa mudanya, Prof. Satya menjalani masa baktinya ketika anak-anaknya masih sangat kecil.

Sejak anaknya SD sampai lulus SMA, ia menjelaskan sangat jarang mempunyai waktu untuk bertemu karena kesibukan yang mengharuskannya pulang sampai rumah di pukul 1 atau 2 dinihari. Sementara pukul 6 keesokan paginya, ia harus kembali menjalankan tugas. Dulu pun, keluarganya tidak akan berani mengeluhkan kesibukannya karena menganggap sang papa adalah figur yang keras dan galak. Tapi galak bukan sifat bawaan, melainkan karena beratnya tekanan pekerjaan mulai dari melayani praktik dan konsultasi pasien hingga mengurus manajemen rumah sakit.

“Tapi saya salut dengan keluarga saya yang tetap menemani. Saya juga merasa kalau dulu hidup yang kurang sehat,” aku Prof. Satya, “maka saya minta maaf kepada mereka karena saya adalah figur ayah yang kurang sempurna.”

Buntutnya, kini tak ada satupun anak Prof. Satya yang ikut perjalanannya menjadi seorang dokter. Satu anaknya memilih menekuni bidang teknik, sedangkan satu lainnya menekuni bidang ekonomi. Tapi bagi ayah dua anak ini, pilihan itu pun tak menjadi masalah karena yang paling penting adalah melakukan sesuatu itu harus yang baik dan yang bermanfaat untuk orang lain. Prof. Satya merasakan hal itu ketika ia menjadi dokter, apalagi ketika mendengar penyakit pasien bisa sembuh. Senangnya bukan main.

“Mau jadi apa, tujuannya harus baik. Mau jadi tukang masak pun oke, tapi jadilah yang baik, memasak yang enak untuk orang lain. Yang penting berguna untuk masyarakat, berguna untuk sesama manusia, jangan sampai bikin orang lain celaka,” pesannya.

Dengan menjadi dokter, Prof. Satya merasa dibutuhkan oleh orang lain, mulai dari lini terkecil dalam masyarakat hingga pihak pemerintah. Itulah mengapa, di usianya yang tak lagi muda pun ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi orang yang terus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Ia juga berpesan kepada keluarga besar Tzu Chi Hospital untuk terus memperlakukan pasien bagai keluarga dan memberikan pelayanan dengan sepenuh hati.

“Namun, untuk menghasilkan sesuatu yang baik harus pelan-pelan karena banyak tugas tapi kita harus tetap punya satu tujuan, itu yang tidak gampang dan tantangan sebagai pimpinan apakah bisa mengatur sampai ke sana atau tidak,” paparnya. “Satu lagi, tidak boleh marah, karena marah tidak cocok dengan sila Tzu Chi,” lengkapnya tertawa.

Penulis: Metta Wulandari
Fotografer: Anand Yahya
Sikap mulia yang paling sulit ditemukan pada seseorang adalah kesediaan memikul semua tanggung jawab dengan kekuatan yang ada.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -