Tan Soei Tjoe
Galang Hati, Galang Cinta Kasih

 
Ada orang bijak yang mengatakan, jika ingin mendapat mendapat teman yang baik maka berkumpullah di tempat yang baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Tan Soei Tjoe yang merasa bahwa Tzu Chi merupakan “rumah” yang cocok baginya.

Berawal dari sebuah undangan perayaan Waisak, langkah kaki Tan Soei Tjoe seolah menemukan pijakan yang tepat. Ajakan dari salah seorang teman sekolahnya dulu membuatnya mantap melangkah di jalan Tzu Chi sekaligus menjadi murid Master Cheng Yen baik. Di Tzu Chi pula Tan Soei Tjoe atau yang akrab dipanggil Soei Tjoe semakin memahami bahwa berbuat baik dan menjadi bijaksana adalah sesuatu yang harus berjalan beriringan, agar perbuatan baik yang kita lakukan tidak membuat orang justru mengalami ketergantungan ataupun merasa direndahkan.
  
"Sebelum bergabung di Tzu Chi saya juga suka kerja sosial, cuma waktu itu kurang bijaksana. Saya sering bilang sama Hansip (petugas keamanan –red) di rumah saya, kalau ada orang sakit atau meninggal dan butuh bantuan tolong kasih tahu saya,” kata Tan Soei Tjoe, "cuma waktu itu saya langsung kasih uang ke petugas keamanan itu, saya nggak berinteraksi dengan penerima bantuan, dan nggak tahu juga siapa yang nerima.” Setelah bergabung di Tzu Chi, Soei Tjoe pun menyadari bahwa dalam memberikan bantuan bukan hanya materi yang diutamakan, namun perhatian dan cinta kasih pada penerima bantuan juga harus dilakukan.

Para Pasien yang Berkesan 
Pertama kali terjun sebagai relawan di tahun 1996, Tan Soei Tjoe langsung ikut kegiatan pembagian beras dari Taiwan yang dibagikan kepada masyarakat kurang mampu di Jakarta. Seiring keaktifannya di Tzu Chi, sepulang dari Taiwan, Soei Tjoe kemudian diserahi tanggung jawab untuk menangani pasien bantuan pengobatan khusus Tzu Chi. “Dulu perusahaan belum begitu sibuk, jadi kemana aja masih gampang,” terangnya.

Semua kegiatan di Tzu Chi selalu bernilai positif dan bermakna bagi Soei Tjoe, namun pendampingan pasien pengobatanlah yang selalu memberi kesan mendalam di hatinya. “Saat kita melihat pasien itu pulih dan bangkit lagi semangat hidupnya kita juga akan merasa senang. Mereka bahagia kita juga ikut bahagia. Hal-hal seperti itu kan sesuatu yang nggak bisa dibeli dengan uang,” tandasnya. Bahkan beberapa pasien yang pernah didampinginya sampai sekarang pun masih ada yang menelepon dan memberinya ucapan selamat setiap Perayaan Tahun Baru Imlek. “Terus terang saya senang sekali, mereka masih ingat saya. Kalau mereka ada yang hajatan juga mereka undang saya,” kata Soei Tjoe yang selalu menyempatkan hadir.

Melihat dan berinteraksi langsung dengan mereka yang menderita sakit dan hidup kekurangan membuat Soei Tjoe semakin mensyukuri berkah yang dimilikinya. “Kalau melihat ke atas terus kita nggak akan pernah merasa puas, tetapi kalau kita sesekali melihat ke bawah, maka kita akan sangat bersyukur karena ternyata kita jauh lebih beruntung,” ujarnya, “bukan hanya lebih beruntung dari segi materi, tubuh kita yang sehat pun menjadi satu hal yang patut disyukuri.”  

Lahan Pembelajaran Batin
Ada banyak alasan mengapa wanita kelahiran Medan 60 tahun silam ini merasa senang dan nyaman menjadi relawan Tzu Chi. “Karena kita bisa dapat teman yang baik. Yang kedua kita bisa melatih diri, karena kalau turun ke lapangan itu bisa menjadi pembelajaran bagi kita. Contohnya dulu kalau mau belanja saya seenak hati aja, padahal uang itu kan bisa kita pakai untuk bantu orang, kenapa kita pakai untuk foya-foya. Dulu nggak kepikiran sampe gitu, sekarang kalau mau belanja dah pegang barang juga mikir lagi, saya dah punya belum,” ungkapnya sembari tertawa mengenang masa-masa ia suka memburu barang-barang bermerek.
 
Menjadi relawan di dalam sebuah “keluarga” yang besar, tentunya terkadang juga terdapat kesalahpahaman maupun hal-hal yang kurang mengenakkan, namun bagi mereka yang memang bertekad untuk melatih diri maka hal-hal tersebut tak akan mudah menggoyahkan semangat. “Pasti ada asam manisnya, kadang kita dah kerja keras, ngorbanin waktu dan tenaga, tapi tetap saja masih terlihat salah di mata orang lain. Tapi ya itu, kita mikir lagi, kita kan ikut Tzu Chi bukan buat siapa-siapa, tapi buat kita sendiri, ya akhirnya balik lagi,” tegasnya.
   
Begitu pula jika terjadi perselisihan dengan relawan lainnya, Soei Tjoe pun menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar. “Saat itu mungkin kita kesal, tetapi setelah itu nggak lagi, seperti kata Master Cheng Yen, ‘melangkah ke depan kita nggak usah lihat ke belakang lagi,” ujarnya. Dalam sebuah ceramahnya Master Cheng Yen pernah mengatakan bahwa untuk menjaga keharmonisan antar sesama relawan yang perlu dikembangkan adalah sikap rendah hati, toleran, dan selalu melihat kelebihan orang lain. “Bagian yang lancip tentu akan menusuk hati, mengapa kita tidak membuatnya menjadi bulat? Kita harus membuatnya menjadi memuaskan semua pihak, harus penuh pengertian, kita juga harus senantiasa berterima kasih pada orang lain.” (Master Cheng Yen).

Bagi ibu 3 anak ini Master Cheng Yen adalah sosok yang sangat anggun dan bijaksana. Meski hampir setiap tahun pulang ke “kampung halaman batin” di Hualien Taiwan, namun Tan Soei Tjoe tetap tak bisa menyembunyikan rasa harunya saat bertemu Master Cheng Yen. “Ketika bertemu Master Cheng Yen selalu terharu dan ingin menangis. Beliau yang sosoknya begitu kecil tetapi mau memikul beban yang sangat besar bagi manusia di seluruh dunia, ini membuat saya bertekad untuk menjadi murid yang baik dan melakukan apa yang beliau ajarkan,” tegasnya. Dan ajaran Master Cheng Yen inilah yang turut mengubah sikapnya, terutama dalam hal berbakti kepada kedua orang tua. “Dulu saya anggap kalau sudah ngasih uang ke orang tua rasanya sudah cukup, tetapi setelah ikut kegiatan Tzu Chi beda, kita sama orang tua lebih perhatian, ngajak ngobrol dan lebih sering mengunjungi mereka,” ungkap Soei Tjoe.
  
Memulai Usaha dari Nol
Menikah pada tahun 1976, awalnya kehidupan ekonomi Tan Soei Tjoe dan suaminya Toh Siang Heng tak terlalu baik. Mengandalkan keterampilannya dalam hal pembukuan, Tan Soei Tjoe pun merantau ke Jakarta pada tahun 1979 dan bekerja di sebuah perusahaan di Tangerang. Toh Siang Heng sendiri mencoba membuka bisnis kecil-kecilan bersama teman-temannya.
 
Dari buah perkawinan mereka pasangan ini dikaruniai 3 anak: Veronica (34), Andrew S. (27), dan Elisha S. (25). Kini kedua anak perempuannya tinggal di negeri orang bersama suami mereka. “Ada yang di Amerika dan Kanada,” terang Soei Tjoe. Sementara putranya sendiri tinggal di Jakarta dan sempat membantu menjalankan bisnis kedua orang tuanya sampai kemudian membuka usaha sendiri. Mulai dari suami dan anak-anaknya, tidak ada yang berkeberatan jika istri dan mama mereka aktif di Tzu Chi. “Mereka sudah tahu saya suka Tzu Chi,” tegasnya. Hanya jika saat anak-anaknya sedang berkunjung dan berada di Indonesia maka Tan Soei Tjoe pun praktis mengurangi aktivitasnya di Tzu Chi. “Kalau mereka pas di Jakarta terus saya malah nggak di rumah nanti mereka protes, ‘dah jauh-jauh datang malah mamanya nggak ada’,“ cerita Tan Soei Tjoe sambil tersenyum.

Menjadi relawan Tzu Chi yang aktif sekaligus menjadi pengusaha yang cukup sukses di bidangnya mungkin menjadi kombinasi sempurna yang tidak selalu dimiliki oleh orang lain. Secara terbuka Soei Tjoe menceritakan perjalanan bisnis yang dirintis bersama suaminya hingga sukses seperti sekarang. “Kita usaha dari nol. Modalnya cuma 2 juta rupiah, sewain gudang dan masukin barang. Kemudian suami saya diajak sama temannya untuk usaha ekspedisi dan kami coba. Ternyata berhasil dan jalan sampai sekarang,” paparnya.

Ada satu prinsip dalam berusaha yang menurut Tan Soei Tjoe harus dimiliki oleh setiap orang, yaitu kejujuran. “Kepercayaan itu paling penting dalam usaha apapun. Kami juga sering dengar Ceramah Master Cheng Yen untuk selalu jujur dan menjadi orang yang baik, jadi ketika ada ‘keinginan aneh-aneh’ agar keuntungan makin berlipat ganda, kami selalu ingatkan itu, jadi kebawa dalam setiap langkah kami,” tegasnya.

Toh Siang Heng sendiri belum aktif menjadi relawan Tzu Chi, namun ia selalu mendukung istrinya mengikuti kegiatan Tzu Chi. Bahkan saat Soei Tjoe “memindahkan” sejumlah besar tabungan mereka untuk disumbangkan ke Tzu Chi, Toh Siang Heng pun bisa memakluminya. “Waktu itu saya ragu, apakah suami saya izinkan atau tidak. Saat itu yayasan sedang membutuhkan dana pembangunan, jadi saya langsung sumbangin ke Tzu Chi,” ungkap Soei Tjoe sembil tertawa. Soei Tjoe bisa leluasa mengeluarkan dana karena memang urusan keuangan perusahaan ditangani olehnya.
  
Sepandai-pandainya menyimpan rahasia, akhirnya suatu waktu pasti ketahuan juga. Yang mengejutkan Soei Tjoe, reaksi suaminya sangat berbeda dengan yang dibayangkan ketika mengetahui uangnya digunakan untuk sumbangan Rong Dong (komite kehormatan yang menyumbangkan uang sebesar 1 juta NT atau sekitar 300 juta rupiah).  “Dia nggak marah, jadi untuk yang ketiga dan keempat saya nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi,” ujarnya. Bahkan sumbangan Rong Dong itu pun salah satunya tercatat atas nama sang suami.
  
Menumbuhkan Bibit Kerelawanan di Perumahan Cinta Kasih
Sebagai relawan yang hadir di masa-masa awal Tzu Chi di Indonesia, Soei Tjoe paham betul lika-liku dan perkembangan Tzu Chi Indonesia, khususnya saat tahun 2002 dimana kala itu Tzu Chi membangun perumahan bagi warga yang terkena relokasi bantaran Kali Angke. Seperti prinsip Tzu Chi yang bukan hanya membantu dari segi fisik dan materi saja, namun juga membantu para penerima bantuan untuk memulihkan kehidupannya dan memiliki keinginan untuk membantu sesama. Berkat ketulusan dan kegigihan ia dan relawan lainnya, kini di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi telah bermunculan bibit-bibit kerelawanan yang membuat warga yang semula dibantu kini turut bersumbangsih membantu sesama. “Sebenarnya ide awal pembentukan relawan di rusun ini datang dari Su Hui Shijie (relawan Tzu Chi asal Taiwan –red), namun karena kendala bahasa akhirnya saya yang bisa lebih mudah berbaur dan berinteraksi dengan mereka,” kata Soei Tjoe. 

Pelan-pelan Soei Tjoe merangkul dan mengajak mereka mengikuti kegiatan-kegiatan Tzu Chi. Mulai dari kunjungan kasih sampai pendampingan bagi warga penerima bantuan program Bebenah Kampung Tzu Chi di Kampung Belakang, Kamal, Jakarta Barat. “Mereka malah bisa menginspirasi warga di sana, karena mereka kan punya pengalaman hidup yang hampir sama dengan warga di Kampung Belakang,” ujarnya. Kini rutin sebulan sekali para relawan dari Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi datang untuk menggalang dana dan hati di wilayah Kampung Belakang. Awalnya Soei Tjoe pun merasa risih dan sungkan saat mencoba menggalang dana kepada warga di Kampung Belakang, terlebih setelah melihat kehidupan warga di sana yang minim. “Saya datangi mereka setiap bulan, tapi bukan untuk minta sumbangan, melainkan memberi perhatian. Suatu saat saya pancing mereka untuk jadi donatur Tzu Chi, eh ternyata mereka mau, dari situ saya jadi tambah semangat,” kenangnya. Bahkan ada warga yang bersedia menyumbang dalam jumlah besar, namun disarankan oleh Soei Tjoe untuk sesuai dengan kemampuannya saja. “Yang penting kan keikhlasan dan rutin berdananya,” terangnya. Tujuan dari penggalangan dana ini sendiri tak lain untuk menumbuhkan rasa syukur warga sekaligus juga menanam pahala baik bagi mereka. “Seperti Master Cheng Yen bilang sebaiknya warga yang dibantu juga dapat bersumbangsih sebagai bekal pahala mereka,” tegas Soei Tjoe, “supaya mereka juga tahu bahwa dengan uang seribu atau dua ribu itu bisa untuk membantu orang lain. Saya berharap mereka tumbuh keinginan untuk memberi, tidak hanya menerima saja.”

Tidak mudah untuk mengajak warga Perumahan Cinta Kasih melakukan kegiatan amal kemanusiaan, sementara di sisi lain mereka sendiri masih harus berjuang memperbaiki kehidupan ekonominya. Hanya cinta kasih dan tekad yang kuatlah yang bisa membawa para warga ini meleburkan diri dalam misi kemanusiaan. “Dulu orang mungkin menyangka saya ngasih apa ke mereka, tetapi sebenarnya nggak, karena yang mereka butuhkan sebenarnya adalah cinta kasih yang tulus,” ungkap Soei Tjoe, “saya sama relawan manapun sama, kalau saya mau pergi kemana saya cuma siapin makanan, cuma segitu aja, nggak ada perlakuan khusus,” jelasnya.
  
 
Tak heran jika warga Perumahan Cinta Kasih menganggap Soei Tjoe layaknya kakak mereka. “Kadang mereka kalau ada kesulitan bilang ke saya, kalau saya bisa saya bantu. Tetapi mereka tetap bayar kok, saya (juga) nggak mau mereka menjadi manja,” katanya, “seperti di Dadap, ada yang pinjam 100 ribu buat bikin akte anaknya, ya saya pinjamin, dan mereka bayar. Saya didik mereka untuk membayar walaupun dengan cara mencicil.”
 
 
Pernah juga Sofie Shijie, koordinator relawan di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi saat itu “kepepet” untuk membayar uang kuliah anaknya. Oleh Soei Tjoe pun diberikan. Karena untuk biaya pendidikan dan masa depan anak itu dan keluarganya, Soei Tjoe pun sudah mengikhlaskan: dibayar syukur, tidak pun tak apa-apa. Tapi tanpa disangka, saat anak itu lulus kuliah dan bekerja, uang itu pun dikembalikan kepadanya. “Saya sangat terharu, saya langsung cerita ke orang-orang, padahal waktu dia (Sofie) pinjam saya nggak ngomong-ngomong,” kata Soei Tjoe bangga, “jadi kedekatan saya dengan mereka (warga rusun) bukan dibangun dengan uang.”

Sebagai Wakil Ketua komunitas relawan He Qi Barat, Soei Tjoe merasa perlu mengajak semua relawan, khususnya di wilayah He Qi Barat untuk dapat pulang ke kampung halaman batin insan Tzu Chi di Hualien, Taiwan. “Karena kami sendiri merasa kalau dah ketemu Master Cheng Yen perasaannya beda. Kalau ketemu langsung seolah-oleh kita di-charge,” tandas Soei Tjoe. Untuk itu ia pun membentuk tabungan relawan dengan tujuan agar setiap orang bisa memiliki kesempatan bertemu dengan Master Cheng Yen. Tabungan itu sendiri dipegang atas nama tiga relawan: Tan Soei Tjoe, Se Ing, dan Johnny.

Di tengah-tengah kesibukannya mengurus perusahaan, Tan Soei Tjoe masih berupaya untuk bisa menjadi “teladan” bagi relawan-relawan muda di bawahnya. Sebagai Wakil Ketua He Qi Barat ia memegang tanggung jawab yang cukup besar untuk memastikan berbagai kegiatan di wilayah He Q Barat terlaksana dengan baik, sekaligus menjaga keharmonisan relawan di sana. “Master Cheng Yen aja yang badannya kecil begitu mau memikul tanggung jawab yang sangat besar. Bangun tidur aja dia dah mikirin manusia, kenapa kita dikasih tugas yang ringan aja nggak mau,” tegasnya. (Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto)
 
Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto
Foto: Anand Yahya
Setiap manusia pada dasarnya berhati Bodhisatwa, juga memiliki semangat dan kekuatan yang sama dengan Bodhisatwa.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -