Yusniaty
Mengubah Kelemahan Menjadi Kekuatan

Mengubah Kelemahan Menjadi Kekuatan

Saya mulai mengenal Tzu Chi ketika Sekolah Tzu Chi Indonesia mulai berdiri di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara. Saat itu saya tertarik untuk menyekolahkan anak saya karena mendengar di sana ada pendidikan budi pekerti Tzu Chi dalam kurikulumnya. Walaupun saat itu belum terpikir untuk bergabung menjadi relawan, tetapi saya beberapa kali mengikuti kegiatan donor darah yang diadakan Tzu Chi di sekolah. Dari anak saya juga, lambat laun saya semakin akrab dan mengenal Tzu Chi lebih dalam.

Ketika banjir besar melanda Jakarta tahun 2013 lalu, kami, para orang tua murid dari kelas anak saya berinisiatif untuk membantu sebagai relawan pembungkus nasi untuk para korban banjir. Saat itu memang terasa ada panggilan bahwa saya harus ikut membantu. Meskipun akhirnya saya hanya membantu mem-packing kardus, tetapi saya senang karena ada hal yang bisa saya lakukan untuk membantu para korban banjir. Itu adalah kegiatan pertama saya di Tzu Chi.

Hari berikutnya, saya masih ikut membantu menjadi relawan. Ketika itu saya bertemu dengan Netty, tetangga sekaligus relawan Tzu Chi yang menjadi Wakil Xie Lie (komunitas relawan) PIK. Sejak itu, setiap kali ada kegiatan beliau selalu mengajak saya. Pada bulan Maret 2013, saya mengikuti sosialiasi relawan dan di bulan yang sama saya mengikuti training relawan abu putih yang pertama.

Semua Pasti Ada Jalan

Saat pertama bergabung di Tzu Chi, saya awalnya aktif dalam tim kesehatan (baksos) dan kebaktian. Namun setelah itu, keinginan saya ternyata lebih kuat untuk menjadi relawan Zhen Shan Mei (Tim Dokumentasi). Saya pertama kali menjadi relawan Zhen Shan Mei pada September 2013. Saat itu ada kegiatan pembagian kupon beras di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Muara Angke. Saya ditunjuk untuk mendokumentasikan, meski saat itu masih menggunakan kamera handphone. Dan ternyata foto-foto itu ada yang dipakai untuk artikel di website Tzu Chi Indonesia. Saya pun merasa senang. Sejak itu jika ada kesempatan untuk mendokumentasikan, saya akan foto dan share hasilnya di grup relawan.

Tiga tahun kemudian, tepatnya awal tahun 2016, saya dipercaya menjadi salah satu koordinator Relawan Zhen Shan Mei di He Qi Utara 1. Saya sempat khawatir karena harus berkoordinasi dengan para penanggung jawab kegiatan di komunitas. Setiap kegiatan diupayakan ada dokumentasinya. Awalnya saya sempat cemas karena Zhen Shan Mei meliputi artikel, foto, dan video, sedangkan saya hanya bisa foto. Tapi dengan dukungan dari relawan lainnya kami bisa saling membantu dan melengkapi. Saya percaya, kalau kita berani mengemban tanggung jawab dan tekad yang baik maka semua pasti ada jalannya.

Saya merasa mendapat berkah sebagai Relawan Zhen Shan Mei, karena dengan begitu saya bisa ”merasakan” semua misi dan belajar banyak. Melihat langsung kisah-kisah penerima bantuan dan juga relawan membuat saya banyak belajar. Mungkin ini yang sering dikatakan Master Cheng Yen bahwa kehidupan setiap manusia adalah Sutra.

Suami saya awalnya kurang setuju saya bergabung menjadi relawan. Ini karena kedua anak kami masih kecil-kecil, apalagi anak pertama kami berkebutuhan khusus. Selain mengurus rumah tangga, saya juga bekerja part time. Suami sempat komplain, tapi saya meyakinkannya dengan tindakan dan tekad saya. Lambat laun, suami pun paham dan mendukung.

Hal lain yang saya pelajari adalah bersabar dan berlapang dada. Hal inilah yang sering saya dapatkan dari orang-orang yang saya temui di Tzu Chi dan kemudian saya terapkan pada diri saya sendiri. Dulu saya sempat hampir putus asa karena banyak yang memberi masukan dan mengatakan betapa sulitnya merawat dan mendidik anak berkebutuhan khusus. Ini membuat saya tertekan dan tidak tahu harus bagaimana. Banyak kenangan buruk yang saya rasakan saat itu.

Beruntung, sebagai relawan saya bertemu banyak orang yang menginspirasi dan belajar berlapang dada. Bahkan terkadang saya melihat orang yang lebih sulit kondisinya dari saya dalam merawat anaknya. Kini saya sudah bisa lebih menerima kondisi yang ada, karena dengan adanya anak saya maka saya menjadi lebih sabar, pengertian, dan lebih bisa memberi daripada hanya sekadar menuntut. Jika ada kondisi yang tidak menyenangkan, saya selalu mengingatkan pada diri sendiri untuk tidak terlalu mengambil hati atas perkataan atau tindakan orang lain, karena apa pun yang terjadi adalah yang terbaik. Jadi, kita yang harus menguatkan diri kita sendiri.

 

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto.

The beauty of humanity lies in honesty. The value of humanity lies in faith.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -