“Saya Bangga Mereka Punya Cita-cita†(Bag.1)
Jurnalis : Ivana, Fotografer : Ivana
|
| ||
Sebagai dataran rendah yang sangat luas, sejak masa penjajahan kolonial, Sunda Kelapa dilalui 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Hal ini pula yang menyebabkan Belanda memilih Sunda Kelapa menjadi pusat pemerintahan kolonial dengan nama Batavia, sebab kontur sungai-sungainya membuat Batavia mengingatkan pada negeri asal mereka, negeri Belanda. Pada masa itu, banjir sudah jadi masalah yang umum. Maka Belanda mewariskan sistem drainase pintu air yang masih digunakan untuk mengelola aliran air sungai Jakarta hingga hari ini. Ketika Batavia berubah menjadi ibukota Jakarta pascakemerdekaan, pengambilalihan infrastruktur belum sepenuhnya siap dilakukan. Pengelolaan Jakarta dan sungai-sungainya pindah tangan. Sebagai ibukota, Jakarta seperti permata cemerlang yang menjanjikan kesejahteraan hidup sehingga menyedot ribuan pendatang setiap tahunnya. Batas wilayah terus meluas, mengubah hutan rawa yang semula mengepung Jakarta berganti wajah menjadi perumahan, perindustrian, juga perkantoran. Semakin lama, tanah semakin mahal dan jadi rebutan, hingga pendatang yang tipis kantongnya dan datang dengan harapan mengadu nasib, memilih tanah “sisa” untuk tinggal. Salah satunya adalah di tepi-tepi sungai.
Ket : - Sewaktu mengikuti pelatihan calon guru Sekolah Cinta Kasih, Zainah baru mengenal Tzu Chi dan misi pendidikannya. (kiri) Pertama yang Tak Terlupakan Tahun 2002, banjir yang terjadi di Jakarta jauh lebih hebat dari tahun-tahun sebelumnya. Hampir separuh wilayah terendam. Ini membuat pemerintah dituntut untuk melakukan pembenahan. Salah satu sasarannya adalah mengembalikan sungai pada fungsinya. Kebijakan ini menuding pada ratusan ribu warga penghuni bantaran kali untuk pindah. Pada saat itu, kebetulan Yayasan Buddha Tzu Chi melakukan bantuan korban banjir di wilayah Kapuk Muara, Jakarta Utara. Relawan membagikan makanan dan air minum pada para warga dan mengadakan baksos kesehatan berkala. Persoalan hidup bantaran kali terbawa hingga saat laporan bantuan banjir ke Master Cheng Yen, pendiri Tzu Chi di Taiwan. Master yang dikenal welas asih dan bijaksana mengarahkan langkah penanggulangan yang salah satunya mencakup pembangunan perumahan. Maka, dari sekian ratus ribu warga bantaran kali yang dipindahkan dengan keputusan Gubernur DKI Jakarta saat itu, 5.500 KK diserap oleh Tzu Chi di Perumahan Cinta Kasih yang dibangun di Cengkareng, Jakarta Barat. Dalam kompleks perumahan dibangun pula sekolah dan poliklinik, keduanya menyandang nama “Cinta Kasih”.
Ket: - Sikap dan perilaku murid-muridnya yang selama ini tumbuh dan tinggal di pinggir kali sempat membuat Zainah tertegun. (kiri). Tadinya Zainah adalah kepala sekolah di sebuah SD di Bekasi. Ia tinggal di rumah peninggalan orang tua bersama suami dan dua saudaranya. Ia mencintai pekerjaan dan juga murid-muridnya. Hanya saja, 9 tahun mengajar sekolah yang sama membuatnya mulai jenuh. Saat itu seorang guru meminta surat keterangan kerja darinya selaku Kepala Sekolah untuk melamar ke Sekolah Cinta Kasih yang baru membuka lowongan. Akhirnya Zainah ikut melamar dan dua minggu kemudian mendapat kabar bahwa ia diterima. “Awalnya saya belum tahu apapun tentang Tzu Chi. Setelah diterima, baru kami dikenalkan apa itu Tzu Chi. Karena tidak terlalu beda dengan sekolah tempat saya ngajar sebelumnya, saya merasa cocok dengan visi Tzu Chi,” kata Zainah. Ia dan belasan guru pertama yang mengajar di Sekolah Cinta Kasih harus menghadapi tantangan berat yang bernama lingkungan. Hari-hari pertama sekolah lebih banyak diisi Zainah dengan membuat murid-muridnya lebih menyerupai penampilan seorang murid yang seharusnya. Usaha itu mencakup, membersihkan tubuh mereka, mengajari cara berpakaian, dan bersikap di dalam kelas. “Karena itulah, 3 tahun pertama para guru di sini belum bisa fokus pada materi pelajaran. Kami lebih banyak mengajar tentang ‘di sekolah itu bagaimana, di rumah seperti apa’. Sedangkan pemberian materi pelajaran sesungguhnya belum mencapai target pemerintah,” terangnya. Dengan mudah, Zainah dan para guru menyadari bahwa masalah murid-murid mereka ini berawal dari rumah. Maka mereka sepakat untuk mengadakan pertemuan dengan orang tua murid. Pertemuan itu sendiri tak kalah mengesankan, para orang tua yang tinggal di kompleks rumah susun di belakang sekolah –cukup 5 menit jalan kaki ke sekolah- datang dengan penampilan yang menakjubkan. “Ada yang pakai daster, pakai sandal, pokoknya mereka ‘natural’ sekali,” kenang Zainah. Jadi, pembenahan harus dimulai dari mana?
Bersambung ke Bagian 2. | |||
Artikel Terkait
Selalu Mengingat Budi Luhur Orang Tua
05 Oktober 2023Waktu menunjukkan pukul 16.30 WIB, Kantor Tzu Chi Pekanbaru ramai dengan para peserta Kelas Ceria yang bersiap belajar isyarat tangan. Sebelum memulai belajar, mereka mengikuti materi tentang kewajiban berbakti kepada orang tua.
Belajar untuk Tampil Percaya Diri
14 Juni 2024Di era komunikasi global saat ini, kemampuan berbicara di depan umum menjadi keterampilan yang sangat penting bagi semua orang. Untuk menjawab kebutuhan ini, Tzu Ching UNPRI (Universitas Prima Indonesia) mengadakan Workshop Public Speaking.
Perhatian Untuk Para Dai dan Guru Ngaji di Kota Medan
15 Mei 2020Wabah Covid-19 berdampak ke semua lapisan masyarakat dan juga ke semua umat beragama. Untuk itu Tzu Chi Medan memberikan bantuan berupa 500 paket sembako (beras 5 kg dan 1 dus mi instan) kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, Rabu 13 Mei 2020. Bantuan ini diberikan kepada para guru ngaji dan dai (pendakwah) di berbagai daerah di Kota Medan.








Sitemap