Ada Mutiara di RSCM (Bagian 1)

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 
 

fotoMenurut Hok Cun, dengan menemani dan menghibur pasien, hal itu adalah salah satu cara baginya dalam melatih diri dan melawan ego diri sendiri.

Seorang teman saya yang bernama Hok Cun pernah mengatakan bahwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta tempat ia bertugas sebagai relawan Tzu Chi adalah ladang terbaik untuk melatih diri dan kepekaan emosi. Saat menceritakan pengalamannya Hok Cun mengisahkan dengan penuh semangat, menarik, dan menakjubkan bagi saya. Tetapi sayang, saya masih terlalu dangkal untuk memahami arti “pelatihan diri” itu.

Tergoda dengan informasi yang ia berikan, maka pada Jumat, 14 Januari 2011, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi RSCM Jakarta. Setibanya di rumah sakit itu, hari sudah beranjak siang, udara pun sudah semakin panas dan gerah karena dipadati oleh pengunjung yang membludak.

Di sepanjang lorong rumah sakit yang saya lalui, saya tak menemukan satu keceriaan pun selain wajah-wajah cemas dan lesu. Wajah yang mengisyaratkan bahwa mereka sangat ingin hidup. Bahkan saat saya memasuki salah satu gedung praktik dokter, suasananya semakin riuh oleh banyak pasien dengan beragam penyakit. Suara batuk yang meradang dari tubuh-tubuh lemah, tumor yang menyembul dari balik tubuh pasien, dan balutan perban bekas luka operasi menjadi pemandangan yang membuat saya mengernyitkan dahi. Semua itu, membuat saya tak dapat bernapas dalam-dalam.

Merasa tak tahan dengan semua yang saya lihat akhirnya saya meninggalkan gedung itu untuk menjumpai Hok Cun di salah satu lorong, tempat di mana ia biasa melayani pasien penerima bantuan. Tetapi sesampainya di tempat itu, ternyata Hok Cun sedang tidak berada di tempat. Sebagai gantinya, saya berjalan mencari tempat yang agak sepi dan bersih untuk beristirahat. Sampai di sebuah taman yang berisikan alat permainan anak-anak, saya menghentikan langkah lalu berteduh di bawah pohon Mahoni yang tumbuh rindang di tengah taman.

Ketika itu di tengah terik matahari saya melihat ada satu keluarga – ayah, ibu, dan seorang anak menghampiri taman. Sang ayah adalah seorang pria muda dengan wajah yang pucat pasi seperti seseorang yang kehilangan harapan. Sedangkan sang ibu nampak tegar sambil duduk membelakangi matahari dan membiarkan bayang tubuhnya melindungi sang anak dari sengatan matahari. Ia lalu mengeluarkan sebungkus nasi dari tas kulitnya yang lusuh.

Kemudian dengan penuh perasaan ibu itu menyuapi anaknya yang telah bersimpuh layu di hadapannya. Wajah anak itu pias (pucat pasi). Ia tak tersenyum tak pula cemberut, tetapi menatap rerumputan dengan kosong, seakan semua imajinasinya ia benamkan ke dalam tanah. Tangan kirinya memegang erat botol air mineral, sementara tangan kanannya teguh memutar-mutar tutupnya. Saat sang anak mengunyah lembut makanannya, sang ibu terpekik kecil. Rupanya jari ibu itu tertusuk duri ikan yang dipegangnya. Setelah ujung jarinya ditekan-tekan dan dihisap lembut, ibu itu kembali menyuapi anaknya dan melupakan semua rasa sakitnya.

Ketika itu sang ibu tetap terus tersenyum melihat putranya yang lahap menikmati makan. Sungguh tak sampai hati saya menatap keluarga itu. Saya tatap lama wajah ibu itu, tetapi aneh saya tak menemukan kesedihan di raut wajahnya. Saya justru seakan-akan melihat wajah ibu saya dan diri saya puluhan tahun silam saat saya masih kanak-kanak. Saya melihat, saat saya berlari kecil mengelilingi halaman rumah dan ibu berada di belakang membawa sepiring nasi, saya justru melihat rengekan saya saat mengunyah biji melinjo, dan ibu segera menggantikannya dengan segelas teh manis. Siang itu saya sungguh melihat masa lalu saya bersama ibu dari satu keluarga yang tak saya kenal.

foto  foto

Keterangan :

  • Selain melatih diri, relawan Tzu Chi juga turut mengajak sesama agar turut terinspirasi berbuat kebajikan. (kiri)
  • Bagi banyak orang rumah sakit adalah tempat yang tak nyaman karena jauh dari hingar ingar kehidupan. Tetapi tidak bagi Hok Cun karena rumah sakit ternyata adalah ladang yang menyimpan banyak mutiara hati. (kanan)

Saat dalam lamunan saya berpikir banyak hal yang saya pelajari hari itu – kasih sayang, pengorbanan, bakti, dan keberanian untuk bersikap teguh menyayangi orang tua. Keluarga itu telah mengingatkan saya bahwa mengasihi dan menyayangi orang tua adalah hal terpenting dalam hidup ini. Saya baru memercayai apa yang dikatakan Hok Cun bahwa di RSCM ada banyak mutiara, karena salah satunya baru saya temukan.

Cahaya matahari terus meninggi dan mencapai puncaknya tepat di ubun-ubun kepala saya. Panasnya menerpa tanpa ampun. Setelah memperoleh inspirasi dari keluarga tak dikenal, rasa gembira menyeruak dalam hati saya mengalahkan keluh kesah, karena dapat mengenang kembali peristiwa lebih dari 2 dasawarsa yang lalu. Namun tak dinyana sebuah kerinduan kembali hadir ketika saya menyaksikan seorang ayah berjalan ke arah saya sambil menuntun putrinya. Percakapan mereka membuat saya kelu dan terasa ngilu menghujam kalbu. Sebab mengingatkan saya pada almarhum ayah yang setia menuntun dan menceritakan banyak hal tentang dunia ini.

Saya termenung, rasa kesepian tiba-tiba merasuki saya dari segala penjuru. Rupanya segenggam cinta kasih orang tua tak akan habis untuk seorang anak seumur hidupnya. Namun kesibukan menjalani kehidupan, terkadang membuat saya sejenak melupakan kasih orang tua yang sesungguhnya tiada bertepi.

“He he he…” Hok Cun tertawa renyah kepada laki-laki beranak satu itu. Laki-laki itu bernama Kusmiran, usianya tak lebih dari 38 tahun, bertubuh langsing dan berwajah tirus. Di bahunya tersandang tas ransel hitam yang terkoyak berisi makanan dan minuman untuk putri semata wayangnya – Rasya Rahmasari.

Wajah Rasya berbentuk bulat telur. Matanya indah bersorotkan cinta yang menusuk hati. Bahkan setiap kali ia berkedip, sayup-sayup bulu matanya yang lentik terlihat gemulai bagai nyiur melambai-lambai. Ia terlihat begitu mungil dengan busana muslim berwarna merah jambu. Setelah beberapa saat bermain bersamanya, saya tidak menemukan keceriaan khas anak-anak di balik wajahnya yang melankolis. Ada sesuatu yang berbeda di dalam diri Rasya. Entah itu sebuah pengalaman atau derita yang berkepanjangan. Yang jelas setiap kali saya menatap wajahnya dalam-dalam, saya kelu. Di mata saya, Rasya tak ubahnya miniatur kehidupan. Ah… anak sekecil itu.

Derita Bertubi-tubi
Sejak belasan tahun yang lalu, Kusmiran yang berasal dari Purwokerto bekerja sebagai pedagang rokok di bilangan Margonda, Depok, Jawa Barat. Ia membanting tulang mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk mencukupi semua kebutuhan keluarga yang ia bangun sejak tahun 2003. Tapi pada tahun 2005, istrinya yang bernama Tuslima menderita miom (tumor rahim) dan harus dioperasi demi keselamatan dirinya. Maka, Kusmiran berusaha keras mencari pinjaman uang dari beberapa kerabat untuk membiayai operasi ini.

Satu tahun berikutnya (2006), hasil operasi itu mulai memberikan hasil yang menggembirakan, Tuslima dinyatakan positif hamil dan memberikan harapan baru bagi mereka berdua. Kendati demikian, Tuslima tak bisa melahirkan secara normal, persalinan cesar pun dijalankan demi kelahiran putri tercinta mereka – Rasya Rahmasari pada pertengahan tahun 2007.

Bersambung ke Bagian 2.

  
 

Artikel Terkait

Secercah Harapan

Secercah Harapan

27 Februari 2012 Pagi hari Minggu tanggal 19 Februari 2012, hujan lebat menguyur Jakarta. Langit yang seharusnya sudah terang terlihat sangat gelap. Namun demikian tidak menghalangi langkah relawan Tzu Chi untuk tetap datang tepat jadwal di Jing Si Books & Café Pluit karena pada hari itu diadakan kegiatan  pembagian biaya hidup dan pengobatan.
Suara Kasih: Pola Hidup Sederhana

Suara Kasih: Pola Hidup Sederhana

25 Oktober 2010
Kehidupan manusia zaman sekarang berbeda dengan kehidupan manusia zaman dahulu. Kehidupan pada zaman dahulu sangat sederhana. Orang-orang zaman dahulu mengetahui pentingnya menghargai sumber daya alam dan hidup hemat.
Ketabahan Nenek Rodiah Merawat Cucunya

Ketabahan Nenek Rodiah Merawat Cucunya

08 Januari 2021

Malang betul kisah hidup Alvia Balqis (14). Sejak bayi hingga saat ini, Via, panggilannya, hanya bisa terbaring di tempat tidur. Ia juga tak bisa bicara. Di usia 7 tahun ibunya meninggal dunia. Beruntung ia memiliki nenek yang begitu menyayanginya, Nenek Rodiah (68). 

Orang yang berjiwa besar akan merasakan luasnya dunia dan ia dapat diterima oleh siapa saja!
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -