Banjir Jakarta: Belajar Menaklukkan Diri

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 
 

foto
Asinah (tengah) menderita asma yang kronis. Tapi saat pertema ia masuk ke rumah sakit ia di tolak untuk di rawat inap. Hok Lay (baju biru) memastikannya agar ia bisa di rawat inap dan mendapatkan penanganan yang cepat.

Dahulu teman saya pernah bercerita tentang sebuah jalan semangat yang sangat luhur. Dimana para anggotanya memiliki keteguhan jiwa dalam sebuah prinsip yang mengutamakan kehormatan, kesederhanaan, keadilan, kesetiaan, tata karma, dan rasa malu. Ia juga menerangkan kalau semangat itu telah  melahirkan sebuah tipikal ksatria yang tangguh secara fisik maupun mental. Di jalan ini para ksatria harus berlatih spiritual guna menaklukkan lawan terberatnya, yaitu diri sendiri. Alasannya karena dengan menaklukkan diri sendiri seseorang baru bisa menaklukkan orang lain.

Tapi sayang di kota tempat tinggal saya tak banyak masyarakat yang paham tentang jalan para ksatria ini, terlebih mendalaminya. Yang sering saya jumpai adalah banyak orang yang hanya tahu menuntut haknya tanpa mempertimbangkan hak orang lain. Tahu menerima tanpa memiliki rasa syukur dan tahu memberi tanpa memiliki rasa hormat. Kisah tentang jalan semangat sudah tiga belas tahun yang lalu diceriterakan oleh teman saya. Dan hari ini ketika siatuasi penuh kekeruhan, saya kembali merindukannya. Rindu pada ketegaran jiwa. Rindu pada orang-orang yang menggeliat tapi bukan gelisah.

Semangat Hok Lay
Semua bermula di awal Senin pagi yang kelabu di penghujung Januari 2013. Hari itu saya mendapatkan tugas untuk meliput pembagian bantuan banjir ke pusat bencana di Muara Baru, Jakarta Utara. Setibanya di posko bantuan saya bertemu dengan Hok Lay, relawan Tzu Chi. Ia mengajak saya untuk menyalurkan bantuan di Muara Baru menggunakan sebuah truk tentara. Di dalam kabin truk yang sempit berjejal-jelal saya, Hok Lay, sopir, dan Muzakir Ketua RT 16, Muara Baru. Pagi itu Muzakir datang seorang diri ke posko Tzu Chi di Mal Pluit Junction. Ia meminta 100 nasi bungkus, pembalut wanita, dan 200 selimut. Tzu Chi pun menyanggupinya dan Hok Lay ditunjuk sebagai relawan yang mengantar langsung ke lokasi.

Selama di perjalanan, Hok Lay terus memastikan kepada Muzakir kalau situasi di lapangan nanti tidak akan menjadi ricuh. Tapi Muzakir yang sedari tadi berkoordinasi dengan warganya melalui telepon selular memastikan kalau semuanya akan aman dan keselamatan relawan pun terjamin. Maka perjalanan pun terus dilanjutkan kendati di hati kami masih menyimpan kecemasan. Setibanya di lokasi apa yang saya dan Hok Lay khawatirkan pun mulai terjadi. Satu persatu warga tak dikenal datang mengerubungi truk. Yang lebih menegangkan mereka semua berwajah sangar, bersuara keras, bahkan beberapa diantara mereka bertubuh besar yang di sekujur tubuhnya dipenuhi oleh seni rajah. Mereka terus berteriak lalu mendesak kami, seakan menghiraukan tentara-tentara yang mengawal kami. Mereka terus berkata, “Kami lapar, kami belum kebagian sejak kemarin,” situasi pun memanas.

foto  foto

Keterangan :

  • Bersama tentara Hok Lay mengantar Asinah ke rumah sakit (kiri).
  • Setelah negosiasi, kedua warga dari dua RT pun berdamai dan saling berbagi(kanan).

Tiba-tiba dari arah depan kami muncul lelaki bertopi, bercelana pendek yang langsung merangkul Muzakir dan mengajaknya bergelut. “Saya Ketua RT 22. Saya butuh juga bantuan. Kamu harus kasih,” kata Ketua RT 22. Saat pertikaian belum terjadi Hok Lay langsung menengahi Muzakir yang sedang mengadu otot melepaskan tikaman. Dengan bahasa yang santun Hok Lay menjelaskan kalau sebenarnya Tzu Chi bisa memberikan bantuan secara merata kalau setiap ketua RT memberikan data yang jelas ke posko. RT 22 pun akan diberikan bantuan jika ia memberikan keterangan jelas tentang jumlah warga dan jenis bantuan yang dibutuhkan. “Kami datang untuk membagikan bantuan, bukan untuk memecah belah antarwarga. Yang berlebih seharusnya saling berbagi, agar perilaku memberi itu terus bergulir ke warga lain,” terang Hok Lay di antara para warga. Ketegangan pun mereda. Muzakir dan ketua RT 22 yang sedari tadi mulai dibakar amarah mulai mengendalikan dirinya masing-masing. Bahkan Muzakir mulai menyadari kekeliruannya. Kepada Ketua RT 22, Muzakir berkata kalau ia akan menunjukkan posko Tzu Chi dan ia juga merelakan sebagian bantuannya untuk diserahkan kepada warga RT 22. “Dibutuhkan kebesaran hati. Di saat seperti ini,” kata Hok Lay. Pembagian pun berlanjut dengan tertib.

Saya terkesan dengan cara negosiasi Hok Lay. Ia tak hanya bisa bersikap lembut, tapi juga tegas di waktu yang tepat. “Menghadapi orang-orang bertipikal keras dibutuhkan ketegasan yang diimbangi kelembutan,” jelas Hok Lay kepada saya. Akhirnya kami kembali ke posko dengan perasaan tenang.

Setibanya di posko, belum juga sempat kami berkoordinasi dan mengisi barang bantuan ke atas truk, Hok Lay kembali disibukkan oleh seorang wanita tua yang terlihat payah. Wanita itu bernama Asinah, berusia 67 tahun, berparas lusuh sambil meremas dadanya yang semakin lama terlihat semakin sesak. “Sesak nafas sejak kemarin,” kata M. Sukron anak lelakinya. Sebelumnya Sukron sudah membawa ibunya untuk dirawat inap di salah satu rumah sakit terdekat dengan posko. Tapi sayang rumah sakit itu menolaknya karena alasan teknis. Melihat kondisi Asinah yang semakin mencemaskan, maka Hok Lay berinisiatif mencari dokter darurat di posko TNI. Setelah itu ia bersama sejumlah tentara turut mengantar Asinah ke rumah sakit terdekat untuk memastikan agar Asinah bisa dirawat inap. “Situasi begitu genting. Di luar sistem birokrasi, bagaimanapun nyawa harus didahulukan,” kata Hok Lay kepada petugas keamanan rumah sakit itu.

Di dalam ruang Unit Gawat Darurat, Asinah mendapat perlakuan yang cepat. Ia langsung diinfus, diberi bantuan oksigen, dan dideteksi dengan alat pemindaian jantung. Berselang beberapa menit, dokter jaga mengatakan kalau jantung Asinah dalam kondisi normal, tapi ritme pernafasannya masih belum stabil. Kendati demikian, ia belum diijinkan untuk dirawat inap di rumah sakit itu. Ketimbang berlarut dalam perdebatan Hok Lay lebih memilih untuk mencari solusi terbaik. Ia segera menghubungi Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, memastikan adanya kamar kosong. Tapi sayang, hari itu semua kamar telah terisi penuh. Dan Hok Lay pun kembali mengusahakan agar Asinah bisa dirawat di rumah sakit itu, karena hanya di rumah sakit itulah yang terdekat dan memiliki kamar kosong.

foto  foto

Keterangan :

  • Saat relawan tiba di pusat banjir di Muara Baru, semua warga yang berjumlah ribuan mengerubingi dan meminta bantuan di turunkan segera (kiri).
  • Hari itu para warga mengatakan kalau mereka tak mendapatkan penyalurlan bantuan secara merata dari aparat terkait, makanya mereka ricuh saat Tzu Chi tiba (kanan).

Sesudah menunggu lebih dari dua jam, akhirnya Sukron mendatangi posko dan mengabari kalau ibunya siap dirawat di rumah sakit itu. Hanya saja ia harus mendapatkan surat pengesahan dari Palang Merah Indonesia. Setelah mendapatkan petunjuk dari Hok Lay, Asinah akhirnya bisa menjalani rawat inap di rumah sakit itu. “Lega dan merasa aman jika pasien kita sudah mendapatkan pertolongan cepat,” kata Hok Lay berseri.   
           
Jalan Semangat
Sepanjang hari bersama Hok Lay, saya baru tahu kalau ia adalah seorang lelaki yang ringan tangan. Ia ada saat dibutuhkan dan siap melakukan pekerjaan kasar apa pun. Ketika sampah-sampah di sekitar posko berserakan, maka Hok Lay dengan mudahnya mengajak anak-anak warga pengungsi untuk mengumpulkan sampah bersama-sama. Atau ketika kami terjebak macet saat membawa barang bantuan di Teluk Gong, Hok Lay dengan tenang turun ke jalan raya untuk mengatur lalu lintas. Padahal, malam itu saya tahu betul kalau stamina Hok Lay semakin menurun. Dari matanya yang besar saya melihat kelelahan yang ia tahan agar tak terlihat redup.

Saya juga tahu kalau ia juga korban dari musibah banjir tahun ini. Namun di wajahnya semua kekhawatiran itu seolah tak nampak. Bahkan ia tetap ceria meski banyak kata bising mengaung di telinganya dari para warga yang tak berpuas hati. Ia juga rela diperintah, meski di perusahaannya ia seorang pemimpin. Ia juga seorang pendengar yang baik saat banyak orang berebut suara untuk didengar. Hok Lay yang saya temui memang bukan seorang seniman bela diri, tapi sikapnya telah mengingatkan saya pada jalan semangat para ksatria. Hok Lay telah menerapkan kesederhanaan, kehormatan, dan tata karma. Ia mengatakan kepada saya kalau semua itu ia dapat dari Tzu Chi. Di Tzu Chi, ia belajar melawan musuh terberatnya – diri sendiri.

Di Tzu Chi pula, ia belajar menerima pendapat orang lain dan menyimpan pendapatnya demi meredam keegoan. Hok Lay telah melakukan itu dalam tempaan yang lama. Kendati demikian ia masih terus belajar membina diri, karena menurutnya belajar itu tak pernah berhenti meski usia terus bertambah. ”Saya senang belajar. Saat di antara banyak orang yang ingin memimpin, saya belajar untuk diperintah. Saat di antara banyak orang yang mengatur, saya belajar untuk diatur. Dan saat banyak orang yang bersuara, saya belajar mendengar,” katanya. Semangatnya untuk mengubah diri membuat saya kagum dan saya menyebut dia sebagai kesatria. Jika saja semua orang di negeri ini menerapkan jalan semangat, mungkin tak akan ada lagi ketimpangan di negeri ini. Itulah yang saya rindukan. Rindu tentang ketegaran jiwa di tengah kegelisahan.

  
 

Artikel Terkait

Merasakan Semangat Sutra Teratai di Perayaan Ulang Tahun Tzu Chi ke-55

Merasakan Semangat Sutra Teratai di Perayaan Ulang Tahun Tzu Chi ke-55

06 Mei 2021
Sebanyak 313 relawan Tzu Chi Indonesia turut menyaksikan Persamuhan Sutra Teratai menyambut Perayaan Ulang Tahun Tzu Chi ke-55. Seluruh relawan dibalut sukacita.
Semangat Menimba Ilmu di Kelas Budi Pekerti

Semangat Menimba Ilmu di Kelas Budi Pekerti

31 Agustus 2016

Setiap orang tua menginginkan anaknya bertingkah laku dan berbudi pekerti yang baik. Pun juga para orang tua dari murid kelas budi pekerti Tzu Chi Tanjung Balai Karimun. Pada Minggu, 21 Agustus 2016, kelas budi pekerti kembali digelar.

Belajar Bersyukur

Belajar Bersyukur

07 April 2016 Yayasan Buddha Tzu Chi Kantor Perwakilan Tanjung Balai Karimun mengadakan kelas budi pekerti  dengan mengunjungi rumah Gan En Hu (penerima bantuan) pada hari Minggu, 03 April 2016.
Cemberut dan tersenyum, keduanya adalah ekspresi. Mengapa tidak memilih tersenyum saja?
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -