Banjir Jakarta: Melihat, Mendengar, Melaporkan

Jurnalis : Erli Tan (He Qi Utara), Fotografer : Erli Tan, Mettasari (He Qi Utara)
 
 

foto
Relawan 3 in 1 Tzu Chi juga turut aktif mendokumentasikan kegiatan pemberian bantuan banjir oleh insan Tzu Chi di Jakarta. Hasil liputan inilah yang kemudian menjadi laporan untuk dikirimkan kepada Master Cheng Yen di Taiwan.

Seperti Kata Perenungan Master Cheng Yen, dari satu benih tumbuh menjadi benih yang tak terhingga banyaknya. Demikian pula benih cinta kasih dan semangat Bodhisattwa para insan Tzu Chi, dengan giat dan tekun melakukan upaya-upaya menebar cinta kasih bahkan di tengah kondisi yang sangat sulit. Jakarta yang dilanda banjir sejak hari Rabu tanggal 16 Januari 2013 dan merata hampir di seluruh wilayah, harus menangis, namun insan Tzu Chi tanpa tergoyahkan tetap memiliki tekad dalam memberi bantuan dan menebar cinta kasih kepada para korban banjir. Banyak di antara relawan Tzu Chi juga merupakan korban banjir, namun sebagian dari mereka tetap hadir dan turut bersumbangsih demi memutar roda cinta kasih.

Pagi jam 9 tanggal 19 Januari 2013, saya berangkat ke Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, dengan dijemput oleh Melliza Shijie. Sehari sebelumnya, Melliza yang biasanya bertugas di bagian sekretariat mengungkapkan keinginannya untuk turut hadir dan bersumbangsih dalam tim dokumentasi 3 in 1, mendengar itu saya pun melonjak gembira, terharu sekaligus terinspirasi. Pasalnya pada hari itu ia prihatin, mengapa pemberitaan mengenai sumbangsih insan Tzu Chi di media masih minim padahal insan Tzu Chi sudah banyak berkontribusi, ia bahkan sempat mencari-cari kameranya yang sudah ia simpan entah di mana. Walaupun pada akhirnya ia tidak berhasil menemukan kameranya, namun ia telah berhasil membuat saya bersemangat dan memutuskan untuk meminta izin dari kantor agar saya dapat bersumbangsih penuh selama 2 hari di Tzu Chi.

Sumbangsih Para Pengungsi
Tiba di Tzu Chi Center, kami pun bergabung dengan beberapa relawan 3 in 1 lainnya, yaitu Metasari Shijie dan Lina Shijie. Memulai pengalaman meliput, siang itu kami mengunjungi lokasi pengungsian di gedung kantin lama Aula Jing Si yang letaknya masih di dalam Kompleks Tzu Chi Center. Di sana saya sempat berbincang-bincang dengan beberapa pengungsi, di antaranya adalah Sriyati (57), warga Kapuk Muara yang datang mengungsi bersama dua cucu dan satu cicitnya. Sambil menggendong cicit satu-satunya Salsabila (4 bulan), Sriyati bertutur bahwa mereka sempat menginap satu malam di tenda pengungsian. Akibat angin kencang dan udara dingin, ia pun langsung setuju ketika diajak insan Tzu Chi untuk mengungsi di Tzu Chi Center. “Alhamdulillah di sini semuanya cukup, makan, minum, susu bayi, popok, sabun, selimut, tidur juga nyaman, semuanya memadai,” ujarnya dengan wajah penuh syukur. Ungkapan rasa syukurnya juga diwujudkan dengan berinisiatif melakukan bersih-bersih dan menyapu di sekitar halaman gedung kantin lama tersebut. “Kita sudah dibantu, rasanya yah tidak enak juga, makanya kita juga mau bantu berbuat sesuatu,” ucapnya sedikit tersipu. Sebersit niat baik harus dijaga dan dirawat dengan baik, karena itu saya pun mencoba mengajaknya untuk membantu di dapur umum, karena di sana butuh banyak relawan untuk membungkus ribuan nasi yang akan dibagikan kepada korban banjir. “Ayukk....di mana lokasinya? Kita sekarang boleh ke sana?” Setelah itu kami pun bergegas menuju dapur umum yang letaknya tidak jauh dari sana. Respon positif dari Sriyati membuat saya yakin, dunia ini masih penuh dengan cinta kasih.

foto  foto

Keterangan :

  • Melliza Shijie sedang meliput sekaligus guan huai (memberi perhatian) kepada salah satu keluarga pengungsi di gedung kantin lama Aula Jing Si (kiri).
  • Sriyati, salah seorang pengungsi ketika ikut membantu di dapur umum Aula jing Si, membungkus nasi-nasi yang akan dibagikan kepada para korban banjir(kanan).

Sepanjang hari itu, walaupun tugas utama kami adalah meliput, namun tidak jarang pada saat meliput kami menemukan banyak hal yang mengharuskan kami ikut turun tangan mengingat terbatasnya relawan. Banyak tugas-tugas kecil lain yang juga kami lakukan, terutama saat pengungsi mulai berdatangan lagi ke Tzu Chi Center, hampir sepanjang malam itu kami ikut stand by dan membantu pengungsi yang datang, karena ada di antara mereka yang sedang dalam keadaan sakit, ada juga beberapa Lansia yang butuh perhatian lebih, seorang di antaranya malah datang sendirian karena memang tidak memiliki anak atau saudara, hidup sebatang kara. Melihat hal tersebut dan kurangnya relawan membuat Melliza Shijie berinisiatif sendiri. Walaupun sore itu ia sudah kehujanan akibat ikut membagikan nasi di daerah Jelambar, lantas tidak membuatnya langsung istirahat di kamar setelah mandi, namun ia keluar lagi dengan berseragam lengkap dan stand by hingga jam 11 malam.

Esoknya, tanggal 20 Januari 2013, kami pun melanjutkan merekam jejak-jejak cinta kasih. Pagi jam 8.30, kami tiba di posko bantuan Tzu Chi di Pluit Junction. Di sana terdapat banyak bahan bantuan yang sebagian besar adalah sumbangan dan ungkapan perhatian serta cinta kasih dari masyarakat. Yayasan Buddha Tzu Chi akan menyalurkan setiap bantuan kepada warga yang membutuhkan. Saat itu, di posko itu kami kedatangan seorang bapak dengan membawa seorang anak kecil, keduanya basah kuyup, kedinginan, dan tanpa alas kaki. Tak sempat merasa pilu, beberapa relawan pun dengan sigap segera memberi handuk dan pakaian kering agar keduanya dapat terhindar dari sakit. Tan Kim Siong (45) dan anaknya Anis (11) saat itu datang ke posko untuk meminta bantuan. Rumahnya di Teluk Gong pun telah terendam banjir selama beberapa hari. Dengan penuh kasih beberapa relawan langsung memberi barang bantuan berupa selimut dan paket sembako. Senyum terpancar dari wajah Tan Kim Siong, namun yang membuat relawan merasa tidak tega adalah Anis yang masih duduk di kelas 5 SD, sedikitpun ia tidak mengeluh ketika harus ikut ayahnya datang ke posko dengan berjalan kaki dan kehujanan di tengah banjir. “Anis lapar enggak?” Metasari Shijie dengan penuh perhatian menanyakan. “Iya, lapar.” “Makan roti ya!” Anis pun mengangguk pelan sambil meraih sekerat roti dari tangan Metasari Shijie. Hangatnya cinta kasih bak seorang ibu mungkin pada saat itu dirasakan oleh Anis, karena sejak ia kecil ibunya telah meninggal dunia. Tiba di posko Tzu Chi, kedua ayah dan anak itu pun sudah aman.  

foto  foto

Keterangan :

  • Metasari Shijie dengan menggunakan toa, memangil-manggil warga yang terjebak banjir di Pluit Sakti yang mungkin membutuhkan bantuan. Selain mendokumentasikan, relawan 3 in 1 juga turut membantu relawan mendistribusikan bantuan (kiri).
  • Airu Shijie ketika menyerahkan paket bantuan kepada salah seorang warga di Pluit Sakti yang membutuhkan bantuan (kanan).

Dari sekian barang bantuan yang akan disalurkan di antaranya terdapat sekitar 100 paket yang siap dibagikan ke warga yang membutuhkan. Dalam paket itu terdapat biskuit, roti, mi instan, minyak angin, pakaian, sikat gigi, odol, dan popok bayi. Bersama dengan Airu Shijie, Metasari Shijie, 3 anggota TNI, 1 anggota SAR Satyabuana, dan beberapa reporter dari stasiun TV, dengan mengendarai perahu karet di tengah hujan membawa paket bantuan itu, kami pun berangkat memasuki daerah Pluit Sakti, Jakarta Utara. Di daerah tersebut air masih menggenang setinggi 100 hingga 120 cm, tenang, tak ada suara, bagaikan kota mati, namun masih ada sebagian warga yang memilih bertahan dan tidak mau dievakuasi. “Bapak-bapak Ibu-ibu, kami dari Yayasan Buddha Tzu Chi, apakah ada yang membutuhkan bantuan, atau makanan, atau ingin dievakuasi?” Dengan memakai toa, Metasari Shijie pun memanggil-manggil bilamana ada yang membutuhkan bantuan. Sementara itu Airu Shijie terlihat sesekali menelepon ataupun membaca pesan yang ada di telepon genggamnya, yaitu informasi dan alamat warga yang minta dibantu. Terdapat 10 orang, terdiri dari dua keluarga, yang sempat dievakuasi, di antaranya terdapat anak kecil dan ibu hamil. Menurut penuturan mereka, banjir di daerah ini tidak pernah setinggi ini, inilah banjir yang terparah.    

Paket bantuan berhasil disalurkan, warga yang dievakuasi juga tiba di tempat yang aman dengan selamat, semua ini adalah hasil dan wujud dari cinta kasih serta kepedulian antarsesama. Mari menebar lebih banyak lagi cinta kasih yang kita miliki, agar dunia ini lebih indah dan damai. Karena cinta kasih tidak akan berkurang bila dibagikan, malah akan tumbuh berkembang menjadi tak terhingga banyaknya.

  
 

Artikel Terkait

Suara Kasih: Menyucikan Hati demi Menyelaraskan Empat Unsur Alam

Suara Kasih: Menyucikan Hati demi Menyelaraskan Empat Unsur Alam

27 Juni 2013 Tiga gedung sekolah sudah selesai dibangun. Salah satu gedung sekolah diresmikan tiga tahun lalu sehingga anak-anak bisa bersekolah dengan sukacita di sana. Dua gedung sekolah menengah lainnya diresmikan kemarin.
Berpedoman Kepada Sang Buddha

Berpedoman Kepada Sang Buddha

23 Mei 2014 Melalui prosesi pemandian Buddha Rupang ini diharapkan bisa mempergunakan hati yang paling tulus dalam memberikan puja hormat kepada Buddha, untuk menaklukan keangkuhan di dalam hati dan kembali pada pola hidup yang bersahaja.
Cinta kasih membuat dunia menjadi lebih cemerlang

Cinta kasih membuat dunia menjadi lebih cemerlang

04 Februari 2013

Setiap tahun, Yayasan Buddha Tzu Chi secara rutin mengadakan kegiatan Pemberkatan Akhir Tahun bagi para penerima bantuan rutin (dalam istilah Tzu Chi adalah gan en hu, artinya keluarga yang perlu diberikan ungkapan terima kasih karena telah memberikan kesempatan pada kita untuk berbuat kebajikan).

Jika menjalani kehidupan dengan penuh welas asih, maka hasil pelatihan diri akan segera berbuah dengan sendirinya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -