Banjir Manado: Hidup "Rumah Tangga Baru"

Jurnalis : Juliana Santy, Fotografer : Anand Yahya
 
 

foto
Sudah 5 hari berlalu, jalan di perkampungan warga masih dipenuhi lumpur dan sampah.

Seorang warga di posko pengobatan Tzu Chi berkata, “Banjir yang membawa Tzu Chi datang ke Manado.” Memang benar, Tzu Chi belum ada di Manado sehingga warga belum mengenal apa itu Tzu Chi. Hari ini, 20 Januari, setelah terjadi banjir bandang dan longsor di sana, relawan Tzu Chi membuka posko pengobatan di Kampung Karame, Manado. Sejak pukul 10.30 WITA, warga mulai berdatangan dan semakin lama semakin ramai. Usai terkena banjir banyak warga yang mengalami gangguan kesehatan.

Pada posko pengobatan tersebut, saya bertemu dengan seorang bapak yang walaupun rumahnya habis terendam, namun ia nampak sangat tabah dan iklas menerimanya. Ia adalah Alfreds Kinsal. Ia mau berbagi kisah yang dialaminya dan saya juga berkesempatan melihat keadaan rumah Bapak Alfreds. Sepanjang jalan menuju rumahnya masih banyak lumpur dan sampah-sampah yang tergeletak di pinggir jalan. Dengan menggunakan sepatu bot saya berjalan mengikuti langkah Bapak Alfreds yang cukup cepat. Saat itu kaki terasa sangat sakit karena menggunakan sepatu bots, tapi saya terus berjalan karena tahu sakit yang saya rasakan jauh lebih kecil daripada yang dirasakan warga, termasuk Bapak Alfreds. Inilah kisah yang ia ceritakan kepada saya.

foto  foto

Keterangan :

  • Bapak Alfreds datang untuk memeriksakan kesehatannya di posko kesehatan Tzu Chi di Kampung Karame (kiri).
  • Setelah dilanda banjir bandang, rumah Bapak Alfreds hancur berantakan (kanan).

Pada tanggal 15 pagi, saat setiap orang akan memulai aktivitas sehari-hari, terjadi hal yang membuat pagi itu menjadi berbeda bagi warga di Manado, salah satunya lingkungan Karame. Pada pukul 8 air datang dengan arus dan volume yang cepat, semakin lama semakin tinggi. Saat itu Alfreds melihat istrinya sedang memasak, lalu ia menegur istrinya karena masih tetap memasak saat banjir datang. Wilayah tersebut memang kerap kali terkena banjir jika pintu air di Danau Tondano dibuka. Tapi Alfreds menyadari banjir kali ini berbeda. Ia meminta istrinya dan anak-anaknya untuk keluar dan ia tinggal sendiri di dalam rumah untuk menumpuk barang-barang seperti baju agar dapat diselamatkan.

Tapi air semakin tinggi hingga menutupi tumpukan barang yang telah ia buat untuk diselamatkan, bahkan air sudah mencapai atap rumah. Ia pun naik dan menunggu di atap rumah. Hingga pukul 5.30 sore, ia memutuskan untuk pergi dari atas atap dengan berenang melewati banjir. Dengan berpegangan dari tiang ke tiang rumah lainnya ia berenang di antara air yang penuh lumpur dan sampah, air juga terkadang terminum olehnya. Bahkan suatu kali saat berenang kepalanya sempat terantuk beton yang membuatnya merasa pusing, tapi syukurlah ia berhasil melewati semuanya.

Saat air telah surut, ia melihat rumahnya yang telah hancur berantakan, hanya tersisa kerangka luar rumah. Barang-barang yang ia coba selamatkan pun sudah habis terendam. "Sama dengan sudah ga ada rumah, mo dibikin lagi itu...capek banget," ceritanya sambil menghela nafas. "Hidup (seperti menjadi) rumah tangga baru. Macam begini kan rumah tangga baru, harus membeli perlengkapan, baju, dan lainnya. Hidup dari bawah lagi, cari baru," tambahnya.

foto  foto

Keterangan :

  • Rumah ini sudah ada sejak tahun 1932. sebuah rumah yang telah menghidupi 4 generasi keluarga (kiri).
  • Sebanyak 231 pasien datang berobat di posko kesehatan ini (kanan).

Jika terjadi banjir rumahnya memang kerap terkena juga, tapi ini adalah banjir yang paling parah yang pernah ia rasakan. Sudah sejak lahir ia tinggal di rumah tersebut. Rumah dari orang tuanya sejak tahun 1932, hingga kini ia sudah memiliki cucu, ia juga masih tinggal di sana. Rumah itu adalah tempat yang telah melindungi 4 generasi keluarganya.

Sehari-hari Alfreds bekerja sebagai sopir oplet, dalam seminggu ia hanya 3 hari bekerja. Semua hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Ia tidak mau menggantungkan pendapatan kepada anaknya. Karenanya, walaupun telah berusia 61 tahun, ia memilih tetap bekerja, karena ia tahu pendapatan anaknya takkan mencukupi, mengingat anaknya juga sudah memiliki keluarga. "Hidup sekarang susah...," ucapnya sambil tertawa tabah.

Walaupun ia merasa hidup sekarang susah, tapi ia tidak putus asa karena banjir yang telah menghancurkan rumahnya. "Mau gimana, itu kan kuasa Tuhan, yang penting sehat dan bisa kembali mencari makan (bekerja). Kalau memang dikasih begitu mau apa? Mau melawan? Ada orang bangun dari tempat tidur ga bisa, makan ga bisa, ini saya bisa jalan, bisa cari makan," ucapnya ikhlas dan bersyukur dengan keadaannya saat ini.

Baju yang dipakai di tubuhnya sebelum banjir melanda menjadi baju yang sampai saat ini ia kenakan. Selama beberapa hari belum mengganti pakaian, menumpang tidur seadanya di rumah keluarganya yang lain tapi ia tetap dipenuhi rasa syukur karena keselamatan dan kesehatan yang ia dapatkan. Entah berapa banyak manusia yang bisa hidup penuh syukur walaupun terkena bencana sepertinya, sosok manusia yang menyadari bahwa berkah adalah saat dirinya dapat hidup dengan sehat dan bahagia bersama keluarga.

 

  
 

Artikel Terkait

Kebersamaan itu Indah

Kebersamaan itu Indah

24 Februari 2015

Mereka pun mengajak bercanda, bernyanyi, dan berjoget bersama 46 opa dan oma. Semua merasakan sukacita bersama. Para opa dan oma dengan penuh semangat menyanyikan lagu tembang lawas era 70-an. Salah satu penghuni panti, Oma Amoy bangkit dari tempat duduknya dan berjoget dengan gerakan lincahnya. Bahkan ia tidak sungkan-sungkan mengajak relawan untuk berjoget bersama.

Ayo Jaga Lingkungan Bersama

Ayo Jaga Lingkungan Bersama

29 Januari 2020
Guna memahami pentingnya pelestarian lingkungan, relawan Tzu Chi komunitas Hu Ai Medan Barat mengundang Johnny Chandrina, relawan Jakarta sekaligus Fungsionalis Pelestarian Lingkungan untuk membagikan kisah-kisah dalam melakukan pelestarian lingkungan kepada warga sekitar di Tanjung Pura, Sumatera Utara.
Satu Keluarga

Satu Keluarga

09 Agustus 2011

Pepatah mengatakan bahwa dimanapun kita dilahirkan, kita semua adalah saudara tanpa harus ada hubungan darah,” demikianlah kutipan pesan Master Cheng Yen kepada masyarakat yang mendapatkan bantuan beras.

Tiga faktor utama untuk menyehatkan batin adalah: bersikap optimis, penuh pengertian, dan memiliki cinta kasih.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -