Bedah Buku: Seni Membaca

Jurnalis : Dewi Sisilia (He Qi Barat), Fotografer : 3 in 1 He Qi Barat
 
 

foto
Dengan penuh semangat, relawan Tzu Chi He Qi Barat membuka acara bedah buku

Seni membaca adalah pangkal dari estetika kehidupan. Membaca akan terasa lebih menyenangkan bila dilakukan secara bersama-sama karena kita dapat menikmati estetika kehidupan dan kegembiraan bersama-sama.

 

 

Walaupun peresmian Aula Jingsi Indonesia telah usai, namun para Bodhisatwa yang datang dari luar negeri melintasi lautan dan benua masih tetap tinggal untuk berbagi pengalaman dengan para insan Tzu Chi Indonesia. Salah satunya adalah Xu Rong Xiang Shixiong dari Taiwan. Xu Rong Xiang adalah relawan Tzu Chi yang aktif di misi pengembangan budaya humanis di daerah Tainan, Taiwan.  

Dalam kesempatan yang baik ini, ia menyempatkan diri untuk memandu kelas Bedah Buku yang diadakan oleh He Qi Barat pada pukul 19.00 WIB tanggal 10 Oktober 2012. Walaupun acara ini diadakan pada malam hari di hari kerja dan dikala lalu lintas Jakarta masih padat merayap, namun sekitar lima puluh insan Tzu Chi datang untuk mendengarkan sharing dari Xu Rong Xiang Shixiong
 
Apa yang Anda bayangkan pada saat saya menyebutkan “kelas bedah buku”? Sering kali persepsi orang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan buku tidak menarik, hanya duduk dan membaca sungguh sangat membosankan. Namun suasana membosankan seperti yang dibayangkan tidak terasa pada kelas bedah buku yang dibawakan oleh Xu Rong Xiang. Di kegiatan ini diisi dengan nyanyian, cerita, berbagi kata perenungan dan pengalaman. Ia telah memperlihatkan nuansa yang lain di kelas bedah buku kepada kita semua. Xu Rong Xiang menekankan di awal pertemuan bahwa sekalipun dirinya berdiri di depan namun tidak ada murid dan guru, karena semuanya saling belajar dan satu sama lain merupakan guru buat kita semua. Dan diharapkan setiap orang dapat berbagi cerita serta pengalamannya tanpa harus merasa malu, karena dengan berbagi maka memberikan kesempatan bagi orang lain untuk bermudita (berbahagia atas kebahagiaan orang lain) serta banyak membantu bagi perkembangan batin kita.

foto  foto

Keterangan :

  • Sebanyak 50 orang hadir untuk mendengarkan sharing Xu Rong Xiang (kiri).
  • Xu Rong Xiang yang aktif di misi budaya humanis Tzu Chi Tainan memberikan sharing di kegiatan bedah buku He Qi Barat pada tanggal 10 Oktober 2012 (kanan).

Sembari menunggu kelas dimulai, Lagu “Zhuan Wan Kan Shi Jie (Melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda)” selalu diputar berulang kali. Alunan musik dari lagu tersebut yang mengalun memberikan sentuhan relaksasi bagi para peserta yang datang. Ternyata memang judul lagu itulah yang menjadi topik pada kelas bedah buku kali ini yaitu belajar melihat dari sudut pandang yang berbeda. Kami diminta untuk menyanyikan lirik dari lagu “Zhuan Wan Kan Shijie” bersama-sama. Walaupun terbata-bata  menyanyikan lagu dalam dialek Mandarin Hokkian, kami diajak dan dipandu untuk memahami lirik dari lagu tersebut dan sehingga dapat menghayati dan meresap lirik lagu tersebut. Pada saat ditanyakan apa yang dirasakan setiap orang terhadap lagu itu. Ternyata apa yang dirasakan setiap orang terhadap lagu itu tidaklah sama, ada yang menghayati musiknya, ada yang mengaitkannya dengan salah satu drama DAAI TV.

Begitu juga pemahaman terhadap cerita yang disuguhkan, setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Cerita yang dibawakan kali ini yaitu berjudul “Burung Berkepala Dua” yang diambil dari kisah reinkarnasi Sang Buddha. Diceritakan bahwa pada masa dahulu, hidup seekor burung berkepala dua. Sekalipun memiliki tubuh yang sama, namun karakter kedua kepala ini berbeda, yang satu pemalas dan suka tidur, sedangkan yang satu lagi rajin dan selalu bertugas menjaga bila si kepala yang malas sedang tidur. Setiap kali ada makanan, si kepala yang rajin selalu membangunkan si kepala yang malas untuk bangun dan bersama-sama menikmati makanan itu. Setelah menyantap makanan, maka si kepala yang malas akan tertidur pulas kembali. Pada suatu hari ada sebutir buah yang ranum dan harumnya sangat menggiurkan jatuh dekat mereka.Dan si kepala rajin melihat buah itu terpikir untuk membangunkan si kepala malas lalu memakannya bersama-sama. Namun saat melihat si kepala malas tertidur dengan nyenyaknya, maka tidak tega untuk membangunnnya, lantas memakan buah itu sendiri karena berpikir baik satu kepala maupun dua kepala yang makan, tetap akan sama-sama kenyang. Di saat yang sama, si kepala malas karena mencium aroma yang harum, lantas bangun dari tidurnya dan bertanya kepada si kepala rajin yang berdahak karena kenyang.

“Apa yang kamu makan? Kenapa kamu tidak membangunkan saya untuk makan?” tanya si kepala malas. “Saya melihat kamu sedang tidur lelap, saya tidak tega membangunkan kamu, makanya saya makan sendiri” jawab si kepala rajin. Lalu dalam benak kepala malas timbul niat tidak baik untuk membalas dendam kepada si kepala rajin. Hingga suatu hari, saat giliran kepala rajin sedang istirahat, jatuhlah sebuah buah dari atas pohon. Namun buah itu adalah buah yang sangat beracun. Saat itu si kepala malas karena masih menyimpan dendam kepada si kepala rajin, lalu berpikir : “Saya akan makan buah itu, agar kita mati berdua bersama-sama”. Dan dengan hati memendam dendam si kepala malas pun menyantap buah beracun itu. Sang Buddha berkata: “si kepala rajin merupakan kelahirannya pada kehidupan lampau, dan si kepala malas adalah si Devadatta.”

foto  foto

Keterangan :

  • Dalam kegiatan bedah buku kali ini, para relawan tidak hanya membaca buku. Tetapi juga bernyanyi dan membaca kata perenungan (kiri).
  • Mendengar sharing yang dibawakan, membuat para peserta ingin bertanya lebih lanjut untuk memahami dharma yang dibabarkan (kanan).

Setelah cerita selesai diceritakan, Surya Shixiong dan Johan Shixiong langsung menerjemahkan dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia. Lalu, Xu Rong Xiang mengajukan dua pertanyaan kepada kita. Pertanyaan pertama : Mengapa si kepala rajin mendadak memakan buah yang ranum itu sendiri, karena biasanya dia selalu membangunkan si kepala malas untuk makan bersama-sama?, pertanyaan kedua : Bila kamu adalah si penulis cerita di atas, akhir seperti apakah yang akan kamu tulis setelah si kepala malas memakan buah beracun itu?. Pada titik ini, suasana kelas berubah menjadi dinamis dan interaktif. Semua orang dihadapkan pada pertanyaan yang  sederhana namun mengelitik kita untuk berpikir lebih mendalam, terutama karena semua orang memiliki pandangan yang berbeda.

Melalui lagu “Zhuan Wan Kan Shi Jie” dan cerita “Burung berkepala dua”, Xu Rong Xiang mengajak kita untuk merefleksikannya dalam kehidupan dan pengalaman kita.Tentu pada awalnya yang hadir berpartisipasi segan dan malu untuk bercerita.Namun seiring dengan mencairnya suasana sejak kelas berlangsung, Shixiong shijie yang hadir pun mulai berani untuk mengemukakan pendapat dan berbagi cerita. Seperti pengalaman dari salah seorang shijie yang pernah disalah artikan niat baiknya oleh relawan yang lain. Namun saat ini dirinya telah dapat menerima dan memaafkan relawan tersebut karena dirinya belajar untuk memandang suatu persoalan dari sudut pandang yang berbeda.  Seperti yang disampaikan oleh Xu Rong Xiang  bahwa dengan hati yang lapang makan kita tidak akan melukai orang lain; dan dengan niat yang ikhlas maka kita tidak akan mudah tersinggung;  Bila niat kita baik maka tidak akan timbul konflik apalagi sampai mendendam; asalkan kita merubah sudut pandang kita, maka akan banyak perubahan yang terjadi dalam hidup kita; terlebih lagi bila kita memanfaatkan waktu yang ada dengan baik maka kita akan dapat mengembangkan potensi hidup kita dan menjadi berkah dalam hidup kita.

Sesungguhnya apa tujuan dari kegiatan bedah buku? Contohnya seperti shijie yang berbagi pengalamannya di atas tadi, dengan berbagi kegundahan hatinya, selain mendapatkan saran-saran yang membangun, juga berkurang setengah beban di hatinya. Seperti yang disampaikan oleh Johan yang menjadi penerjemah bahasa antara Xu Rong Xiang dengan kita semua. “Setiap kejadian memiliki kadar yang berbeda efeknya bagi setiap orang, namun dengan berbagi maka hilang sudah setengah beban di hatinya. Dan bagi kita yang mendengarkan tentunya juga menjadi pembelajaran,” ujar Johan.

Melalui kegiatan bedah buku yang dipandu oleh Xu Rong Xiang, membuktikan bahwa membaca bukanlah hal yang membosankan, melainkan suatu kegiatan yang menyenangkan terlebih lagi bila dilakukan secara bersama-sama.Keterbatasan bahasa bukanlah kendala bagi setiap insan Tzu Chi untuk berbagi.Sekalipun Xu Rong Xiang tidak dapat berbahasa Indonesia, dan tidak banyak insan Tzu Chi Indonesia yang dapat berbahasa Mandarin, namun bukan berarti masing-masing dari kita pulang dengan tangan kosong.Dengan adanya bantuan dari Johan  sebagai penerjemah, sangat membantu kita semua untuk berkomunikasi. Asalkan ada tekad dan hati yang sama maka antar insan Tzu Chi dari negara yang berbeda pun dapat saling berbagi dan belajar satu sama lain.

  
 

Artikel Terkait

Sejarah “Sutra Bakti Seorang Anak” (Bag. I)

Sejarah “Sutra Bakti Seorang Anak” (Bag. I)

03 September 2012 Sutra Bakti Seorang Anak adalah Sutra tentang kebaikan hati orang tua dan bagaimana sulitnya untuk membalas budi baik mereka. Berikut adalah kutipan dari Sutra tersebut. 
Donor Darah Perdana di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara

Donor Darah Perdana di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara

17 Juni 2022

Relawan Tzu Chi Medan komunitas Hu Ai Binjai untuk pertama kalinya mengadakan bakti sosial donor darah di Kota Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara.

Meringankan Derita Korban Kebakaran

Meringankan Derita Korban Kebakaran

03 Agustus 2013 Setelah menerima informasi tentang musibah kebakaran, relawan Tzu Chi melakukan survei ke lokasi dan memutuskan untuk memberikan bantuan untuk para korban pada tanggal 17 dan 18 Juli. Bantuan yang diberikan oleh Tzu Chi berupa paket bantuan dan santunan untuk para korban.
Berbicaralah secukupnya sesuai dengan apa yang perlu disampaikan. Bila ditambah atau dikurangi, semuanya tidak bermanfaat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -