Belajar dari Semangat Hidup Ramlan

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Anand Yahya, Hadi Pranoto
 

fotoTerinspirasi dengan semangat hidup Ramlan, Senin, 2 November 2009, 4 relawan Tzu Chi mengunjungi Ramlan di rumahnya di Purwakarta, Jawa Barat. Ramlan adalah salah satu korban gempa di Padang yang terpaksa harus memotong kakinya sendiri yang terhimpit reruntuhan bangunan.

 

Masih ingat perjuangan seorang pemuda yang terpaksa memotong kaki kanannya agar terbebas dari himpitan dinding dan beton saat terjadi gempa di Padang 30 September lalu? Ramlan (18), demikian nama pemuda yang sempat menjadi buah bibir dan beberapa kali kisahnya ditayangkan oleh stasiun TV nasional di Indonesia. Ramlan yang asli Purwakarta ini kemudian dirawat di RS Yos Sudarso Padang.

Keberadaan Ramlan di ruang rawat rumah sakit itu cukup membuat para wartawan, dokter, perawat, dan juga relawan Tzu Chi yang tengah bertugas membantu korban gempa menaruh simpati. Karena kagum dan bersimpati atas keteguhan, keberanian, dan semangat hidup itulah yang akhirnya membawa empat relawan Tzu Chi, Tim Media Cetak, dan DAAI TV mengunjungi Ramlan di rumahnya, Desa Gahindra, Kecamatan Pondok Salam, Purwakarta, Jawa Barat.

Ingin Belajar dari Ramlan
Setelah beberapa kali bertanya kepada penduduk setempat, akhirnya sampailah kami ke sebuah rumah yang asri dan teduh. Senyum dan sapaan ramah seorang ibu menyambut kedatangan kami. “Benar ini rumah Ramlan?” tanya Momo, relawan Tzu Chi. “Betul,” jawab Sikar yang ternyata ibunya Ramlan. Relawan pun masuk dan menyerahkan bingkisan tanda simpati mereka kepada Ramlan yang tengah berbaring di ranjang. Meski baru saja mengalami cobaan berat dalam hidupnya, paras wajah pemuda ini tetap saja menampakkan keceriaan. “Gimana keadaanya sekarang?” tanya Momo. “Baik,” jawab Ramlan. “Gimana sudah berani latihan jalan?” tanya Noni, relawan lainnya. “Sudah, tapi sekarang rada takut. Soalnya kemarin habis jatuh,” jawab Sikar, sang ibu.
           
Ternyata, saat sedang berlatih jalan dengan menggunakan tongkat, Ramlan sempat terjatuh dan dari luka di kakinya sempat mengeluarkan darah. “Sekarang agak trauma,” kata Ramlan. “Ya sudah, tapi nanti harus dicoba lagi ya? Ingat nggak, waktu kamu dirawat di rumah sakit di Padang, pas gempa kamu bisa langsung turun,” pancing Momo. Ramlan pun mengangguk. “Nah, makanya kami tuh salut dengan kamu. Di antara pasien korban gempa lainnya, cuma kamu aja yang wajahnya tetap semangat,” kata Momo. Ramlan pun menjawab sambil tersenyum, “Ya habis sedih dan dipikirin sampe stres juga kaki saya nggak bakalan balik lagi.”

Menurut Momo, kedatangan mereka ke rumah Ramlan adalah untuk memberi perhatian dan memastikan ia telah mendapatkan pengobatan yang semestinya. “Kami juga ingin belajar semangat hidup dari Ramlan,” tambahnya. “Selain bantuan pengobatan, bantuan apa lagi yang sudah kamu terima?” tanya relawan lainnya. “Rencananya Ramlan akan memperoleh bantuan kaki palsu dari Yayasan Merah Putih,” jawab Sikar. “Oh syukur kalau begitu. Begitu banyak ya perhatian yang diberikan kepada Ramlan,” ucap Momo senang. “Iya, saya senang banyak yang ngunjungin Ramlan, padahal mereka sebelumnya nggak kenal sama Ramlan. Seperti Bapak dan Ibu-ibu ini (relawan Tzu Chi-red),” sahut Sikar haru.

 

foto  foto

Ket: - Dedi dan Sikar, kedua orangtua Ramlan dan saudara-saudaranya selalu memperhatikan dan merawat                   Ramlan dengan penuh kasih sayang. Walau tertimpa musibah, keceriaan tetap terlihat di keluarga ini.(kiri)
       - Momo, relawan Tzu Chi tengah memberikan semangat kepada Ramlan. Selain memberi perhatian,                   kedatangan para relawan Tzu Chi ini adalah untuk memastikan Ramlan telah mendapatkan bantuan dan                   pengobatan yang diperlukan.  (kanan)

Firasat yang Kurang Baik
Dua bulan lalu, tepatnya di bulan September 2009, entah mengapa Sikar tak merasa “plong” saat memberikan izin kepada putra bungsunya ini bekerja di Padang, Sumatera Barat. Padahal, sebelumnya Ramlan yang tamatan sekolah dasar ini sudah dua kali merantau ke luar kota: Pekanbaru dan Medan sebagai tenaga buruh bangunan. Saat itu bulan Ramadan, saat di mana umat Islam tengah menjalankan ibadah puasa dan menjelang hari raya Idul Fitri. “Saya bilang sama Ramlan, ngapain kamu pergi keluar kota, yang kerja di luar kota aja pada pulang ke kampung halamannya,” cegah Sikar. Tapi rupanya tekad Ramlan sudah bulat, “Saya harus berangkat, Mak. Saya takut nggak kebeli baju (Lebaran),” ungkap Sikar mengulang jawaban Ramlan saat itu. Ramlan yang ketika itu baru selesai salat Jumat pun segera masuk kamar, mengemas baju, dan barang-barangnya.

Bersama dengan 15 teman sekampungnya, Ramlan pun berangkat ke Jakarta, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus ke Padang. “Dari Jakarta kita pakai ongkos sendiri. Ke Padangnya baru ditanggung perusahaan,” terang Ramlan. Di Padang itu, perusahaan konstruksi yang memperkerjakan Ramlan berencana merenovasi gedung Telkom yang berada di Jalan Khatib Sulaeman. Dari pekerjaan ini, Ramlan mengaku dalam sebulan bisa mengantungi uang sebesar Rp 1 juta. “Untuk makan dan penginapan ditanggung perusahaan,” jawabnya sembari memijat-mijat bagian kaki yang terbalut perban. Ketika ditanyakan mengapa tak mencari pekerjaan di Purwakarta saja, Sikar dan Dedi (ayah Ramlan –red) lantas menjawab, “kalau di sini (Purwakarta) susah nyari kerjaan. Kalo di Padang kan dah ada yang bawa.”

Belum genap sebulan Ramlan bekerja di sana, terjadilah musibah. Padang dan Pariaman diguncang gempa berkekuatan 7,6 skala Richter yang banyak menelan korban jiwa dan menghancurkan gedung-gedung bertingkat, termasuk di tempat Ramlan bekerja. Hari itu, Rabu, 30 September 2009, pukul 17.16 WIB, Ramlan sedang bekerja di lantai 6 gedung Telkom Padang. Guncangan pertama membuat orang-orang di lantai dasar panik dan berhamburan keluar. Selang beberapa detik, guncangan terasa lebih keras seperti mengaduk-ngaduk isi bumi. Guncangan yang terjadi terasa ke segala arah. Posisi Ramlan dan sejumlah temannya yang berada di lantai enam tidak lebih baik dari orang-orang di lantai bawah. Karena saat tengah berusaha menyelamatkan diri, reruntuhan tembok telah terlebih dahulu menimpa kaki kanannya.

foto  foto

Ket: - Herman, rekan Ramlan tengah menceritakan kejadian yang menimpa Ramlan kepada relawan Tzu Chi yang           sedang berkunjung di RS Yos Sudarso Padang, Sumatera Barat pada tanggal 7 Oktober 2009 lalu. (kiri)
       - Sebagai bentuk simpati dan kepedulian, Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Sugianto Kusuma           memberikan semangat dan santunan kepada Ramlan.  (kanan)

Ingin Bertemu dengan Orangtua
Karena takut dan panik, Ramlan berusaha untuk memotong kakinya. “Hanya dengan cara ini saya bisa bertahan hidup,” ujar Ramlan beralasan. Ia nekad menggergaji kakinya dengan gergaji kayu. Tapi itu tak mudah, ia justru harus menahan rasa sakit yang mendalam saat usahanya itu gagal. Ia pun mencoba memutuskan kakinya yang terhimpit beton dengan cangkul dan sendok semen. Tak kuat menahan rasa sakit yang amat sangat, Ramlan pun menjerit sekuat-kuatnya. Teriakan itu terdengar Herman, rekannya yang telah berada di lantai bawah untuk kembali melihat kondisi Ramlan. Kepada Herman, Ramlan memintanya memotong kaki kanannya.

Atas permintaan Ramlan yang tak wajar itu, Herman akhirnya menuntaskan pekerjaan Ramlan untuk mengeksekusi kaki sahabatnya itu. “Kalau nggak cepat (dipotong), Ramlan bisa kehabisan darah dan nyawanya terancam,” kata Herman kepada salah satu media yang mewancarainya di Padang. Sesudah berhasil menggergaji kaki temannya, Herman menggendong Ramlan turun dan membawanya ke Rumah Sakit Selasih yang berjarak sekitar 500 meter dari gedung Telkom.

Di sana, Ramlan tidak langsung mendapat perawatan karena kondisi rumah sakit rusak parah. Dalam kondisi darurat, luka Ramlan lantas mendapatkan perawatan pertama dari dokter setempat. Lukanya dibalut agar tidak infeksi. Dengan susah payah, akhirnya Ramlan dibawa ke RS Yos Sudarso untuk mendapatkan perawatan yang lebih layak. Di rumah sakit ini, Ramlam sempat bertemu dengan tim medis dan para relawan Tzu Chi yang tengah bertugas membantu menangani pasien. “Di antara pasien korban gempa lainnya, cuma Ramlan yang saya lihat tidak menampakkan kesedihan. Semangat hidupnya sangat hebat,” puji Momo.

foto  foto

Ket: - Agar Ramlan tetap bersemangat dan lebih mengenal Tzu Chi, relawan lantas memberikan buletin Tzu Chi           kepadanya. (kiri)
       - Sikar, ibu Ramlan, merasa bersyukur dan bahagia karena begitu banyak orang yang peduli atas musibah           yang dialami putranya. "Meski nggak kenal, mereka semua mau datang," ucapnya haru. (kanan)

Ingin Membuka Usaha Sendiri
Ditemui di rumahnya, Ramlan mengaku masih trauma jika mengenang kejadian buruk yang menimpa dirinya. “Semalam aja saya mimpi buruk lagi,” ujarnya. Meskipun kini cacat permanen, Ramlan tidak pernah menyesali kejadian itu. “Ya disesali sampai bagaimanapun kaki saya juga nggak bakalan kembali lagi,” ucapnya tegas. Sikar, sang ibu pun berpendapat sama, “Mungkin memang sudah nasib anak saya. Justru kalo Ramlan sedih, kita semua jadi tambah sedih dan bingung.”

Ramlan sadar, dengan kekurangan fisiknya yang sekarang, ia akan kesulitan jika harus bekerja seperti dulu. Meski dijanjikan akan mendapatkan kaki palsu, tapi sangat sulit bagi Ramlan jika harus bekerja keras dengan mengandalkan kekuatan fisik. “Rencananya sih pengin buka usaha sendiri. Buka usaha tambal ban dan bengkel kecil-kecilan,” kata Ramlan. Ia berencana menjalankan usahanya ini bersama kakak dan ayahnya. “Sama jual pulsa dan bensin mungkin kalau modalnya ada,” kata Sikar menimpali.

Ramlan memang telah kehilangan salah satu anggota tubuhnya (kaki), yang membuat kehidupannya tak lagi sama seperti dulu, tapi Ramlan tak pernah kehilangan semangat untuk terus hidup, bekerja, berkarya, dan tidak menjadi beban bagi keluarga dan orang lain.

 
 

Artikel Terkait

Mendampingi dengan Ketulusan dan Cinta Kasih

Mendampingi dengan Ketulusan dan Cinta Kasih

02 Juni 2021
Sejak awal Tzu Chi berdiri tahun 1966 di Taiwan, metode pendampingan dan perhatian untuk para penerima bantuan Tzu Chi tidaklah berubah hingga saat ini.
Perayaan Ulang Tahun Tzu Chi Batam

Perayaan Ulang Tahun Tzu Chi Batam

25 Agustus 2014 Minggu, 17 Agustus 2014 memiliki makna yang berbeda bagi Tzu Chi Batam karena selain Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-69, pada sembilan tahun yang lalu di tanggal yang sama, Tzu Chi Batam diresmikan.
Giat menanam kebajikan akan menghapus malapetaka. Menyucikan hati sendiri akan mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -