Cinta Kasih dan Kebenaran

Jurnalis : Mei Hui (He Qi Utara), Fotografer : Stephen Ang (He Qi Utara)

fotoPada hari Kamis, 29 Maret 2012, Bedah Buku He Qi Utara mengundang Oey Hoey Leng Shijie untuk membawakan topik “Membuang Cinta Kasih Hanya Untuk Menjadi Benar".

Setiap Kamis malam berlangsung kegiatan bedah buku di Jing Si Books and Café Pluit yang bebas dihadiri oleh siapapun. Istilah “Jing Si” sendiri bermakna perenungan dengan batin yang hening. Tempat ini didesain dengan interior yang teduh dengan rak-rak mayoritas berisi buku-buku Master Cheng Yen, dan meja kursi yang tertata rapi di bawah lampu kuning yang manis. Di sini, pengunjung seperti berada di ruang tamu yang hangat, ditemani staf dan relawan yang ramah, dan batin pun terasa damai.

 

Pada hari Kamis di penghujung bulan Maret 2012, seperti biasanya pukul 7 malam kegiatan bedah buku dimulai. Malam itu, bedah buku diisi dengan sharing dari salah seorang relawan komite, Oey Hoey Leng Shijie, yang juga seorang dosen di universitas ternama di Jakarta.  Yang sangat spesial kali ini adalah judul yang unik, yaitu “Membuang Cinta Kasih Hanya untuk Menjadi Benar”. Judul ini sempat mengundang tanda tanya bagi para peserta bedah buku. Apakah ada kesalahan penulisan judul, mengapa menggunakan istilah “membuang cinta kasih”, bukankah seharusnya “menebarkan cinta kasih”?  Rasa ingin tahu ini justru menyemangati 44 orang peserta dan tidak perlu menunggu lama karena Oey Hoey Leng Shijie langsung memberikan sharing-nya yang mencerahkan.

“Kalau dua atau tiga orang bertengkar, adakah yang benar? Kebenaran itu sangat relatif karena setiap orang punya sudut pandang yang berbeda dikarenakan latar belakang yang berbeda,” kata Oey Hoey Leng Shijie memulai.

Apa Maksud “Membuang Cinta Kasih Hanya untuk Menjadi Benar”?
Karena peserta masih diliputi kebingungan, Oey Hoey Leng Shijie pun mengisahkan pengalamannya pada baksos pengobatan Tzu Chi di tahun 1999, mencakup operasi mata, hernia, bibir sumbing, umum dan gigi, yang diikuti oleh ribuan orang.  Biasanya pada baksos umum dan gigi dibagikan parsel berisi makanan kecil untuk anak-anak.  Ketika seorang relawan melihat anak yang mengantri lagi setelah mendapatkan jatah parsel, ia pun menegur anak tersebut dengan keras. Kemudian relawan senior lain menanyai anak ini dengan baik-baik, ternyata anak itu mengantri lagi parsel untuk diberikan kepada adik kecilnya yang sedang sakit. “Dari kejadian ini, kita bisa belajar, sebenarnya yang punya cinta kasih lebih besar adalah si anak kecil, ” kata Oey Hoey Leng Shijie. Kejadian lainnya adalah ketika relawan melihat seorang pasien yang terlihat mampu, karena memiliki mobil dan handphone, datang mengikuti baksos katarak.  Relawan pun berusaha mencegah pasien tersebut karena baksos adalah hak orang yang kurang mampu. Dari dua contoh kejadian tersebut, ketika relawan bersikap keras kepada pasien agar baksos berjalan sesuai peraturan yang telah ditetapkan, berarti relawan telah membuang cinta kasih hanya untuk menjadi benar.

foto  foto

Keterangan :

  • Oey Hoey Leng Shijie menceritakan pengalamannya ketika mengikuti kegiatan baksos pengobatan Tzu Chi dan hikmah positif yang dapat diambil dari kejadian tersebut (kiri).
  • Sebanyak 44 peserta yang hadir dalam bedah buku mendengarkan dengan sepenuh hati sharing dari Oey Hoey Leng Shijie yang sangat menginspirasi (kanan).

“Master Cheng Yen pernah mengatakan, ‘Kalau orang sudah datang ke Tzu Chi, sudah merupakan jodoh yang baik, sehingga sudah sepatutnya kita menyambutnya dengan penuh cinta kasih.’ Jadi, apa yang seharusnya dilakukan ? Seharusnya kita berwelas asih, menyambut baik, dan menjelaskan bahwa baksos ini diperuntukkan untuk orang yang tidak mampu, dokter pun beramal. Walaupun orang itu tetap bersikeras, kita tetap memperlakukan dengan baik dan mungkin suatu hari ia akan sadar. Di sini baksos merupakan salah satu tempat untuk melatih diri. Dengan menggunakan welas asih, kita bersyukur orang tersebut telah datang menjadi bagian dari kita, dan kita bantu mencari solusi masalah tersebut,” jelas Oey Hoey Leng.

Setelah mendengarkan contoh yang diberikan, peserta mulai memahami makna sharing Oey Hoey Leng Shijie dan menyadari bahwa dalam keseharian kita sering membuang cinta kasih kita hanya untuk menjadi benar. Peserta pun antusias berbagi pengalamannya. Bambang Shixiong mengatakan bahwa hal ini terjadi setiap kali tanpa kita sadari, seperti dalam keluarga dan hidup bertetangga, di kala menemukan hal yang tidak sesuai, kita bicara atau menegur dengan suara keras, berarti kita membuang cinta kasih. ”Di Tzu Chi, kalau sering ikut gong xiu, bedah buku, mendengarkan sharing, kebijaksanaan kita akan semakin meningkat,” katanya.

Berapa seringnya kita membuang cinta kasih kita hanya untuk menjadi benar? Terhadap siapa kita sering melakukannya? Keluarga, sahabat, orang tua, atasan, bawahan, pasien, tamu undangan? Mengapa kita membuang cinta kasih hanya untuk menjadi benar? Akar dari konflik adalah sudut pandang yang berbeda.  Seringkali kita percaya bahwa gagasan dan pandangan kita adalah kebenaran mutlak.  Sesungguhnya kebenaran mutlak adalah hal yang membawa ketenangan, kedamaian, harmoni, dan kebaikan.

Kebenaran dan Kesabaran
Oey Hoey Leng Shijie mengajak peserta menikmati saat bedah buku tersebut, “Bisa duduk di sini, di tempat yang nyaman, membahas sesuatu yang baik, apakah terasa bahagia? Menikmati momen saat ini dengan tenang, damai, harmoni, dan penuh kebaikan, pertahankan untuk detik dan menit berikutnya. Untuk mencapai semua itu maka kita perlu menjaga kesadaran setiap saat (berlatih), mengembangkan kebijaksanaan (menjaga welas asih kepada seluruh makhluk dan diri sendiri), dan  memanfaatkan Dharma (ajaran tentang kehidupan) sebagai pedoman hidup. Dalam menjaga cinta kasih, harus senantiasa mengingat bahwa meskipun gagasan kita (anda dan saya) saling bertolak belakang, anda masih tetap bisa menjadi sahabat saya. Itulah yang disebut cinta kasih tanpa pilih kasih, yaitu sesuatu yang melampaui gagasan dan pandangan kita yang biasa.” Oey Hoey Leng Shijie berbagi kisah kepada semua peserta.

foto  foto

Keterangan :

  • Menghadiri bedah buku dan memahami Dharma dengan hati dan pikiran terbuka merupakan pelatihan diri sekaligus mengembangkan kebijaksanaan dalam diri kita semua (kiri).
  • Sharing dan interaksi para peserta membuat kegiatan bedah buku ini menjadi hidup dan diharapkan kita dapat belajar dari pengalaman orang lain (kanan).

Stephen Ang Shixiong memberikan sharing bahwa seringkali masalah utama lebih ke emosi, batin kita mudah terpengaruh dan terpancing. Ketika berusaha menasehati orang tua yang sakit, untuk berpantang makan makanan tertentu untuk menjaga kesehatan sempat terpancing marah. Setelah marah, timbul perasaan tidak nyaman, merasa bersalah.  Setelah mengikuti bedah buku, sekarang ia terus berusaha untuk belajar melatih diri, tidak lagi memaksakan hasil. Apapun hasilnya, tetap bersabar.

Djohan Kurnia Shixiong juga memberikan pandangannya, “Untuk merasa benar, sangat subjektif. Tidak ada yang paling benar, harus ada toleransi. Dalam Buddha Dharma, para Bodhisatwa selalu menjaga jodoh baik.  Karena kalau terlalu kaku dan pecah tidak ada kebaikan yang bisa ditanam.” Dalam pandangan Buddhis, ada enam paramita. Dana paramita merupakan paramita tertinggi, kedua yaitu mempraktikkan kebenaran hidup. Paramita ketiga adalah Shanti paramita yaitu kesabaran. “Ilmu kesabaran lebih tinggi daripada kebenaran. Kesulitan kita adalah sabar, setelah kita benar, harus tetap sabar. Dengan berlatih kesabaran kita memberi ruang cinta kasih. Meskipun kita merasa sudah benar, kita beri ruang untuk melihat, tidak menutup menjadi buntu. Sabar lebih tinggi ilmunya daripada benar. Yang sabar lebih mudah menangkap kebenaran,” tutur Djohan Kurnia Shixiong.

Waktu dua jam berlalu tanpa terasa, karena peserta bersemangat mendengarkan dan memberikan sharingnya berhubungan dengan tema yang dibawakan. Di penghujung acara, Posan Shixiong (koordinator bedah buku He Qi Utara) memberikan kata penutup, “Kita datang ke Tzu Chi, tempat melatih diri.  Melatih diri bukan berarti mengubah diri orang lain, melainkan diri sendiri.  Masing-masing orang mempunyai pandangan, tidak ada kebenaran yang mutlak. Semua sesuai jodohnya.” Ia pun berpesan, “Jangan hanya bangga menjadi insan Tzu Chi, tetapi jadilah insan Tzu Chi yang membanggakan.”

Bedah buku malam itu menjadi bedah buku yang amat sangat berkesan. Dengan judul yang unik, Oey Hoey Leng Shijie menyampaikan pesan mendalam mengenai cinta kasih dan kebenaran. Jangan sampai karena merasa benar, kita membuang cinta kasih kita. Bagaimanapun kehidupan kita, dalam situasi apapun, terhadap siapapun, sepatutnya dihadapi dengan kesadaran batin yang hening dan jernih.  Dengan kesadaran batin tersebut, kita dapat menyikapi segala sesuatu dengan bijaksana, toleransi, cinta kasih, dan kesabaran.

  
 

Artikel Terkait

Yuan Yuan

Yuan Yuan

26 Februari 2015
Qin zi ban adalah kelas budi pekerti yang diperuntukan untuk anak usia 5-8 tahun. Ini  merupakan salah satu misi pendidikan Tzu Chi untuk membekali nilai-nilai budi pekerti kepada anak sejak dini
Banjir Jakarta: Pengobatan Pascabanjir

Banjir Jakarta: Pengobatan Pascabanjir

24 Januari 2013 Relawan Tzu Chi yang mendengar hal tersebut turut prihatin. Maka sejak hari Minggu, tanggal 20 Januari 2013, relawan Tzu Chi kerap berusaha mengunjungi korban banjir yang mengungsi di Rumah Susun (Rusun) Muara Baru untuk memberikan bantuan berupa makanan, minuman, dan pengobatan.
Menggalang Cinta Kasih

Menggalang Cinta Kasih

08 April 2016

Relawan Tzu Chi Tanjung Balai Karimun mengadakan Sosialisasi Misi Amal Tzu Chi (SMAT) kepada warga di Lapangan Enam Bersaudara, Tanjung Balai Karimun pada 2 April 2016. Relawan memperkenalkan Tzu Chi dan semangat celengan bambu, juga mengajak untuk bersama-sama bersumbangsih di Tzu Chi membantu orang yang membutuhkan.

Hakikat terpenting dari pendidikan adalah mewariskan cinta kasih dan hati yang penuh rasa syukur dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -