Harapan untuk Eka (Bag. 1)

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto

fotoRelawan Tzu Chi Ong Hok Cun memberi motivasi dan semangat kepada Eka untuk terus menjalani pengobatannya.

 

Subarni tentu sama sekali tak mengira jika keluhan putrinya Eka Yunita yang sering mengalami pusing ternyata menjadi sebuah masalah besar bagi keluarga mereka. Setiap kali putri sulungnya itu mengeluh sakit kepala, maka setiap kali itu pula obat pereda sakit kepala diberikannya. Obat sakit kepala yang banyak beredar di warung-warung itu memang cukup ampuh untuk meredakan sakit kepala Eka, namun itu hanya bersifat sementara, dua-tiga hari kemudian Eka pun akan kembali mengalami sakit kepala.

 

Semakin Parah
Bahkan menjelang kelas 4 SD, selain mengalami sakit kepala, putri pasangan Ngatijo dan Subarni ini juga sering merasa kesemutan di kaki dan tangannya. Puncaknya adalah saat kelas 4 Eka mengalami mati rasa di kaki dan tangannya. “Sepertinya kaki dan tangan nggak ada (masalah) apa-apa, tapi saat melangkah saya jatuh, seperti nggak ada kekuatan,” kata Eka menceritakan kisahnya kepada saya. Eka pun kemudian sering tidak masuk sekolah sehingga prestasi belajarnya pun ikut menurun. Eka pun pernah diantar pulang ke rumah oleh gurunya karena kondisinya itu.

Melihat kondisi ini, Ngatijo dan Subarni pun kemudian membawa Eka ke dokter di sebuah klinik 24 jam di dekat tempat tinggal mereka di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat. Oleh dokter kemudian diberi obat, dan sakit kepala serta rasa kesemutan Eka mulai berkurang. Tidak lama kemudian, Eka kembali mengeluh, “Bu, kok Eka makin sering kesemutan kaki dan tangan?” “Mungkin itu karena Eka tidurnya kakinya ke atas,” jawab Subarni menenangkan putrinya. Tapi ternyata kondisi Eka makin parah, hingga pada Februari 2011 kaki Eka pincang jika digunakan untuk melangkah dan berjalan.

foto  foto

Keterangan :

  • Dengan penuh kasih sayang Subarni merawat putrinya Eka Yunita sehabis dioperasi di RSCM Jakarta pada tanggal 16 September 2011. (kiri)
  • Dengan segala upaya Subarni mencoba mencari jalan kesembuhan putrinya. (kanan)

Tak ada perbaikan terhadap kakinya, maka Eka pun kembali dibawa ke Klinik 24 jam dan di sana oleh dokter disarankan untuk dilakukan rontgen kaki di rumah sakit, mengingat di klinik itu hanya ada fasilitas untuk rontgen dada. Subarni pun menurut. Di RSUD Cengkareng, Eka disarankan untuk dilakukan CT-Scan. Subarni sempat “ciut” hatinya tatkala mengetahui biaya untuk CT-Scan secara keseluruhan mencapai 550 ribu rupiah. “Misalnya nanti bisa nggak, Dok?” tanya Subarni pada sang dokter. “Ini harus segera ditangani Bu,” tegas dokter mengingatkan.

Kedua orangtua Eka bukannya tinggal diam, namun kondisi keuangan menyebabkan mereka selalu berpikir 2 kali untuk membawa Eka berobat. Pekerjaan Ngatijo sebagai kenek di sebuah perusahaan swasta hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari Eka dan kedua adiknya: Fenty Apriliani (kelas 1 SD) dan Nia Andriana (3 tahun). Sementara tambahan penghasilan Subarni dari mencuci pakaian di 2 rumah digunakan untuk biaya sewa rumah dan kebutuhan lainnya — sejak Eka sakit Subarni hanya dapat mencuci di 1 rumah saja.

Tapi karena kondisi Eka sudah sangat mengkhawatirkan maka keduanya pun segera membawa putri mereka ke rumah sakit. Apalagi saat itu Ngatijo terkena rasionalisasi karyawan di perusahaannya, sehingga ia memperoleh pesangon yang bisa digunakannya untuk berobat putrinya. Dari hasil CT-scan yang lengkap itulah kemudian diketahui jika Eka terkena tumor otak. Tanpa berpikir dua kali, Ngatijo dan Subarni pun memutuskan untuk mengobati penyakit Eka hingga tuntas. Berbekal uang pesangon tersebut Eka pun kemudian menjalani operasi. Efek dari operasi ini membuat Eka pelan-pelan kehilangan penglihatannya, dan bagian belakang kepalanya pun membesar. “Dokter memang bilang kalau tumornya sudah menyebar ke organ lain,” kata Subarni.

Setelah operasi, Eka pun disarankan untuk menjalani pengobatan lebih lanjut. Karena kondisi keuangan sudah menipis – operasi pertama menghabiskan puluhan juta rupiah – membuat Subarni pasrah akan nasib anaknya. “Waktu itu saya nggak ngerti kalau bisa pakai SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu-red),” kata Subarni.

Bersambung ke Bagian 2

 


Artikel Terkait

Suara Kasih: Empat Misi Tzu Chi Bersatu Hati dan Bersemangat

Suara Kasih: Empat Misi Tzu Chi Bersatu Hati dan Bersemangat

08 Februari 2013 Tahun ini telah berlalu. Semoga tahun depan bisa seperti tahun ini, yaitu setiap orang dari Empat Misi Tzu Chi bisa memiliki hati Buddha dan tekad Guru, membina welas asih agung, serta membangkitkan ikrar luhur untuk menapaki Jalan Bodhisattva.
Gempa Aceh: Bantuan ke Kampus dan Pesantren di Bireun

Gempa Aceh: Bantuan ke Kampus dan Pesantren di Bireun

11 Desember 2016

Gempa Aceh yang berpusat di Pidie Jaya dengan kekuatan 6,5 SR pekan lalu merusak sejumlah sarana pendidikan. Di antaranya bangunan Kampus Institut Agama Islam Al Azziziyah dan pesantren atau Ma’had Al Ulum Diniyah Islamiyah di Desa Mideun Jok, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireun. Relawan Tzu Chi mengunjungi kampus dan pesantren ini untuk memberikan bantuan berupa kebutuhan sembako kepada perwakilan pesantren.

Hut ke-2 Tzu Chi Tanjung Balai Karimun

Hut ke-2 Tzu Chi Tanjung Balai Karimun

20 Juni 2013 Semakin berkembangnya Tzu Chi di Pulau kecil ini, semua berkat usaha yang gigih dari para relawan. Dengan semakin banyaknya Bodhisatwa dunia di Karimun, diharapkan semua dapat kompak dalam menjalankan kegiatan.
Menyayangi dan melindungi benda di sekitar kita, berarti menghargai berkah dan mengenal rasa puas.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -