Kamp Musim Panas yang Berkesan

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto, Eric Kusuma
 
foto

Salah satu mahasiswa Tzu Chi saat sedang bercengkrama dengan para santriwati. Kedatangan mereka disambut dengan antusias oleh para santri yang tinggal di Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor.

Minggu, 12 Juli 2009 adalah hari terakhir kamp musim panas bagi para mahasiswa Universitas Tzu Chi Taiwan, Universitas Indonesia (UI), Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Sriwijaya, dan Tzu Ching (muda-mudi Tzu Chi -red). Tiga hari sudah acara keakraban dan pembelajaran budaya humanis Tzu Chi telah berlangsung. Di hari terakhir ini, George salah seorang mahasiswa kedokteran Universitas Tzu Chi mempresentasikan tentang pengorbanan orang-orang di Taiwan dalam mendonorkan organ tubuhnya setelah meninggal untuk digunakan sebagai studi anatomi manusia.

George menjelaskan, di Universitas Tzu Chi, jenazah yang digunakan untuk studi anatomi disebut sebagai silent mentor (guru tanpa suara). Disebut demikian karena sesungguhnya dari pendonor tubuh inilah mahasiswa belajar akan anatomi tubuh manusia secara mendalam. Pendonor adalah guru yang mengajarkan ilmu yang berharga dalam dunia kedokteran meski kini ia tidak lagi dapat berkomunikasi dengan para mahasiswa.

Di fakultas kedokteran Universitas Tzu Chi, mahasiswa dibiasakan untuk mengunjungi rumah silent mentor. Tujuannya adalah untuk mengetahui lebih jelas kisah-kisah silent mentor selama hidupnya, semangatnya, dan harapan-harapannya. Dalam persentasi itu George menayangkan kisah guru Lie yang bersedia menjadi silent mentor. Guru Lie selama hidupnya menderita kanker pankreas, namun ia tidak mau untuk menjalani pengobatan kemoterapi karena ia benar-benar ingin mendonorkan tubuhnya itu secara utuh untuk dijadikan pembelajaran anatomi. Dari tubuhnya itu, guru Lie berharap agar kelak di masa yang akan datang tidak ada lagi orang yang menderita seperti dirinya.

Selain kisah guru Lie, George juga menceritakan kisah gadis kecil yang meninggal di usia 14 tahun karena menderita kanker rahim. Sebelum meninggal, gadis kecil itu berkata kepada orangtuanya. “Kenapa di dunia ini banyak orang yang memiliki kesempatan hidup tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik. Saya hanya ingin hidup dengan damai dan tenteram, tetapi tidak bisa. Ibu, umur saya masih kecil, saya belum bisa berbuat apa-apa. Tetapi bila saya meninggal, saya ingin mendonorkan tubuh ini agar berguna.” Menurut George, setelah Master Cheng Yen menjelaskan bahwa hidup ini tidak kekal, ia memahami bahwa kematian bukanlah milik orang yang sudah tua saja, tetapi kematian bisa saja datang pada siapa saja tanpa mengenal umur, bangsa, atau agama. Manusia sesungguhnya hanya mempunyai hak pakai atas tubuhnya dan tidak bisa memiliki tubuhnya secara kekal. Membuat banyak orang di Taiwan yang akhirnya rela mendonorkan tubuhnya untuk dijadikan silent mentor.

foto  foto

Ket : - George saat mempresentasikan silent mentor (guru tanpa suara) dan bagaimana Universitas Tzu Chi
           memperlakukan tubuh dan jasad pendonor secara manusiawi. (kiri)
         - Liu Su Mei, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia memberikan cindera mata kepada perwakilan
          dari Universitas Tzu Chi Taiwan. (kanan)

Sesudah George memberikan presentasi, acara dilanjutkan dengan mendengarkan ceramah Master Cheng Yen dan menyaksikan drama musikal “Sutra Bakti Seorang Anak” yang dibawakan oleh guru dan mahasiswa Universitas Tzu Chi. Presentasi George mengenai kehidupan silent mentor, ditambah drama musikal yang mengharukan membuat banyak peserta yang mengikuti acara itu menangis karena terharu.

Sebelum kamp musim panas ini berakhir, ketua dari masing-masing kelompok menceritakan kesan dan pengalamannya selama mengikuti kamp. Adi, salah seorang mahasiswa STAB Sriwijaya menceritakan bahwa selama mengikuti kamp ini, ia banyak mendapatkan pelajaran terutama mengenai budaya humanis. “Di sini saya bertemu dengan banyak orang. Yang mengharukan adalah di sini kita semua adalah satu keluarga tanpa membedakan warna kulit, agama, dan ras. Kesempatan tidak akan datang dua kali, jadi apa yang bisa dilakukan sekarang lakukanlah,” ajak Adi.

Chen Huan mengatakan ia merasa bahagia selama berada di Indonesia karena semua teman-teman di kamp ini bagaikan keluarga. ”Sangat ramah, selalu memberikan senyum, memperhatikan kita bagaikan satu keluarga. Walaupun saya berbeda dari warna kulit, agama, budaya dan bahasa, tetapi saya belajar satu kata bahasa Indonesia yang mungkin melambangkan satu kesatuan di antara kita. Pepatah Cina mengatakan, berbuat jahat tidak boleh lebih dari satu orang, tetapi kalau berbuat kebajikan tidak boleh kurang satu orang pun,” terangnya.

Chen Hua juga mengharapkan agar teman-teman di Indonesia dapat terus memberikan cinta kasih dan perhatiannya kepada seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. “Bagaikan sebutir benih kacang yang kecil, apabila setiap orang memilki benih cinta kasih dan kita bisa menyebarluaskan ke seluruh dunia itu merupakan hal yang sangat baik. Banyak hal-hal yang mengharukan, tetapi kita tidak perlu menangis, kita harus terus berjalan dan sebar luaskanlah cinta kasih ke seluruh tempat di berbagai negara,” harapnya.

foto  foto

Ket : - Para santri saat menyambut relawan, guru, dan mahasiswa Taiwan dengan mempertunjukkan kesenian
           kentongan yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah. (kiri)
         - Banyak peserta kamp yang menitikkan air mata setelah menyaksikan kisah hidup para pendonor organ
           tubuh di Tzu Chi (silent mentor) dan drama musikal "Sutra Bakti Seorang Anak". (kanan)

Liu Su Mei, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, dalam kata sambutannya menerangkan, di balik berbagai perbedaan ada satu kesatuan yang sama, yaitu memiliki kebenaran, cinta kasih dan keindahan. “Tadi setelah kita melihat sutra bakti seorang anak, semoga teman-teman setelah pulang nanti bisa mengungkapkan cinta dan kasih kepada bapak dan ibu di rumah dan juga seperti kata perenungan yang mengatakan, di dunia ini ada dua hal yang tidak bisa di tunda, yaitu berbuat amal dan berbakti kepada orang tua. Oleh karena itu, selain kita harus berbakti kepada orangtua, marilah kita juga memiliki semangat untuk melakukan kebajikan,” terangnya.

Zhang Fu Mei, wakil kepala sekolah juga mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Tzu Chi Indonesia dengan mengatakan, “Sangat terima kasih kepada Tzu Chi Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada kita semua untuk melaksanakan kamp di sini. Ini merupakan sebuah kenangan yang sangat mendalam dan sangat indah di dalam hati kita masing-masing,” katanya. Zhang Fu Mei mengharapkan semoga peserta kamp dapat semakin mengetahui tujuan dari hidupnya, yakni untuk bersumbangsih kepada orang lain dan berbakti kepada orangtua.

Menuju Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman
Selesai dari acara penutupan kamp musim panas ini, para mahasiswa Universitas Tzu Chi melanjutkan acaranya dengan pergi mengunjungi Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman di Parung Bogor, Jawa Barat. Sesampainya di pesantren pada pukul 16.00, relawan Tzu Chi dan mahasiswa Taiwan disambut oleh para santri dengan mempertunjukkan kesenian dari Banyumas, yaitu musik kentongan. Habib Saggaf menerimanya dengan antusias dan langsung mengajak para relawan dan mahasiswa untuk meninjau tempat tinggal, sekolah, dan melihat kegiatan sehari-hari yang dijalankan oleh para santri. .

foto  foto

Ket : - Habib Saggaf saat mengajak relawan, guru, dan mahasiswa Tzu Chi untuk berkeliling melihat tempat
           tinggal, sekolah, dan kegiatan para santri. (kiri)
         - Habib Sagaf saat menanti kedatangan rombongan Tzu Chi. Habib juga menerangkan sistem manajemen
          yang diterapkan dan prestasi yang telah dicapai pesantrennya. Ia berpesan agar rombongan dapat
          menyampaikan rasa terima kasih dan doanya kepada Master Cheng Yen. (kanan)

Saat tiba di sekolah, kepada para tamu dari Taiwan, Habib Saggaf menerangkan bahwa sekolah ini dibangun pada tanggal 14 Mei 1998 atas bantuan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Habib Saggaf juga menerangkan sistem manajemen yang diterapkannya, jumlah siswa, tingkatan pendidikan, kurikulum pendidikan, dan prestasi yang telah dicapai oleh sekolahnya. “Buku-buku Master Cheng Yen dipelajari di sini, kita mempunyai ikatan batin dengan Tzu Chi,” kata Habib Saggaf.

Dengan kedatangan mahasiswa dari Taiwan, Habib Saggaf mengharapkan dapat memperoleh petunjuk-petunjuk yang dapat memberikan kemajuan bagi pesantren yang diasuhnya. Terakhir Habib Saggaf berpesan kepada para guru dan mahasiswa agar bila pulang ke Taiwan nanti tidak lupa untuk menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Master Cheng Yen. “Atas nama saya, atas nama anak-anak Nurul Iman mengucapkan terima kasih kami kepada Master, semoga doa kami dapat sampai pada Master Cheng Yen,” pesannya.

 

Artikel Terkait

Pohon Sengon untuk Bantul

Pohon Sengon untuk Bantul

10 Februari 2011 Tanggal 2 Februari 2011, Tzu Chi Yogyakarta bekerja sama dengan Pemda Kabupaten Bantul dan Dinas Pertanian Kabupaten Bantul, membagikan 50.000 bibit pohon sengon laut.
Membersihkan Aula Jing Si, Menyambut Keluarga Besar Tzu Chi

Membersihkan Aula Jing Si, Menyambut Keluarga Besar Tzu Chi

16 Juni 2023

Rumah yang bersih tentu menjadi idaman setiap keluarga. Demikian juga Aula Jing Si di Tzu Chi Center yang merupakan rumah batin insan Tzu Chi. Selama dua hari, insan Tzu Chi bergotong royong membersihkan sisi demi sisi Aula Jing Si untuk menyambut para dokter yang akan menghadiri TIMA Global Forum 2023.

Secercah Cahaya yang Memberi Harapan

Secercah Cahaya yang Memberi Harapan

16 Januari 2019

Pagi yang cerah di hari Senin, 7 Januari 2019, ayunan puluhan sekop pasir menandai dimulainya pembangunan Cetiya Dharma Agung di Lembaga Pemasyarakatan  Kelas IIB Tebing Tinggi. Peletakan batu pertama yang diiringi doa banyak orang khususnya warga binaan  umat Buddha di Lapas Kelas IIB dilakukan dengan khidmat.

Bekerja untuk hidup sangatlah menderita; hidup untuk bekerja amatlah menyenangkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -