Kisah Abelia, Jantung Hati Keluarga yang Kini Berdetak Sempurna

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari, Dok. He Qi Barat 1
Dokter Aditya Agita Sembiring, Sp.JP (K), dokter Jantung Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita bertemu kembali dengan Abelia dan ayah-ibunya (15/5/25) kala memeriksakan kondisi pasca operasi pemasangan alat pacu jantung.

Kadang, kekuatan terbesar datang dari tubuh paling kecil. Seperti kisah Abelia, atau akrab disapa Abel, seorang anak perempuan berusia 11 tahun yang sejak lahir harus berjuang dengan kelainan jantung bawaan. Tapi tak usah membayangkan kisah ini sedih dan muram, justru sebaliknya. Ini kisah optimisme orang tua yang penuh kesabaran, keteguhan hati, dan juga dukungan cinta kasih yang datang dari arah yang tak terduga.

Abel lahir dengan kondisi Tricuspid Atresia, sebuah penyakit jantung bawaan yang menjadi kelainan langka. Di mana dari 1.000 kelahiran, hanya ada 2 penyakit bawaan ini. Kelainan ini membuat salah satu katup jantungnya tidak terbentuk sempurna mengakibatkan yang lainnya menjadi mengecil hingga darah bersih dan darah kotor bercampur. Kondisi ini memicu bibir dan kukunya membiru dan tubuhnya kekurangan oksigen. Karena itu, sejak usianya tiga hari, Abel sudah dirujuk ke Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Di sana, perjalanan panjangnya dimulai.

Dokter Aditya Agita Sembiring, Sp.JP (K), dokter Jantung di RS Harapan Kita menjelaskan perawatan Abel harus melalui tiga tahap operasi besar: BT-Shunt (Blalock-Taussig Shunt) dilakukan tahun 2016. Lalu, di tahun 2020, setelah melewati tantangan pandemi dan antrean panjang, ia menjalani tahap kedua, yakni BCPS (Bidirectional Cavopulmonary Shunt). Dan akhirnya di April 2025, tahap ketiga yang paling krusial berhasil dilakukan: operasi Fontan, yang membuat jantungnya hanya mengalirkan darah bersih.

Abelia dan ibunya, bersama Hermin Kusuma (kiri) dan Suherman (kanan), relawan Tzu Chi komunitas He Qi Barat 1 yang mengunjungi dan mendampingi perjalanan Abel, pasca menjalani operasi.

Setiap tahap membutuhkan waktu, kesabaran, dan kesiapan mental dari orang tua. "Yang paling berat itu bukan fisik, tapi mental," ujar Haprizal Aaman, ayah Abel. “Tapi saya dan istri sepakat, kita jalani saja. Ngeluh nggak akan menyelesaikan apa-apa.”

Pasca operasi terakhirnya, muncul satu tantangan baru yang mana irama jantung Abel terganggu yang menyebabkan detak nadinya jadi lambat, tidak secepat orang normal. Hal ini berbahaya karena bisa menyebabkan pingsan sewaktu waktu sebab otaknya tidak cukup menerima aliran darah. Saat itu dokter menyarankan agar Abel dipasang alat pacu jantung permanen jenis dual chamber (dua ruang), yang lebih aman dan tidak membatasi gerak. Keluarganya sudah pasti terpukul. Estimasi biayanya mencapai Rp55.000.000,-. Sebuah angka yang sangat besar untuk keluarga dengan penghasilan terbatas.

Selama ini Haprizal bekerja sebagai petugas quality control di perusahaan pakan ternak dengan penghasilan kurang dari UMR di Jakarta. Sementara itu ibu Abel tidak bekerja dan sepenuhnya mengurus rumah tangga dan ketiga anak mereka, termasuk Abel sebagai anak sulung.

Abel menjalani pemeriksaan ekokardiografi untuk memeriksa dan memastikan fungsi jantungnya berjalan dengan normal dan sempurna pasca menjalani operasi.

Tapi jalinan jodoh baik datang tepat waktu. Dokter menyarankan keluarga untuk berkonsultasi dengan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang hadir sebagai perpanjangan harapan banyak pasien lainnya. Dengan relawan yang cepat tanggap, bantuan pun mengalir. Dalam waktu kurang dari dua minggu sejak pengajuan, kabar bahagia datang: biaya operasi dan alat pacu jantung Abel akan sepenuhnya ditanggung.

“Pas denger kabar itu, saya dan istri langsung nangis,” cerita Haprizal dengan mata berkaca, “nggak tahu lagi harus gimana kalau nggak ada bantuan itu.”

Tak hanya keluarga Haprizal, bahkan relawan Tzu Chi pun ikut lega dan bersukacita dengan kabar bahagia yang datang tersebut.

“Sebelumnya Pak Rizal sudah bersedia untuk berkontribusi di alat pacu jantung ini karena beliau bercerita ada tabungan untuk pengobatan Abel, tapi Alhamdulillah pengajuan biaya alat pacu jantung ini ternyata full ditanggung yayasan,” jelas Hermin Kusuma, relawan Tzu Chi komunitas He Qi Barat 1, pendamping Abel dan keluarga. “Jadi uang tabungan yang sudah terkumpul bisa dialokasikan untuk kontrol kesehatan Abel ke depannya. Karena proses perawatan dan kontrol kan tidak berhenti di sini,” imbuhnya.

Kondisi Abel yang makin membaik dari hari ke hari membuat relawan juga bersyukur dan bersukacita. Kini anak 11 tahun tersebut sudah bisa diajak bercanda dan bergembira bersama.

Dari sana operasi pun berjalan lancar dan alat pacu jantung permanen berhasil dipasang. Yang lebih menggembirakan lagi, jenis alat yang digunakan hemat daya, diperkirakan bisa bertahan hingga 10 hingga 15 tahun ke depan tanpa perlu penggantian baterai. "Itu juga salah satu keajaiban," ujar dr. Adit, dokter spesialis jantung yang menangani Abel sejak 2016. “Banyak pasien yang alat pacunya harus diganti dalam 3 hingga 5 tahun. Tapi Abel ini luar biasa. Semoga bisa dijaga dengan baik.”

Kini, Abel bisa beraktivitas seperti anak-anak lain. Oksigennya stabil, wajahnya cerah, dan senyumnya sering kali muncul saat bercanda dengan adik-adiknya. Kadang malu-malu, tapi semangatnya tidak kalah dari anak-anak seusianya Dan walaupun masih harus mengonsumsi obat seumur hidup, dia sudah melangkah jauh lebih ringan dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tak hanya di rumah sakit, relawan Tzu Chi komunitas He Qi Barat selalu memberikan pendampingan dan melakukan kunjungan kasih ke rumah Abel di daerah Kalideres, Jakarta Barat.

Relawan pun percaya, Abel akan tumbuh menjadi anak yang luar biasa, mungkin suatu hari nanti bisa menjadi dokter jantung anak seperti yang didoakan oleh dr. Aditya. Karena kalau ada yang tahu bagaimana rasanya menghadapi sakit dan tetap kuat, itulah Abel.

"Kalau sekarang, yang penting dia sehat, bisa nemenin saya sampai tua," kata Haprizal sambil menatap anak perempuan pertamanya dengan senyum lega. "Harapan saya, dia jadi anak yang solehah dan kuat. Itu aja cukup."

Editor: Hadi Pranoto

Artikel Terkait

Mengasihi Opa dan Oma Sepenuh Hati

Mengasihi Opa dan Oma Sepenuh Hati

31 Maret 2015
Para relawan Tzu Chi dalam setiap kunjungan kasih selalu berbaur mendekatkan diri kepada opa dan oma. Mereka selalu diajak berbicara maupun bercerita agar hati mereka menjadi nyaman. Misalnya saja Opa Yusuf. Pada hari itu, opa yang sudah berumur 72 tahun.
Menggengam Setiap Kesempatan untuk Belajar

Menggengam Setiap Kesempatan untuk Belajar

24 April 2018

Rombongan relawan Tzu Chi dari Binjai, Sumatera Utara melakukan kunjungan kasih didampingi relawan Tzu Chi komunitas He Qi Timur ke Tanjung Priok, Jakarta Utara (23/04). Adapun kunjungan ini merupakan pembelajaran bagi relawan tentang bagaimana menjalankan misi amal Tzu Chi.

Belajar dari Kehidupan Orang Lain

Belajar dari Kehidupan Orang Lain

17 Maret 2015 “Kita memang harus bersyukur dan belajar dari pengalaman orang lain,” pungkas relawan Tzu Chi lainnya, Luciana. Hal ini seperti dalam Kata Perenungan Master Cheng Yen: “Hanya dengan mengenal puas dan tahu bersyukur, kehidupan manusia baru bisa berbahagia.”
Genggamlah kesempatan untuk berbuat kebajikan. Jangan menunggu sehingga terlambat untuk melakukannya!
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -