Menanti Celengan Bambu

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 

foto
Seorang pelanggan memasukkan uang kedalam celengan bambu. Kepada para pelanggannya Akuang mulai mensosialisasikan tentang celengan bambu Tzu Chi .

Malam menjelang pagi masih berselimutkan dingin, tapi Akuang dan Lisdawati istrinya sudah terbangun mempersiapkan barang dagangan. Sebagai penjual bubur ayam, setiap harinya Akuang harus bangun sejak pukul 2 dini hari untuk memasak. Berdagang bubur ayam sudah dikerjakan oleh Akuang sejak tahun 2007. Awalnya Akuang  yang kelahiran Bangka, menjalani usaha jual dan servis sepeda. Namun karena terbatasnya modal, usaha itu ia hentikan dan Akuang  memutuskan untuk membawa keluarganya pulang ke Bangka dan mengerjakan apa pun yang bisa menghasilkan uang.

Kenyataannya selama tiga tahun di Bangka, kehidupan Akuang tak juga membaik, sampai akhirnya sang istri meminta Akuang untuk kembali ke Tangerang dan memulai sesuatu dari lembaran yang baru. Di Tangerang inilah Akuang mulai mempelajari cara membuat bubur dari seorang saudara istrinya. Dimulai dari setengah liter beras untuk di jadikan bubur, kini dalam sehari sedikitnya Akuang bisa menghabiskan 3 kg beras.

Sekarang dagangan Akuang terbilang sudah laris dan kehidupan Akuang pun sudah membaik. Tapi yang tak berubah dari Akuang dan istrinya adalah jiwa sosialnya. Semenjak dagangannya mulai laris Akuang dan Lisdawati selalu berharap bisa melakukan sesuatu untuk amal. Maka di tahun 2008, ketika ia sedang berbelanja ke subuah toko di daerah Dadap, Jakarta Barat ia melihat sebuah celengan bambu yang mengundang pertanyaan yang diletakan di depan etalase toko. Dengan penuh penasaran ia langsung bertanya kepada si pemilik toko. Penjelasan dari si pemilik toko ternyata telah menggugah hati Akuang – hatinya terpanggil untuk beramal ke Tzu Chi. Maka pada hari itu kepada si pemilik toko ia memesan sebuah celengan bambu Tzu Chi. Namun setelah lama menanti celengan itu pun belum kunjung datang, sampai tahun pun berganti tahun. Maka keinginan Akuang untuk beramal pun tetap ia jalankan dengan beramal ke tempat-tempat ibadah.

Sampai suatu kali di tahun 2014 Lisdawati menonton siaran DAAI TV. Lisda yang gemar menyaksikan drama kehidupan dan kisah-kisah inspirasi relawan Tzu Chi, melihat sosok relawan yang wajahnya tak asing baginya. Setelah mengingat-ingat ia baru sadar kalau relawan itu adalah langganannya yang biasa makan bubur di pagi hari. Maka Lisda segera menceritakannya kepada Akuang. Namun karena Akuang belum pernah melihat sosok relawan itu di televisi, ia pun sulit untuk menentukan pelangganan mana yang dimaksud oleh istrinya. Akhirnya dengan kebulatan tekad, Lisda yang biasanya jarang ikut berjualan bubur, ikut berdagang dengan harapan ia bisa bertemu dengan relawan itu. 

foto   foto

Keterangan :

  • Dua buah celengan yang diterima oleh Akuang, salah satunya ia letakkan di gerobak dagangannya (kiri).
  • Setelah enam tahun menanti celengan akhirnya Akuang bertemu dengan Hok Chun dan keinginan bersumbangsih di celengan bambu pun tercapai (kanan).

Setelah beberapa waktu menanti jodoh itu pun sampai. Hok Chun relawan yang dimaksud oleh Lisda datang untuk membeli bubur tanpa ayam. Dan seketika itu pula Lisda langsung menyapanya, “Setelah koko itu memesan bubur tanpa ayam, saya semakin yakin kalo koko ini benar anggota Tzu Chi. saya langsung Tanya,” katanya mengenang. Hari itu Lisda langsung bertanya apakah benar Hok Chun seorang relawan Tzu Chi dan Lisda pun langsung mengutarakan niatnya untuk memiliki celengan bambu. “Sudah lama kita ingin ikut bersumbangsih di celengan bambu Tzu Chi, tapi jodohnya belum masak,” kata Akuang sambil melayani para pelanggan. 

Kini setelah enam tahun menanti akhirnya jalan untuk bersumbangsih itu pun terbuka. Setelah Hok Chun memberikan dua buah celengan bambu (satu ia taruh di rumah dan satunya lagi ia taruh di gerobak dagangannya), Akuang juga mendaftarkan dirinya sebagai donatur bulanan. Bahkan esok harinya Akuang kembali menghubungi Hok Chun untuk meminta empat buah celengan bambu yang akan ia berikan kepada saudara-saudaranya. Menurut Akuang, bersumbangsih telah membuatnya merasa bahagia, merasa memiliki arti, dan satu-satunya cara untuk berucap bersyukur. “Sulit saya katakana, tapi dari hati saya memang ingin bersumbangsih. Saya merasa bahagia dengan bersumbangsih dan merasa bersyukur,”  kata Akuang.

  
 

Artikel Terkait

Mempelajari Nilai Kehidupan dari Sebuah Batu

Mempelajari Nilai Kehidupan dari Sebuah Batu

18 Januari 2024

Relawan Tzu Chi komunitas He Qi Pusat (Xie Li Bogor) mengadakan kegiatan bedah buku dengan tema Nilai Sebuah Batu yang diambil dari tayangan Master Cheng Yen Bercerita.

Wujud Cinta Kasih Lewat Bantuan Sepatu

Wujud Cinta Kasih Lewat Bantuan Sepatu

02 September 2022

Pada 18 Agustus 2022, relawan Tzu Chi Surabaya memberikan bantuan sepatu bagi siswa dan guru Madrasah Ibtidaiyah Babul Huda, Wonosalam.

Membantu Tugas Relawan Pemerhati RS dan Tim Medis Lewat Pelatihan Paliatif

Membantu Tugas Relawan Pemerhati RS dan Tim Medis Lewat Pelatihan Paliatif

11 Juli 2022

Workshop Perawatan Paliatif yang diselenggarakan Tzu Chi Hospital sejak bulan Mei-Juli 2022 telah sampai di sesi terakhir pada 8 Juli 2022. Pelatihan ini diikuti 53 peserta yang terdiri dari relawan Tzu Chi dan tenaga medis Tzu Chi Hospital.

Cara kita berterima kasih dan membalas budi baik bumi adalah dengan tetap bertekad melestarikan lingkungan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -