Menanti Selama 14 Tahun

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto dan Anand
 

foto Masir (kiri) bersama kakak kandungnya setelah menjalani proses screening. Setelah mendapatkan berita Tzu Chi mengadakan pengobatan Katarak, kakaknya Masir langsung mendaftarkan adiknya sebagai pasien .

Di masa kecil Masir adalah sosok yang penuh keceriaan. Ia lahir di Kabupaten Kubu Padi Hulu, Pontianak, Kalimantan Barat. Ayah dan ibunya berasal dari Pulau Madura. Ayah Masir yang bernama Arsilan bekerrja sebagai buruh demikian pula dengan ibunya Punisa. Sedari dulu, kehidupan Arsilan dan Punisa sudahlah susah. Untuk mendapatkan makan sehari, Arsilan harus membanting tulang, bekerja sebagai buruh tani. Kendati demikian, Masir yang terlahir di sebuah kampung yang minus tak pernah merasakan kurangnya kasih sayang dan hak bermainnya. 

Setiap siang, setiap kali berkumpul dengan teman-temannya, Masir gemar sekali bermain perang-perangan dengan menggunakan ketapel. Menggunakan cabang kayu sebagai senjatanya dan biji buah atau tanah liat sebagai peluru, anak-anak di kampung itu sudah siap melakukan pertempuran. Mereka saling berlari, saling bidik, dan kemudian saling menembakkan peluru. Tapi musibah tentu tak dapat diduga, saat pertempuran sedang berlangsung mata sebelah kiri Masir tiba-tiba terkena peluru ketapel. Bukan main pedihnya saat itu, hingga air mata pun mengalir tanpa terbendung. Dan karena situasi semakin berbahaya, permainan pun dihentikan. Temannya yang tak sengaja melepaskan peluru ke arah matanya pun langsung meminta maaf dan memohon agar Masir tak mengadu kepada orang tuanya. Maka atas dasar kesetiakawanan Masir mengiyakan permohonan kawannya itu.

Setelah beberapa hari menahan sakit, kejanggalan pun mulai muncul. Perlahan-lahan penglihatan sebelah kiri Masir menjadi kabur. Kendati demikian ia tetap tak berani mengadu kepada orang tuanya. Baginya menyelamatkan persahabatan adalah jauh lebih penting dari pada mempermasalahkan ganti rugi. Semakin lama ia diamkan, penglihatannya pun semakin kabur. Sampai berita dari seorang tetanggalah, Arsilan dan Punisa baru tahu putranya tak bisa melihat yang disebabkan oleh ketapel. Di saat itu ketabahan Masir kembali teruji. Ia tak hanya berani menerima keadaan, tapi juga ikhlas untuk tak menuntut balas karena setia pada perjanjian. “Biarlah, ini juga karena tak sengaja,” kata Masir mengulang perkataannya dulu. Melihat ketabahan dan keikhlasan Masir, akhirnya orang tuanya pun menjadi ikhlas menerima kecelakaan ini. Dan hari-hari Masir pun mulai diisi dengan pandangan yang  tak jelas.
 
14 Tahun Berlalu
Kini Masir sudah berusia dua puluh tahun. Berarti empat belas tahun sudah ia menjalani hidup dengan mata satu. Semua ia jalankan dengan biasa, tanpa mengeluh dan tanpa rasa minder. Bahkan selama bersekolah di pesantren, Masir aktif di kegiatan ekstrakulikuler. Ia aktif di pengajian dan juga aktif di marching band.  Ia bercita-cita ingin menjadi pegawai swasta. Memiliki penghasilan yang bagus, menyokong kehidupan orang tuanya dan memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Makanya selama bersekolah di asrama Pesantren Darun Nasyiim, Masir sangat rajin belajar.  Di saat ada waktu luang ia gunakan untuk mengaji atau belajar. “Saya ingin jadi pegawai seperti banyak orang lain,” kata Masir.

Makanya, melihat kegigihan Masir, kakak lelakinya berusaha mencari alternatif pengobatan baginya. Hingga suatu hari, berita tentang baksos operasi Katarak dan Ptrygiun Tzu Chi seolah membuka tabir harapannya. Maka dengan segala upaya Masir didaftarkan oleh kakaknya sebagai pasien  katarak. 

Setelah menjalani seleksi, Masir pun dinyatakan boleh menjalani operasi Katarak pada hari Jumat 8 November 2013. Pada pagi hari, saat ia mendaftarkan kembali dirinya di meja pendaftaran, semangatnya terlihat menggebu-gebu. Menggebu karena keinginannya untuk sembuh, dan berkobar-kobar karena semangatnya ingin mengejar cita-cita sebagai pegawai kantoran.

Satu hari berikutnya setelah operasi selesai dilaksanakan, mata Masir kembali diperiksa oleh tim medis. Saat itulah, menjadi momen terindah bagi Masir. Selama empat belas tahun ia tak bisa melihat menggunakan mata kiri, kini bagaikan bermimpi ia kembali bisa melihat cahaya dan benda-benda menggunakan kedua matanya. Raut wajahnya pun menjadi ceria. Makanya Masir berikrar, setelah pulih ia akan berziarah ke Keraton Pontianak. Di tempat itu, ia akan membaca surat Yasin sebanyak tiga kali, dan di tempat itu pula ia akan mengumandangkan tentang cinta kasih. Sebab ia bisa sembuh karena adanya cinta kasih yang menembus perbedaan. “Saya akan nazar membaca Yasin dan bercerita tentang kebaikan Tzu Chi,” katanya dengan logat Melayu.

  
 
 

Artikel Terkait

Berjuang Menaklukkan Kanker Sembari Bersumbangsih

Berjuang Menaklukkan Kanker Sembari Bersumbangsih

30 September 2016
Di tengah perjuangannya untuk sembuh dari kanker usus, Aliong mulai bersumbangsih. Pada 9 Agustus 2016, untuk pertama kalinya ia menyetorkan sumbangannya ke Tzu Chi. Aliong mengaku merasakan kebahagiaan dari bersumbangsih.
Suara Kasih : Keluarga Besar yang Harmonis

Suara Kasih : Keluarga Besar yang Harmonis

23 April 2010

Kita semua hidup di bawah langit yang sama dan berpijak di atas bumi yang sama. Kita semua adalah keluarga. Janganlah kita membeda-bedakan suku. Kita semua yang tinggal di kompleks Perumahan Cinta Kasih ini adalah merupakan satu keluarga besar.

Membantu Korban Kebakaran di Sungai Lakam

Membantu Korban Kebakaran di Sungai Lakam

18 April 2022

Pada Selasa, 12 April 2022, relawan Tzu Chi Tanjung Balai Karimun memberikan bantuan bagi korban kebakaran di Sungai Lakam, Kabupaten Karimun. Bantuan yang diberikan berupa sembako, 1 unit penanak nasi, dan uang pemerhati.

Bertambahnya satu orang baik di dalam masyarakat, akan menambah sebuah karma kebajikan di dunia.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -