Nizmah Nur Alisa (berbaju hitam) menjadi pengajar di kelas keterampilan yang diadakan di rumah singgah Tzu Chi, di Rusun Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng. Dalam kelas ini, Nizmah mengajarkan cara merangkai manik-manik menjadi berbagai aksesori, salah satunya gantungan HP.
Siang itu, sinar matahari menerangi ruang demi ruang rumah singgah Tzu Chi di Rusun Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng. Di lantai, di lorong blok, mangkuk-mangkuk kecil berisi manik-manik warna pastel tertata rapi. Ukurannya beragam, ada yang bulat kecil 6 mm, 8 mm, sampai 10 mm. Warna dan bentuknya juga cantik-cantik, ada yang bening berkilau, ada juga yang bentuknya hati, kepala beruang, dan banyak lagi.
Beberapa ibu-ibu, keluarga pasien duduk bersama, jemari mereka sibuk memungut satu per satu manik lalu menyelipkannya ke benang. Sesekali terdengar tawa ketika ada manik yang terjatuh dan menggelinding sampai ke sudut tangga.
Nizmah Nur Alisa (16) berada di antara ibu-ibu itu. Ia adalah pengajar kelas keterampilan kali ini dan sedang sibuk mengajari mereka bagaimana merangkai manik-manik dengan raut wajah fokus. Tak lama kemudian, ia mengangkat rangkaian manik-manik yang sedang dibuatnya, lalu menunjukkannya kepada ‘murid-murid’ barunya. Dengan gerakan tangan yang tenang, ia mengajarkan cara memilih warna yang pas, menyeimbangkan ukuran, dan mengikat simpul terakhir agar tidak mudah lepas.
“Kalau kebanyakan yang besar, nanti kurang cantik. Buat aja yang sederhana tapi rapi, itu bagus,” ujar Leni, ibu Nizmah yang duduk di sebelah, membantu menyampaikan arahan sang putri kepada peserta.
Pada kelas pertama, karya para peserta masih lucu-lucu bentuknya, ada yang warnanya terlalu ramai, ada yang polanya bolong-bolong. Tapi tidak ada yang merasa minder. Lalu terdengar komentar motivasi, “Ayo ayo semangat buibuk, kalau Nizmah bisa, kita juga bisa.” Semua tertawa.
Yully Kusnadi, Dept Head Bakti Amal Tzu Chi, menyambut antusias karya buatan Nizmah dan para pendamping pasien. Nantinya, hasil penjualan dari karya kelas keterampilan ini akan didonasikan kembali untuk mendukung kegiatan sosial Tzu Chi.
Kelas kerajinan ini baru dua kali diadakan oleh tim Bakti Amal Tzu Chi dan keduanya diisi oleh Nizmah, seorang penerima bantuan yang juga survivor kanker. Yully Kusnadi, Dept Head Bakti Amal menuturkan bahwa nantinya kelas ini akan rutin diadakan yang tujuannya tak hanya untuk mengisi waktu kosong, tapi juga membangun kreativitas dan kemandirian para pasien maupun keluarganya yang berada di rumah singgah Tzu Chi.
“Kami percaya bahwa setiap pasien dan keluarga yang singgah di sini perlu pulang dengan lebih dari sekadar kabar sembuh, tapi juga punya keterampilan baru yang bisa dipakai di rumah, bahkan mungkin nanti bisa jadi sumber penghasilan,” ujarnya.
Karena itu, materi yang diajarkan selalu praktis. Dua kelas pertama adalah kelas merangkai manik-manik. Kelas selanjutnya akan diagendakan dengan kelas merajut, sampai nanti ada juga kelas memasak menu utama, atau membuat kue basah. Modalnya murah, bahan mudah didapat, dan hasilnya punya nilai jual.
Bagi Yully, keterampilan ini adalah bekal pulang yang berharga. “Bulan depan kita mau coba kelas merajut dan bikin kue. Pokoknya sesuatu yang sederhana tapi bermanfaat,” katanya senang.
Dari Hobi jadi Pundi-Pundi
Seperti Nizmah yang sudah merasakan manfaat dari keterampilan yang dia miliki, yakni merangkai manik-manik yang bahasa umumnya meronce. Begitulah yang Tzu Chi inginkan, agar keluarga pasien lain juga merasakan manfaat serupa.
Di tangan Nizmah, manik-manik itu dibuat menjadi cincin, gelang, gantungan kunci, juga gantungan HP. Keterampilan ini bukanlah bawaan yang langsung bisa dan ahli, tapi ia juga belajar pelan dan otodidak.
Nizmah dan ibunya, Leni, memperlihatkan gantungan HP hasil buatan mereka. Selain cantik sebagai aksesori, karya ini juga menjadi simbol kekuatan dan semangat mereka dalam menghadapi ujian hidup.
Hobi Nizmah bermula pada awal tahun 2023. Saat itu, ia sedang mencari hiburan di tengah masa pemulihan setelah operasi pengangkatan rahang akibat kanker mulut. Ia menemukan video TikTok tentang membuat gelang dan cincin dari manik-manik. Iseng, ia ingin mencoba.
“Awalnya saya pikir, nanti juga bosan,” kenang Leni sambil tersenyum, “karena dulu pertama sekali ya minta dibelikan manik-manik itu. Kalau cepat bosan kan rugi ya, karena harga manik-manik itu juga lumayan.”
Tapi ternyata Nizmah tidak berhenti. Hari demi hari, jemarinya merangkai manik berwarna-warni. Di rumah singgah di Bandung, ia kemudian menggantung hasil karyanya yang ternyata disukai dan dibeli oleh mahasiswa maupun relawan yang berkunjung ke sana. Wahhh… Nizmah pun makin semangat berkreasi karena hobinya ternyata punya nilai jual.
Dari sana kemudian semakin banyak yang memesan custom, ada yang mau dibuatkan seharga 15 ribu saja, 20 ribu, dan sebagainya. Nizmah sendiri mematok harga ronceannya dengan murah, hanya 25 ribu rupiah untuk gantungan hp, yang sejauh ini paling laris dipesan.
Uang hasil penjualan pun lumayan menghibur hatinya, bahkan bisa ia gunakan untuk membantu merenovasi rumah, membeli kasurnya sendiri, lemari baju, membeli HP pribadi, juga membelikan HP untuk sang ayah yang bekerja sebagai satpam.
“Ayahnya sampai nangis waktu dibelikan HP,” cerita Leni bangga.
Terapi Lewat Hobi
Kebanggaan Leni tak begitu saja tercipta, tapi dengan melihat sang anak yang sudah berjuang sampai sejauh ini, ia tak bisa memungkiri besarnya rasa bangga itu ada di hatinya. Nizmah sudah melalui sangat banyak perawatan dan tindakan medis, bahkan pernah juga menerima vonis usianya hanya tinggal tiga bulan saja.
“Tapi alhamdullilah sampai sekarang masih ada sama kami, bahkan dia menjadi lebih dari yang kami harapkan dan doakan,” kata Leni bahagia.
Kebahagiaan itu memang lahir dari rangkaian ujian yang tak ringan. Tahun 2022 lalu semua terasa berat untuk Leni dan keluarga. Sakit gigi Nizmah yang awalnya dianggap sepele ternyata membesar menjadi tumor ganas. Leni yang bekerja menjadi TKW di Dubai terpaksa harus pulang untuk merawat Nizmah. Setelah divonis adanya tumor ganas, Nizmah menjalani 27 kali radioterapi, lima operasi besar, dan kemoterapi berkali-kali.
Selain gantungan HP, peserta kelas juga membuat aksesori lain seperti cincin dan gelang dari manik-manik. Semua dibuat dengan kreativitas dan ketelatenan, menghasilkan karya yang menarik dan bernilai jual.
Leni masih ingat masa itu. “Tumornya cepat sekali membesar, sampai keluar mulut. Mental kami kena banget. Takutnya anak nggak kuat,” kenangnya sambil tersenyum getir.
Karena penyakit itu, rahang bawahnya diangkat dan membuat Nizmah tak lagi bisa mengucapkan kata dengan jelas. Untuk memperlancar jalur pernapasan, dipasanglah sebuah selang trakeostomi di lehernya. Walaupun sempat drop. Tapi ia berhasil menyalakan lagi semangatnya. Membalikkan keadaan dari terpuruk menjadi pribadi lebih kuat lewat meronce.
Hobinya meronce pun seakan menjadi terapi untuknya. Hobi dan keterampilan ini membunuh rasa sakit, mengikis rasa malu, dan mengatasi ketakutannya. Kini Nizmah menjadi pribadi yang percaya diri penuh semangat karena bisa berdaya seperti teman-temannya. Nizmah bahkan sudah menjadi guru yang mengajari orang lain keterampilan serupa. Nizmah pun telah menjadi wiraswasta yang sedang membangun bisnisnya.
Semua pencapaian itu bukan datang dalam sekejap, tapi dirangkai perlahan dari titik terendah, dengan kesabaran dan kekuatan yang tumbuh seiring waktu.
Kisah Nizmah seperti sebutir manik yang tampak sederhana, yang ketika dirangkai, ia menjelma menjadi karya yang indah dan bermakna. Begitulah yang kini ia rasakan setelah melalui berbagai proses dalam hidup Nizmah. Potongan-potongan kecil itu bukan hanya berisi luka dan kesakitan, tapi juga kebahagiaan, cinta, dukungan, motivasi, semangat, dan harapan. Semuanya berpadu menjadi kisah yang utuh, indah dan menginspirasi.
Semoga kisah perjuangan Nizmah ini dapat menjadi inspirasi bagi siapa saja yang tengah menghadapi tantangan berat dalam hidupnya. Bahwa dari kepingan kecil yang tampak rapuh, kita semua bisa merangkai kekuatan dan harapan untuk menjadi pribadi yang lebih tangguh dan bermakna karena seperti kata Master Cheng Yen: setiap orang punya potensi yang tak terhingga.
Editor:Fikhri Fathoni