Pembagian Beras di Tanjung Priok: Membantu Sesama Tanpa Sekat dan Pembeda

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari
doc tzu chi
Seorang penerima beras tersenyum bahagia menerima beras cinta kasih Tzu Chi. Relawan Tzu Chi komunitas He Qi Timur bekerja sama dengan Gereja St. Fransiskus Xaverius menggelar pembagian beras kepada warga di sekitar gereja yang berlokasi di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Yayasan Buddha Tzu Chi bekerja sama dengan Gereja St. Fransiskus Xaverius yang berlokasi di Tanjung Priok, Jakarta Utara menggelar pembagian beras cinta kasih pada Senin, 24 April 2017. Momentum Paskah yang diperingati umat Nasrani sepekan sebelumnya, dijadikan relawan Tzu Chi beserta Paroki Gereja St. Fransiskus Xaverius sebagai momentum untuk berbagi tanpa mengenal sekat perbedaan.

Pembagian beras yang dilakukan di halaman gereja dimulai sejak pagi sekitar pukul 08.00 WIB. Sebelumnya warga sudah berkumpul menunggu kegiatan dibuka. Antusias warga begitu terlihat pasalnya warga yang mendapatkan beras cinta kasih Tzu Chi merupakan warga yang benar-benar membutuhkan. Sebanyak 1.193 paket beras cinta kasih berhasil dibagikan kepada warga hari itu. Sebelumnya, pada Sabtu, 22 April 2017 lalu, relawan telah terlebih dulu melakukan survei sekaligus membagikan kupon beras kepada warga di sekitar Tanjung Priok, Koja, dan Rawa Badak.

Pembagian beras secara simbolik dilakukan oleh relawan beserta Paroki Gereja St. Fransiskus Xaverius. Hari itu, Senin 24 April 2017, ada sebanyak 1.193 paket beras cinta kasih berhasil dibagikan kepada warga.


Romo Antonius Wiwit Subagyo, CM., Romo Paroki Gereja St. Fransiskus Xaverius (baju biru bergaris) turut serta berpartisipasi dalam pembagian beras. Ia berbahagia bisa menjadi bagian dalam kegiatan pembagian beras.


Relawan membungkuk seraya berterima kasih kepada setiap warga yang telah menerima beras. Hal tersebut adalah wujud syukur dari relawan karena para penerima bantuan telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbuat kebaikan.

“Di wilayah ini ada banyak warga yang kurang mampu, yang kurang perhatian kami (Yayasan Buddha Tzu Chi). Sejauh ini kami memang fokus ke Cilincing, namun setelah melihat wilayah di sini, ternyata juga banyak orang yang perlu kami pedulikan,” jelas Johan Kohar, relawan Tzu Chi sekaligus PIC pembagian beras.

Menjadikan Tuhan Sebagai Sumber Kekuatan

Salah satu warga yang mendapatkan beras cinta kasih Tzu Chi adalah Santi, ibu tiga anak yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Ia datang sekitar pukul 9 pagi dan langsung menempatkan diri di antrean pengambilan beras. Ia juga mengajak anak pertamanya, Ling ling untuk ikut menemaninya. Ia beralasan tidak hafal jalan untuk pulang sehingga mengajak si sulung.


Santi bersyukur bisa menerima beras dari Tzu Chi. Ia berterima kasih kepada Tuhan dan seluruh relawan yang telah memberikan mereka bantuan.

Santi sehari-hari bekerja sebagai seorang pemulung. Pekerjaan itu sudah ia lakoni tujuh tahun lamanya setelah ia dipecat dari pekerjaan sebelumnya sebagai pegawai konveksi. Wanita berusia 35 tahun tersebut pun memutuskan untuk meninggalkan suaminya karena perlakuan kasar yang selalu ia terima. Karena kondisi badan yang tidak mendukung, ia akhirnya melakukan apa yang ia bisa untuk bertahan dan menghidupi anak-anaknya dengan mengumpulkan sampah.

Setiap anak-anaknya sekolah, Santi menyempatkan diri keliling untuk mencari sampah plastik atau kardus di dekat kontrakannya. Ia akan pulang sesuai jadwal sekolah anaknya yang paling kecil. Malam hari, ketika anak sulungnya sudah selesai belajar, ia kembali bergegas memulung sampah. Tidak banyak waktu yang ia gunakan untuk memulung sampah pasalnya ia juga harus melakukan pekerjaan rumah tangga dan menjaga ketiga anaknya.

Santi mengeluarkan biaya 350 ribu per bulan untuk membayar sepetak kontrakannya, sedangkan biaya lain-lain selalu membuatnya pontang-panting. Pendapatannya tak seberapa, paling banyak 30 ribu per hari. Itupun apabila ia memperoleh sampah di atas rata-rata yang mampu ia kumpulkan. “Kalau sekarang ya 15 sampai 20 ribu mampunya,” ucap Santi.


Di kontrakan sepetaknya, Santi bergegas memasak beras yang baru saja ia terima.


Sehari-hari, Santi menggantungkan diri pada sampah. Ia bekerja sebagai pemulung untuk menghidupi dirinya dan ketiga anaknya.

Jauh dalam lubuk hati Santi, ia ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik. Minimal ia dan anak-anaknya tidak kekurangan beras. Ia pun bersyukur karena kerap menerima sumbangan beras dari gereja di dekat rumahnya. “Kalau udah punya beras kan tinggal nyari (uang) buat ongkos anak-anak dan lauk,” katanya. Ia pun senang sekaligus tidak menyangka ketika relawan datang ke rumahnya dan memberikan kupon beras.

“Belum lama saya berdoa kepada Tuhan untuk mencukupkan kehidupan saya dan anak-anak, sekarang sudah terkabul melalui beras dari yayasan (Tzu Chi),” timpal Santi. Ia bersyukur karena Tuhan selalu baik kepada umatnya dan mengabulkan doa-doa walaupun tidak secara instan. Ia juga berterima kasih kepada Tzu Chi karena memberikan perhatian tanpa melihat perbedaan. “(Saya bersyukur) karena masih banyak orang lain yang lebih kesulitan dibanding saya, jadi saya pegangannya sama Tuhan. Yakinlah bahwa semua kesulitan pasti ada jalan keluarnya dari Tuhan, semua beban pasti ada kemudahan dari Tuhan,” imbuhnya.

Membangkitkan Semangat Tanpa Membeda-bedakan

Di akhir kegiatan, relawan Tzu Chi komunitas He Qi Timur pun menyempatkan diri untuk mendatangi rumah warga di daerah Warakas, Jakarta Utara. Di sana relawan membawakan beras untuk warga yang tidak bisa hadir dalam pembagian beras. “Ada tiga warga yang kebetulan sudah tua dan sakit yang tidak bisa datang, kita antarkan ke rumahnya langsung,” tutur Johan.


Oma Daeni yang tidak menyangka relawan akan mengunjunginya sekaligus membawakannya beras. Kondisi kaki yang mulai lemah membuatnya tidak mampu meninggalkan rumah.

Satu di antara mereka adalah Oma Daeni yang tidak menyangka akan dikunjungi relawan Tzu Chi yang sekaligus membawakannya beras. “Bersyukur, terima kasih kepada Tuhan karena masih ada yang perhatian kepada Oma. Semoga semuanya sehat selalu,” doanya untuk relawan. Kondisi kaki yang mulai lemah membuatnya tidak mampu meninggalkan rumah. Beruntung anak bungsunya selalu menjaga kondisi oma.

Rm. Antonius Wiwit Subagyo, CM., Romo Paroki Gereja St. Fransiskus Xaverius pun mengaku bahagia dan bersyukur usai melihat sekaligus berpartisipasi dalam pembagian beras. Ia melihat kegiatan ini melawan arus di masyarakat di mana perbedaan begitu digembar-gemborkan. “Di sini kita memberi nuansa bahwa perbedaan agama itu bukan penghalang bagi kita. Kita justru bisa disatukan oleh kasih. Kasih yang menyatukan kita hari ini. Itu sangat indah sekali,” tegas Romo Wiwit. “Saya sungguh bahagia bisa terlibat dalam pembagian beras ini,” tambahnya.

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Johan Kohar. Ia merasa kegiatan yang dibangun dengan toleransi dan perbedaan ini memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa hidup ini sangat beragam. “Master Cheng Yen selalu mengingatkan kita untuk tidak melihat sekat-sekat tersebut dalam berbagi cinta kasih pada sesama,” ucap relawan Tzu Chi komunitas He Qi Timur ini. Ia pun berharap bahwa momen Paskah yang merupakan momen kebangkitan tuhan Yesus dapat membangkitkan pula semangat relawan untuk berbagi kasih kepada sesama tanpa melihat perbedaan.

Editor: Arimami Suryo A.


Artikel Terkait

Penyakit dalam diri manusia, 30 persen adalah rasa sakit pada fisiknya, 70 persen lainnya adalah penderitaan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -