Peringatan Waisak: Bersatu Hati Berdoa

Jurnalis : Erli Tan (He Qi Utara), Fotografer : Feranika Ho, Erli Tan, Henry Tando (He Qi Utara)

Tanggal 10 Mei 2015, ribuan orang mengikuti Peringatan Waisak di Tzu Chi Jakarta. Para peserta ini ada yang berasal vihara-vihara dan sekolah-sekolah Buddhis di Jakarta, Tangerang, Bogor dan sekitarnya.

 

Tanggal 5 April 2015, relawan Tzu Chi untuk pertama kalinya datang ke Vihara Hemadhiro, Penjaringan, Jakarta Utara untuk mensosialisasikan dan mengajak umat di vihara tersebut bergabung dalam barisan Waisak Tzu Chi. Tanggal 19 April 2015 relawan kembali datang untuk mengadakan latihan prosesi Waisak. Nuria Sulastri (48) atau yang biasa dipanggil Astrid, adalah salah seorang umat dan juga merupakan pengurus dan asisten pandita. Ia mengajak rekan-rekan se-viharanya untuk bergabung dalam barisan Waisak ini. Alhasil, terdapat 25 orang yang mendaftar, termasuk putri Astrid yang masih sekolah. Bergabungnya mereka dalam barisan ini, selain ikut berdoa, juga ingin mengetahui dan belajar lebih jauh mengenai tata cara Waisak di Tzu Chi. Astrid menyatakan rasa bangga dan sangat berkesan karena bisa bergabung dalam barisan ini. Setelah latihan prosesi Waisak dan gladi resik di Tzu Chi Center tanggal 3 Mei lalu, wanita asal Cilacap ini pun menghimbau teman-temannya agar tidak mundur, harus sukses sampai hari H. “Tadi hampir (ada yang mundur), cuma karena alasan tetangga ada yang meninggal (melayat), oke gak apa, tapi akhirnya keburu juga, jadi tidak ada yang batal,” ungkapnya penuh syukur.

Meskipun ada beberapa halangan, seluruh peserta dari Vihara Hemadhiro yang telah mendaftar akhirnya tetap dapat mengikuti prosesi Waisak.

 

Peserta dari Nepal

Di antara barisan Waisak juga ada Juni (34), putri dari salah satu relawan komite Tzu Chi. Bersama mama, abang, kakak ipar, dan keponakan, berlima mereka menjadi peserta barisan Waisak. Juni adalah anak bungsu Nanni Shijie yang biasa dipanggil Xiuhua Shijie. Juni sudah tinggal di Nepal selama 2 tahun. Gempa Nepal tanggal 25 April 2015 lalu yang kuat, membuat dirinya cukup terpukul. Seminggu setelah gempa, ia pun pulang ke Jakarta berhubung kondisi di Nepal belum stabil. Di Nepal, ia belajar agama Buddha dan bahasa (Bahasa Sanskrit dan Tibet) di Ranjung Yeshe Institute, Kathmandu. Saat terjadi gempa di Nepal, beruntung ia tidak mengalami luka apapun. Daerah tempat tinggalnya di Kathmandu berada di daerah yang cenderung lebih maju dan memiliki bangunan yang lebih kokoh sehingga hanya sedikit mengalami kerusakan. Karena kondisi yang tidak stabil dan semua kegiatan otomatis terhenti, untuk sementara ia memilih pulang ke Jakarta.

 

Juni, salah seorang peserta yang merupakan anak bungsu seorang relawan Tzu Chi pulang dari Nepal setelah terjadi gempa. Maka tahun ini ia pun berjodoh mengikuti prosesi Waisak di Tzu Chi Jakarta.

Juni mengungkapkan bahwa biasanya suasana Waisak di Nepal sangat ramai, karena di sana terdapat banyak tempat-tempat suci agama Buddha. “Perayaan Waisak di Nepal, warga di sana lebih banyak pergi ke tempat-tempat suci, ada yang jam 2 pagi sudah mulai menjalankan ritual Waisak, mengelilingi stupa. Niat mereka untuk keliling stupa sangat besar, jadi kalau jam 7 sudah ramai sekali, jalan pun susah.” Bagi Juni, meskipun cara memperingati Waisak di Nepal dan tatacara Tzu Chi berbeda, namun pada dasarnya sama-sama memiliki nilai positif, “Keduanya ada sisi positifnya, di Tzu Chi dengan berbaris sehingga lebih rapi, terlihat lebih bagus, sehingga orang yang melihat bisa terinspirasi. Kalau di Nepal juga ada sisi positifnya, karena orang datang dengan keinginannya yang kuat, rata-rata mereka datang pagi-pagi sekali ke tempat suci,” ungkapnya. 

Sesuai dengan tema “Doa Jutaan Insan” Juni memanjatkan doa pada Waisak ini, “Untuk saat ini doa untuk korban-korban gempa di Nepal, dan orang-orang lain juga di dunia ini yang sedang kesulitan.” Bagi Juni bisa selamat dari bencana gempa berkekuatan besar di Nepal merupakan sebuah berkah. Ia menyadari bila bencana datang maka sudah tiada memandang tua atau muda. Banyak orang muda yang menganggap waktunya masih banyak, menurutnya, pemikiran itu sangatlah keliru. Karena itu, ia makin menyadari pentingnya menghargai dan mempergunakan waktu hidupnya dengan sebaik mungkin.


Artikel Terkait

Menggunakan kekerasan hanya akan membesarkan masalah. Hati yang tenang dan sikap yang ramah baru benar-benar dapat menyelesaikan masalah.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -