Relawan Pemerhati: Menjadi Relawan yang Melayani dan Serba Bisa

Jurnalis : Metta Wulandari, Khusnul Khotimah, Fotografer : Metta Wulandari, Mery Hasan (He Qi Barat 2)

Laksmi Widyastuti menyiapkan menu makanan bagi para pasien di ruang Medical Check-up dan sesekali mengelap meja yang selesai digunakan.

Kesibukan di Tzu Chi Hospital terhitung sudah lengang ketika Laksmi Widyastuti berkeliling dari lobby lantai 1 ke ruang Medical Check-up di lantai 6. Tidak seperti pagi hari tadi dimana Laksmi sudah aktif mondar-mandir membantu menyiapkan dan menyuguhkan menu makanan bagi para pasien yang sudah menjadwalkan diri untuk melakukan Medical Check-up. Di waktu-waktu tanggung ini, dia sengaja berkeliling untuk melihat apa ada hal lain yang bisa ia kerjakan.

“Iya, ini baru jam segini (10.00 WIB) aja, sudah ada enam ribu langkah,” katanya ramah sambil melihat jam pintar di tangannya yang mempunyai fitur penghitung langkah. Dari ribuan langkah itu, bisa dibayangkan betapa sibuknya Laksmi di hari itu.

Sejak pagi, Laksmi sudah berganti-ganti tugas, di lobby menyambut pasien, ke lantai 2 di Poli, lantai 6 di MCU, dan menyempatkan mampir ke lantai 3 di kebidanan untuk menata Buku Kata Perenungan Master Cheng Yen. Sementara itu di MCU dia melayani pasien dan juga mengelap meja. Apa saja yang dibutuhkan, ia datang.

Memang, Laksmi adalah seorang relawan Komite Tzu Chi yang juga bersedia menjadi relawan pemerhati atau relawan pendamping di Tzu Chi Hospital. Tapi Laksmi juga adalah seorang pensiunan dokter gigi.

Dokter Laksmi, begitu orang-orang dekatnya memanggil, sudah praktik dokter gigi di Puskesmas Sleman, Yogykarta di tahun 1983. Lalu ia pindah ke Jakarta di tahun 1985 dan pada bulan Oktober di tahun yang sama, ia mulai berpraktik di klinik DPR RI Senayan hingga tahun 2016. Di sana ia sempat menjabat sebagai Kasubag Pelayanan Kesehatan dan Kepala Bagian Pelayanan Kesehatan. Di tahun 2016, Laksmi dilantik menjadi Ketua Pokja IV – tim penggerak PKK Pusat, tapi tak lama ia memutuskan untuk pensiun. Namun begitu, di tahun 2020, masih di bawah DPR RI, Laksmi ditunjuk menjadi staf ahli bidang teknologi dan di tahun 2021 berganti menjadi staf ahli bidang kesehatan sampai dengan sekarang.

“Ya kenapa kalau saya mengelap meja di sini?” tanya Laksmi dengan sedikit tawa ketika disinggung dengan berbagai jabatan yang pernah diembannya. “Saya kan di rumah juga bersih-bersih, lap meja, nyapu. Sama lho sama ibu-ibu yang lain,” jawabnya renyah. Selain itu, Laksmi juga enggan dipanggil dokter, bahkan oleh orang yang sudah lama mengenalnya ketika berkeliling di Tzu Chi Hospital. “Sudah, jangan panggil dokter yaa. Nggak ada yang tahu kalau saya dokter di sini. Panggil aja Shijie atau Shigu,” ucapnya lirih.

Ketika memutuskan untuk menjadi relawan, anggota Tzu Chi International Medical Association (TIMA) Indonesia ini sudah paham betul apa saja tugasnya. Gampangnya: apa saja, ayok! Ya ikut baksos, ya ikut sosialisasi, ya ikut mengisi seminar kesehatan, tak pernah ditolak karena semua bermuara pada kebajikan. Sehingga ketika Tzu Chi Hospital dibuka, drg. Laksmi yang sudah perlahan meninggalkan kesibukan kerjanya, mencari wadah lain untuk memperkaya batinnya.

Penyambung Lidah
Saat berkeliling ruangan, Laksmi biasa memeriksa tugas apa yang bisa ia lakukan sekaligus menyapa para tenaga kesehatan yang sedang bertugas.

Di Tzu Chi Hospital, Laksmi bukan hanya sebagai relawan, namun ia juga menerima tanggung jawab sebagai Wakil Koordinator Relawan Pemerhati. Saat ini terdaftar 270 relawan pemerhati, namun belum semuanya bertugas karena waktu dan berbagai hal lainnya. Laksmi menjelaskan, untuk menjadi relawan pemerhati itu memang sudah relawan yang terpilih, sudah disaring karena ada beberapa kriteria, dan mengikuti berbagai pelatihan hingga siap membantu memberikan pelayanan untuk pasien

“Jadi setelah relawan mendaftar, lalu ikut training yang mencakup pengetahuan tentang rumah sakit: mulai gedungnya, training kesehatan seperti cara memberikan CPR (cardiopulmonary resuscitation) atau bantuan pacu jantung, membantu pasien dari mobil, mendorong kursi roda, membuka kursi roda, cara pakainya seperti apa,” papar Laksmi, “Training ini sangat detil dan kami semua mendapatkan pengajaran itu langsung dari para dokter dan perawat karena semua relawan di sini kan umum.”

Dari berbagai materi dalam trining, Laksmi juga menjelaskan tentang berbagi tugas yang diemban oleh para relawan. Yang paling utama adalah menjadi jembatan antara pihak pasien dan rumah sakit. Seperti contohnya apabila ada pasien yang memberikan kritik dan saran, relawan bisa menampungnya dan kemudian menyampaikannya kepada pihak manajemen. Sehingga mereka sama-sama saling membantu dengan tujuan bisa mencapai pelayanan yang maksimal.

“Apalagi Tzu Chi Hospital ini kan masih baru ya, jadi masukan dan pertanyaan dari para pasien juga banyak. Semua kami layani dan sebisa mungkin kami bantu,” kata Laksmi.

Belajar Proses Kehidupan dari Rumah Sakit

Di bagian lobby, Laksmi dan relawan lain biasa menyambut dan membantu mengarahkan pasien sesuai dengan kebutuhannya.

Bagi Laksmi sebenarnya menjadi relawan pendamping ini mengingatkannya untuk selalu bersyukur telah dikaruniai nikmat berupa kesehatan. Itu pula yang kerap ia katakana pada relawan lain. Di rumah sakit megah ini, relawan memang kerap melihat mobil mewah yang datang silih berganti, namun mereka yang ada di dalamnya ternyata sedang kesakitan. Rasa syukur dengan kondisi tubuh yang masih sehat membuat relawan semakin semangat dalam melayani.

Laksmi juga mengingat, Master Cheng Yen pernah menuturkan bahwa rumah sakit adalah tempat belajar nilai kehidupan yang sesungguhnya. Di rumah sakit lah, seseorang bisa melihat proses kehidupan: ada lahir, sakit, tua, dan meninggal. Itu pula yang menjadi pengingat baginya untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dengan berbuat kebajikan.

“Ada satu Kata Perenungan Master Cheng Yen yang membuat saya mantap menjadi relawan: Kita ini seperti naik kereta api ekspress yang setiap hari pemandangannya, kejadiannya berubah dan kita tidak tahu kita akan turun di stasiun mana. Karena itu satu-satunya jalan yang bisa kita perbuat adalah berbuat baik kepada sesama penumpang,” ingat Laksmi, “Sampai saat ini saya sangat memegang itu padahal itu sudah saya baca di Gramedia sebelum saya menjadi relawan Tzu Chi, dari buku Teladan Cinta Kasih tapi kalimat itu sangat mengena di hati saya.”

Berusaha Mengatasi Satu per Satu Kendala
 

Bersama relawan pemerhati lainnya, Laksmi menyapa pasien dan keluarganya yang selesai melakukan pemeriksaan.

Dalam satu pekan, Laksmi biasa datang menjadi relawan pemerhati sebanyak empat hari. Ia juga bergantian dengan relawan lainnya dari berbagai komunitas di Jakarta dan sekitarnya untuk piket. Biasa relawan lainnya piket satu atau dua kali dalam sepekan.

Kendala yang paling terasa adalah masalah transportasi. Pasalnya relawan tersebar di seluruh bagian Jakarta dan sekitarnya yang apabila jam-jam tertentu selalu terkendala jalanan yang padat atau macet. Ada pula yang tidak memiliki kendaraan pribadi hingga apabila naik angkutan umum, waktu perjalanannya bisa berkali lipat lamanya. “Kalau ada kendaraan pribadi, relawan bisa lewat jalan Toll. Makanya kami menyiasatinya dengan membuat jadwal piket untuk satu komunitas dalam satu hari. Jadi mereka bisa pergi sama-sama,” papar Laksmi.

Tapi tak jarang relawan tetap datang walaupun teman satu komunitasnya berhalangan. Mereka juga lebih sering memilih menggunakan taksi untuk menghemat waktu, walaupun untuk biaya pasti lebih mahal. “Sampai ada sopir taksi yang pernah bertanya, ‘Lho kok mau sih, Bu? Ibu dibayar berapa?’” kata Laksmi sambil tergelak setelah menjawab relawan sama sekali tidak dibayar. Mereka menggunakan hati untuk melayani.

Melayani Pasien dengan Cinta Kasih dan Penuh Ketulusan

Dokter Gunawan Susanto, Direktur Utama Tzu Chi Hospital yang juga ahli bedah syaraf saat mengganti perban di kepala Pak Riyanto.

Hasil dari menggunakan hati untuk melayani ini yang dirasakan salah satunya oleh Riyanto, (66) warga Kelurahan Dadap, Tangerang yang begitu terkesan dengan pelayanan yang diberikan Tzu Chi Hospital PIK. Akhir Maret 2022 lalu ia dalam kondisi kritis di otaknya. Yang jika tak segera dioperasi berakibat fatal, yakni kematian. Saat itu ia datang ke IGD Tzu Chi Hospital PIK pada hari libur, yakni hari Minggu dengan diantar sang cucu. Tanpa Ba- Bi- Bu, Riyanto langsung dilayani oleh Dokter Gunawan Susanto, Direktur Utama Tzu Chi Hospital yang juga ahli bedah syaraf.

Alisa sang cucu saat itu sempat panik, khawatir, karena tak yakin dapat membayar biaya operasi. Bahkan sang kakek hanya punya kartu BPJS jenis PBI (Penerima Bantuan Iuran). Namun tim Tzu Chi Hospital sama sekali tak mempermasalahkan itu dan bisa memahami kondisi mereka. Yang terpenting adalah keselamatan Pak Riyanto.

“Itu sebenarnya ada sesuatu di otak, yang menekan otak. Dan kalau tekanan itu tidak dilepaskan, pasiennya akan meninggal. Sesuatunya ini dikeluarkan. Itu operasinya begitu,” jelas Dokter Gunawan.

Operasi pun berjalan lancar. Setelah operasi Pak Riyanto menjalani rawat inap selama lima hari. “Dokter sangat mengerti seorang pasien itu bagaimana. Saya masyarakat kecil ini, seorang dokter bisa menghargai kita, perasaan kita bagaimana sih,” kata Pak Riyanto terharu. Ini merupakan kali pertama Pak Riyanto berobat di Tzu Chi Hospital PIK.

Dua bulan sebelumnya Pak Riyanto yang seorang karyawan bagian sales mengalami kecelakaan, ia yang saat itu tengah mengendarai motor tertabrak mobil. Ia sempat tak sadar beberapa menit. Seorang teman membawanya ke sebuah rumah sakit terdekat. Karena diminta tes MRI, tes darah dan tes lainnya ia pun urung. Dan karena merasa tidak ada luka serius, ia pun kembali ke rumahnya. Pak Riyanto sendiri tak tinggal bersama keluarganya. Ia tinggal bersama teman-teman satu pekerjaan.

Dua bulan setelah tertabrak mobil tersebut, Pak Riyanto mulai merasakan kliyengan atau pening serta pusing. Sampai suatu hari saat mengendarai motor, ia pun terjatuh. Kepalanya tersungkur ke tanah. Tak lama ia juga jatuh di kamar mandi. Keluarganya lalu membawanya ke rumah sakit untuk CT Scan di sebuah rumah sakit swasta. Sayangnya rumah sakit yang mereka tuju tak bekerja sama dengan BPJS, sehingga mereka mesti membayar.

Pak Riyanto dan keluarganya sangat terkesan dengan pelayanan Tzu Chi Hospital PIK.

Keluarga Pak Riyanto dengan cepat-cepat mencari informasi rumah sakit mana yang sekiranya dapat menerima dan melayani Pak Riyanto. Mereka pun membawa Pak Riyanto ke Tzu Chi Hospital PIK.

“Saya sangat berterima kasih. Tidak bisa ngomong lagi. Semoga Tuhan bisa membantu dokter. Kalau kita kan manusia biasa. Mau bagaimana lagi. Hanya bisa mendoakan untuk dokter dan suster-suster di sini. Pelayanan semua baik dan ramah sekali,” kata Pak Riyanto berkaca-kaca. Kalimatnya sempat tercekat, karena besar rasa syukurnya.

Kisah Pak Riyanto belum selesai sampai di sini. Selepas rawat inap, Pak Riyanto pun diperbolehkan pulang. Namun dua hari setelahnya ia mesti datang kembali untuk untuk ganti perban, sekaligus pembersihan jahitan. Masalahnya, BPJS baru bisa mengeluarkan surat kontrol untuk Pak Riyanto setelah empat hari ia pulang dari rumah sakit. Kalau menunggu sampai empat hari untuk ganti perban, itu berbahaya.

Lagi-lagi, Tzu Chi Hospital tak mempermasalahkan biayanya. Ia pun dipersilahkan datang untuk ganti perban dan tak perlu membayar sepeser pun. Dokter Gunawan yang hari itu sebenarnya libur, datang di hari Sabtu tersebut untuk mengganti perban Pak Riyanto.

Pak Riyanto datang ditemani Jenny, anak sulungnya.

“Ya, sudah bagus ini,” ujar Dokter Gunawan kepada Pak Riyanto setelah penggantian perban.

“Terima kasih banyak loh dokter, enggak tahu bagaimana kalau tidak ada dokter,” tutur Jenny.

“Iya..,” jawab Dokter Gunawan lembut.

Bagi Dokter Gunawan, layanan yang ia berikan merupakan perwujudan dari Visi dan Misi Tzu Chi.

“Itu memang Visinya Tzu Chi. Tzu Chi mendirikan rumah sakit ini tujuannya untuk menolong pasien-pasien supaya bisa tertangani sebaik mungkin, seprofesional mungkin,” terang Dokter Gunawan.

Tak hanya kondisi kesehatan Pak Riyanto yang berangsur membaik, Pak Riyanto juga mendapatkan inspirasi tentang arti sebuah ketulusan.

“Kalau seandainya ada masalah kesehatan saya akan ke sini lagi. Luar biasa (pelayanannya),” pungkasnya.

Editor: Arimami Suryo A.

Artikel Terkait

Menjadi Relawan Pemerhati Rumah Sakit dengan Sepenuh Hati

Menjadi Relawan Pemerhati Rumah Sakit dengan Sepenuh Hati

14 Desember 2020
Waktu berlalu begitu cepat. Bulan Desember ini, tepatnya Minggu, 6 Desember 2020 merupakan pelatihan keempat relawan pemerhati Tzu Chi Hospital dan masih diselenggarkan melalui aplikasi Zoom.  
Menggenggam Waktu yang Ada

Menggenggam Waktu yang Ada

14 Januari 2022
"Saya berharap semua orang dapat bersungguh hati dan menggenggam setiap waktu. Jangan sia-siakan sedetik pun.” Pesan tersebut selalu diingat Meidiana yang sedang bertugas sebagai Relawan Pemerhati di Rumah Sakit Cinta Kasih (RSCK) Cengkareng.
Membantu Tugas Relawan Pemerhati RS dan Tim Medis Lewat Pelatihan Paliatif

Membantu Tugas Relawan Pemerhati RS dan Tim Medis Lewat Pelatihan Paliatif

11 Juli 2022

Workshop Perawatan Paliatif yang diselenggarakan Tzu Chi Hospital sejak bulan Mei-Juli 2022 telah sampai di sesi terakhir pada 8 Juli 2022. Pelatihan ini diikuti 53 peserta yang terdiri dari relawan Tzu Chi dan tenaga medis Tzu Chi Hospital.

Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -