Rifki Masih Butuh Bimbingan

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Veronika Usha
 
foto

Lokasi sekolah dengan tempat tinggal Rifki tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Hari itu, Jumat 26 Juni, Nasturoh mendampingi Rifki untuk mengambil rapor.

Sekitar bulan Agustus tahun 2007, suatu pagi ketika Nasturoh memandikan Rifki, ia menemukan sebuah benjolan, berupa tulang yang menyembul ke atas di punggung Rifki. Sambil menggosokkan sabun di punggung Rifki, Nasturoh berkata, “Diem ntar juga baekan.” Nasturoh mengiranya hanya sebuah benjolan biasa. Tetapi lama-kelamaan postur tubuh Rifki terlihat makin tidak normal, badannya terlihat miring, melengkung ke kiri. Salah satu tetangganya berpendapat kepada Nasturoh mungkin Rifki pernah terjatuh dan menyarankan kepada Nasturoh agar Rifki dibawa ke ahli tulang untuk diurut.

Sebelum dibawa ke ahli patah tulang, Nasturoh dengan baik-baik bertanya kepada Rifki, “Ki, bilang aja terus terang, ga diomelin. Apa Rifki pernah jatuh? Akhirnya Rifki pun mengaku kalau ia pernah terjatuh dari panggung sewaktu ada orkes dangdut tiga bulan yang lalu. Ia terjatuh sewaktu berebutan uang saweran bersama teman-temannya. Menurutnya, ia terjatuh dengan posisi terlentang menindih tangga besi yang ada di bawah panggung. Tulang rusuk sebelah kiri adalah bagian yang tepat terkena tangga besi saat ia terjatuh. Saat itu nafasnya menjadi sesak dan badannya terasa pegal, tetapi ia tidak mau berterus terang kepada kakek neneknya karena takut dimarahi.

Dari keterangan Rifki, akhirnya Nasturoh membawa Rifki berobat ke ahli patah tulang. Tetapi setelah diperiksa ternyata ahli patah tulang ini menyatakan tidak sanggup untuk mengobati Rifki, karena tulang punggung Rifki yang bengkok sudah keras, jadi sulit untuk diperbaiki. Karena terbatasnya pengetahuan dan dana, pengobatan Rifki pun tidak dilanjutkan lagi oleh Nasturoh. Keadaan ini justru membuat kondisi kesehatan Rifki semakin memburuk. Suatu pagi ketika Rifki bangun tidur, ia sudah tidak dapat lagi menggerakkan lutut kirinya. Seluruh kaki kirinya menjadi lemah lunglai dan tidak bisa lagi dikoordinasikan.

Karena Rifki sudah merasa sulit untuk berjalan, akhirnya Madrosah menjadi rutin mengantar dan menjemput Rifki sekolah. Tidak beberapa lama kaki kanannya juga menjadi lemas dan tidak dapat digerakkan. Keadaan Rifki kali ini benar-benar membuat Rifki terlihat lumpuh. Badannya menjadi lemas, ia hanya bisa duduk dan berbaring. Itu pun dengan bantuan orang lain. Rifki terpaksa berhenti sekolah, karena kondisi fisiknya yang sudah tidak lagi memungkinkan bagi Rifki untuk beraktifitas secara normal.

Sampai pada awal tahun 2008, Anisa bibi Rifki dari pihak ibu, merasa iba melihat kondisi Rifki yang demikian buruk, dan langsung membawa Rifki untuk periksa ke Rumah Sakit Fatmawati. Saat di rumah sakit, Anisa bercerita panjang lebar tentang keadaan keluarga Rifki yang berasal dari keluarga tidak mampu kepada dokter yang menangani rifki. Akhirnya dokter tersebut menyarankan kepada Anisa untuk mengajukan bantuan ke Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang berkantor di ITC Mangga Dua.

foto  foto

Ket : - Nasturoh dan Rifki saat sedang menunggu giliran menerima rapor evaluasi belajar Rifki selama satu tahun
           di SDN Grogol Selatan, Kebayoran Lama. (kiri)
         - Siti Asfiyah, waki kelas Rifki di kelas III, menerangkan kepada Nasturoh kalau perkembangan belajar Rifki
           masih belum maksimal dan perlu bimbingan yang lebih mendalam. (kanan)

Dari informasi yang didapat, Anisa bergegas mendatangi Yayasan Tzu Chi di Mangga Dua. Tidak berapa lama setelah Anisa mendaftarkan Rifki dan melampirkan semua persyaratan sebagai pemohon bantuan pengobatan, pada 8 April 2008, Ferdianto Tjai, relawan He Qi Selatan datang mengunjungi rumah Rifki untuk mensurvei.

Beberapa minggu kemudian, Santi, staf bantuan pengobatan khusus Tzu Chi menghubungi keluarga Rifki. Santi memberitahukan bahwa Rifki sudah bisa dibawa berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan bertemu dengan relawan Tzu Chi di instalasi gawat darurat.

Esok harinya, Anisa, Madrosah, dan Nasturoh mengantar Rifki berobat ke RSCM. Di sana mereka langsung bertemu Hok Cun, relawan Tzu Chi. Hok Cun yang menerima Rifki langsung membawanya ke spesialis bedah ortopedi. Dokter spesialis ortopedi lalu menyarankan agar dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk Rifki, yang meliputi pemeriksaan darah, pemeriksaan Magnetic Resonace Imaging (MRI), tes mantuk, dan ronsen torak. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diketahui bahwa Rifki menderita TBC tulang dan TBC paru. Penyembuhannya harus melalui operasi untuk TBC tulang, sedangkan TBC paru bisa disembuhkan dengan pengobatan. Maka dokter spesialis ortopedi menyarankan kepada Hok Cun agar Rifki dibawa konsultasi ke spesialis anak, spesialis paru, dan spesialis anastesi.

Setelah pemeriksaan dan konsultasi dari berbagai ahli berjalan dengan baik, maka tibalah waktunya Rifki dioperasi. Menjelang dioperasi, Hok Cun menyempatkan diri untuk menghibur Rifki, dan Rifki bertanya kepadanya, “Ko Acun kalo seandainya saya abis operasi, menurut Ko Acun, saya tuh bisa berjalan lagi ga?” “Kalo kamu ada semangat dan keyakinan itu bisa terjadi,” jelas Hok Cun membesarkan hati.

Setelah dioperasi dan 2 bulan dirawat di rumah sakit, akhirnya Rifki dinyatakan sembuh. Pengobatannya bisa dilanjutkan dengan berobat jalan. Ekspresi bahagia langsung terpancar dari wajah Madrosah, Nasturoh, dan terutama Rifki. Ia sangat senang setelah mengetahui dirinya telah sembuh dan bisa kembali berjalan. Karena harapannya setelah ia bisa berjalan adalah ia bisa kembali bermain layangan dan bersekolah.

foto  foto

Ket : - Siti Asfiyah, meminta Rifki untuk mempraktikkan membacanya di depan Nasturoh. Siti bermaksud
           menunjukkan kepada Nasturoh bahwa kemampuan membaca Rifki masih belum lancar. (kiri)
         - Pendidikan yang tidak tinggi dan tidak memiliki keahlian membuat Madrosah hanya mampu menekuni
           pekerjaan sebagai buruh jahit dengan penghasilan yang tidak besar. Karena terbatasnya pengetahuan pula
           membuat Madrosah tidak dapat memberikan bimbingan belajar. (kanan)

Ditinggal Orangtua
Pada tahun 1999, saat Rifki berusia 7 bulan, Sariatun, ibu kandung Rifki, tiba-tiba menderita sesak nafas. Dikiranya masuk angin, Nasturoh segera mengerok dan memijat tubuh menantunya itu. Beberapa hari berikutnya Sariatun mulai merasakan mual dan sering muntah-muntah. Melihat kondisi menantunya yang semakin tidak baik, Nasturoh segera membawa Sariatun untuk berobat ke puskesmas. Menurut dokter Sariatun menderita sakit asma.

Obat yang diberikan oleh dokter di puskesmas ternyata tidak bisa dikonsumsi oleh Sariatun. Setiap kali ia meminum obat, tubuhnya langsung menolaknya, sehingga apa yang dimakan akan dikeluarkan kembali menjadi muntah. Kondisi ini berlangsung selama 4 hari lamanya, sampai di hari ke-7, Sariatun sambil menangis memohon kepada Nasturoh dan Madrosah untuk membawanya berobat ke rumah sakit yang besar. Sebenarnya Nasturoh masih ragu untuk membawa menantunya ke rumah sakit yang besar mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk uang muka dan pengobatannya yang tidak sedikit. Tetapi karena Sariatun merengek-rengek memohonnya, akhirnya mereka pun bersedia membawa Sariatun ke RS Fatmawati.

Sebelum berangkat ke rumah sakit, Sariatun meminta kepada Nasturoh dan Madrosah untuk mengeroki dan mengurutnya sekali lagi. Setelah selesai diurut, Sariatun berkata kepada Nasturoh, “Mak, nanti kalo saya ada apa-apa, tolong urusin anak saya.” “Udah jangan ngomong begitu, kaya mau ke mana aja,” balas Nasturoh. Setelah berkemas, Ramdoni suaminya dan Madrosah membawa Sariatun untuk berobat ke RS Fatmawati.

Saat Mahgrib mereka sudah tiba di sana. Setelah mendapatkan penanganan dari pihak rumah sakit, Madrosah akhirnya memberanikan diri untuk pulang, karena masih banyaknya pekerjaan yang harus ia selesaikan di rumah. Sedangkan Ramdoni tetap berada di rumah sakit menemani Sariatun.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Baru sore hari Sariatun dirawat di rumah sakit, esok harinya saat subuh, Ramdoni melalui telepon sudah memberitahukan kepada kedua orangtuanya kalau istrinya telah meninggal dunia pada pukul 4 dini hari. Madrosah dan Nasturoh menjadi tak karuan dan langsung menangis sejadi-jadinya. Pagi itu juga Madrosah langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat jenazah menantunya itu. Sesampainya di sana Sariatun sudah berada di ruang jenazah ditunggui oleh Ramdoni yang sedang menangis. Dari rumah sakit, jenazah Sariatun langsung dibawa pulang. Setelah Sholat Dzuhur, jenazah Sariatun dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Bojong.

foto  

Ket : - Sejak bayi Rifki telah dirawat oleh Nasturoh dan Madrosah. Rifki memang membutuhkan perhatian,
           bimbingan, dan kasih sayang untuk menunjang masa depannya.

Semenjak itulah Ahmad Rifki menjadi piatu yang dirawat oleh kakek-neneknya, karena waktu itu Ramdoni masih muda dan belum memiliki pekerjaan. Orangtua Sariatun yang waktu itu datang menghendaki agar Rifki dibawa ke Solo untuk dirawat olehnya. Maka setelah satu minggu kepergian Sariatun, Rifki pun dibawa ke Solo oleh orangtua Sariatun. Ramdoni juga ikut menemaninya saat itu.

Tiga bulan berikutnya Rifki kembali dibawa pulang ke Jakarta bersama Ramdoni, sebab mertuanya yang di Solo sudah tidak sanggup lagi merawat Rifki dikarenakan kesehatan yang memburuk.

Setelah diserahkan kepada kedua orangtuanya, Ramdoni mulai meninggalkan keluarga untuk merantau entah ke mana. Sejak saat itu, Madrosah dan Nasturohlah yang memberikan perawatan dan perhatian kepada Rifki. Sibuknya merawat Rifki membuat Nasturoh tidak dapat lagi bisa menjadi penjual gorengan keliling. Seluruh waktunya ia curahkan untuk mengasuh Rifki. Kini pendapatan satu-satunya keluarga ini hanya bergantung pada Madrosah yang bekerja sebagai buruh jahit. Sebagai buruh jahit, penghasilan Madrosah tidaklah besar. Seminggu ia hanya bisa memperoleh uang sebesar Rp 84.000,- dari hasil menjahit 6 kodi celana bahan.

Dengan pendapatan yang kecil sebisa mungkin kakek-nenek ini mencukupi kebutuhan hidupnya dan membesarkan Rifki. Selama bertahun-tahun Ramdoni tidak pulang. Selama bertahun-tahun itu pula Madrosah dan Nasturoh merawat Rifki hingga menyekolahkannya.

foto  

Ket : - Tidaklah berlebihan bila Rifki perlu mendapatkan bimbingan yang dapat mengarahkannya ke jalur yang tepat
           dalam membangun jiwa humanisnya.

Ketika ruangan mulai sepi, Siti memanggil Rifki dan neneknya untuk menerima rapor. Kepada Nasturoh, Siti menjelaskan bahwa perkembangan belajar Rifki kurang maksimal. Kemampuan membacanya masih belum lancar dan sering tertinggal dalam menulis. Bahkan Rifki sering tidak mengumpulkan pekerjaan rumah yang sudah diberikan. Karena itu dalam pertemuan ini Siti bermaksud menekankan agar Rifki lebih diperhatikan lagi dalam belajar di rumah. Kenaikan kelas kali ini merupakan hasil pertimbangan Siti dengan beberapa orang guru.

Kalo Rifki mau naik kelas, Rifki harus berjanji sama Ibu untuk belajar sungguh-sungguh. Hayo mau berjanji tidak sama Ibu?” tanya Siti. Rifki membalasnya dengan menganggukkan kepala sambil menjatuhkan pandangannya ke bawah. Karena Rifki telah menyatakan janjinya untuk rajin belajar dan Nasturoh juga berjanji akan lebih memperhatikan cucunya dalam belajar di rumah, akhirnya rapor Rifki diserahkan kepada Nasturoh dan Rifki dinyatakan naik kelas.

Rifki hanyalah salah satu dari sekian banyak anak yang masih perlu mendapatkan bimbingan dan perhatian untuk menunjang prestasi belajarnya. Sebab selama ini Rifki tidak diasuh oleh kedua orangtuanya. Kakek nenek yang merawatnya tidaklah berpendidikan tinggi. Pendidikan Madrosah hanya sampai kelas 5 SD, sedangkan Nasturoh tergolong sebagai wanita yang buta huruf. Kiranya tidaklah berlebihan bila Rifki perlu mendapatkan bimbingan yang dapat mengarahkannya ke jalur yang tepat dalam membangun jiwa humanisnya. Karena Rifki adalah calon generasi penerus yang perlu mendapatkan pengarahan dari kita semua.

 

Artikel Terkait

Sirkulasi Kebajikan

Sirkulasi Kebajikan

20 Maret 2019

Tzu Chi Biak bekerja sama dengan PMI Cabang Biak dan Persatuan Masyarakat Selayar (Permas) Biak mengadakan kegiatan donor darah pada Sabtu, 16 Maret 2019.

Bersatu Hati Mengurangi Bencana

Bersatu Hati Mengurangi Bencana

11 April 2011
Master Cheng Yen mengatakan, “Sudah tidak ada waktu lagi, setiap orang harus melakukan pertobatan secara mendalam.” Dengan bertobat kita dapat belajar dari kesalahan serta dapat menyucikan hati sendiri dan orang lain, dan dapat  mengurangi bencana yang terjadi.
Banjir Jakarta: Celengan Bambu Richard

Banjir Jakarta: Celengan Bambu Richard

24 Januari 2013 Tapi tidak bagi Richard Ericson, bocah berusia 8 tahun ini justru menyerahkan hasil tabungannya kepada Tzu Chi untuk membantu korban banjir di Jakarta dan sekitarnya.
Menggunakan kekerasan hanya akan membesarkan masalah. Hati yang tenang dan sikap yang ramah baru benar-benar dapat menyelesaikan masalah.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -