Rumah Mungil untuk Nenek Amlah (Bag. 1)

Jurnalis : Leo Samuel Salim (Tzu Chi Bali), Fotografer : Leo Samuel Salim (Tzu Chi Bali)
 
 

fotoSiti Amlah (kanan) yang polos dan begitu bersahaja, membuat banyak relawan tersentuh saat melakukan kunjungan kasih ke rumahnya.

Di usia senjanya, Siti Amlah (78) lebih banyak menghabiskan waktunya dengan duduk termenung, terlebih dirinya mengidap penyakit Alzheimer sehingga anggota keluarganya lebih banyak membiarkannya tetap di rumah. “Pernah, di hari raya Kuningan, saya ke Pura, pulang-pulang Dadong (nenek-red) tidak ada di rumah,“ ujar Ni Wayan Nuriani, cucu Siti Amlah. “Kami cari sepanjang jalan, ketemunya di Nusa Dua,” tambahnya.

 

Jarak antara rumah Siti Amlah ke Nusa Dua jika dilalui dengan jalan kaki dapat menghabiskan waktu satu jam lebih. Penyakit Alzheimer mulai menyerang Siti Amlah semenjak lima tahun yang lalu. Dirinya mulai melupakan beberapa rutinitas sehari-hari seperti memasak, mandi, dan perlahan-lahan lupa akan siapa saja anggota keluarganya.

“Ibu, saya minta makan ya,” itulah kata-kata yang sering diucapkan kepada Ni Wayan Nuriani jika Siti Amlah merasa lapar. “Nanti kalau nenek sehat, tau kalau saya itu cucunya,” kata Ni Wayan Nuriani. “Coba tanya, sudah mandi atau belum, pasti jawabannya sudah,” katanya kepada relawan sembari tersenyum memandang neneknya. Ni Wayan Nurniani bersama suami dan orang tuanya tinggal di rumah yang terpisah karena dalam budaya Bali, orang yang dianggap dituakan akan disediakan sebuah kamar yang terpisah dengan anggota keluarga lainnya. Maka Siti Amlah mendapatkan sebuah kamar tersendiri. Kamar ini juga bisa dikatakan sebagai rumah mungil— tempat untuk beristirahat dan menyimpan barang-barang pribadinya. Karena masalah ekonomi keluarga yang tidak begitu baik maka kamar yang dibangun hanya berupa gubuk biasa. Ada lima orang keluarga yang tinggal bersama, termasuk Siti Amlah.

foto  foto

Keterangan :

  • Canda dan tawa menghiasi suasana sehingga terasa hangatnya kekeluargaan saat kunjungan kasih ini. (kiri)
  • Melihat salah satu sisi kasur Siti Amlah berlubang, relawan pun berinisiatif untuk menjahit dan menambalnya. (kanan)

Kenangan Akan Sang Suami
“Kami dikasih tinggal di sini sampai tanah ini nantinya dijual. Kata pemiliknya nanti kalau terjual, akan dikasih sedikit hasil penjualannya,” ujar I Made Braham, anak angkat Siti Amlah. I Made Braham sendiri adalah anak dari saudara laki-laki Siti Amlah yang telah diasuhnya semenjak bayi dan telah dianggap sebagai anaknya. Pernikahannya dengan Almarhum Soepu Bin Simin tidak dianugerahi seorang anak. Sebagai istri dari seorang prajurit maka Siti Amlah harus mengikuti kemanapun suami ditugaskan. Mendiang suami Siti Amlah yang kelahiran Kupang adalah Purnawirawan Kopral Satu Kesdam XVI/Udayana yang bertugas di bagian kesehatan. Semasa suami masih aktif sebagai prajurit, terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah suatu hal yang lazim bagi mereka. “Ke Rote, Surabaya, Banyuwangi, banyak,” ingat Siti Amlah sewaktu ditanya kemana saja pernah menemani suami. Terkadang Siti Amlah dapat mengingat beberapa kenangan masa lalunya. Tetapi pada saat-saat pikirannya kembali tenggelam ke masa lalu, tak disadari air mata pun membasahi pipinya. “Ibu sayang sekali sama bapak, karena bapak juga sayang sekali dengan ibu,” ujar I Made Braham. Pesan dari mendiang suaminya untuk selalu menjalankan salat selalu teringat dalam benak Siti Amlah.

 

foto  foto

Keterangan :

  • Meski relawan bukanlah orang-orang yang ahli untuk membangun rumah, namun mereka tetap dapat bersumbangsih untuk pembangunan rumah Siti Amlah.(kiri)
  • Relawan juga membantu merapikan baju-baju Siti Amlah.(kanan)

I Made Ibraham dari kecil terus mengikuti kedua orang tua angkatnya kemanapun mereka pergi. “Tidak tetap, pindah-pindah terus. Paling lama waktu itu di Banyuwangi, 5 tahun,” kata I Made Ibraham. Meski ayahnya telah pesiun di tahun 1960, keluarga mereka masih saja berpindah-pindah. Sampai dengan tahun 1980, baru ada seorang pemilik tanah yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendirikan sebuah rumah di atas lahannya. “Kami diberi izin tinggal di sini, sekalian untuk jaga tanahnya ini,” tambahnya. Meski tanah ini sudah sempat dijual, pemilik tanah yang baru masih mengizinkan mereka tinggal di sana sampai hari ini.

Almarhum Soepo Bin Simin pensiun pada tahun 1960 di usia 55 tahun dan mendapatkan uang pensiun sebesar Rp 275.00 (saat itu-red). Dengan uang pensiun itu mereka terus berusaha untuk menyambung hidup. Sampai saat ini, di usianya yang ke-77, Siti Amlah masih mendapatkan uang pensiun suaminya. Tentu saja sekarang nominalnya telah berubah menjadi Rp 800.000. Mendiang suami Siti Amlah sangat dikenal oleh masyarakat di Desa Kedonganan karena kemurahan hatinya. Daeng Soepu, itulah panggilan masyarakat sekitar terhadapnya. “Bapak itu sering membantu orang yang sakit dan tidak mengharapkan imbalan,” kata I Made Ibraham mengenai ayahnya.

Kalau dilihat, untuk urusan pangan, seorang Siti Amlah tidak kekurangan karena masih dibantu oleh anggota keluarga lainnya, tetapi untuk memiliki rumah yang layak adalah hal yang sangat tidak mungkin baginya. Meski tidur di kamar yang sangat sederhana tersebut, Siti Amlah adalah seorang wanita yang sangat rapi. Jika kita memasuki kamarnya, semuanya sudah ditata sedemikian rupa. Meski berlantaikan tanah, tidak ada sampah yang kelihatan dan tempat tidurnya senantiasa dalam keadaan rapi. Inilah beberapa rutinitas yang masih diingat oleh Siti Amlah. Terkadang Siti Amlah dapat membantu menyapu halaman rumahnya, meskipun hanya sekedarnya. Pukul 4 pagi, Siti Amlah sudah beranjak dari kasurnya dan melakukan jalan pagi di sekitar rumahnya, inilah yang membuat Siti Amlah tetap dalam keadaan bugar.

Bersambung ke Bagian Dua.

  
 

Artikel Terkait

Peduli Merapi : Bukan Sekadar Memberi Bantuan

Peduli Merapi : Bukan Sekadar Memberi Bantuan

11 November 2010
10 November 2010, Tim Tanggap Darurat Tzu Chi yang berjumlah 7 orang dibantu 50 relawan Tzu Chi Magelang bergerak ke gudang Bulog untuk membagikan kupon yang dapat ditukarkan dengan paket bantuan. Berdasarkan data dan hasil survei, sebanyak 900 keluarga mendapatkan paket bantuan.
Suara Kasih: Hidup Sederhana

Suara Kasih: Hidup Sederhana

24 September 2011
Lenyapkanlah  ketamakan, kebencian, dan kebodohan serta hilangkanlah kesombongan. Kita harus mensyukuri dan menghargai berkah. Jika orang lain harus kenyang 100 persen, kita cukup kenyang 80 persen saja. Sisanya 20 persen dapat kita berikan pada orang-orang yang membutuhkan. Inilah yang sering saya imbau belakangan ini.
Pemberkahan yang Penuh Makna

Pemberkahan yang Penuh Makna

28 Februari 2018

Hujan yang disertai petir pada Minggu, 25 Februari 2018 tidak menyurutkan niat relawan, donatur, dan para tamu undangan untuk menghadiri acara Pemberkahan Akhir Tahun 2017. Sebanyak 300 orang tamu undangan hadir dalam acara ini.

Berbicaralah secukupnya sesuai dengan apa yang perlu disampaikan. Bila ditambah atau dikurangi, semuanya tidak bermanfaat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -