Anak-anak dari Lesotho menari sambil bernyayi lagu berjudul Gemu Fa Mi Re atau dikenal juga sebagai Maumere asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Gerakan khasnya yang berirama "ke kiri, ke kanan, ke kiri, ke kanan, manis e! menjadi lagu yang sangat mereka sukai.
Aula Jing Si Indonesia pada Senin 30 Juni 2025 terasa lebih ramai dengan berbagai kunjungan dari beberapa institusi. Di antara kunjungan itu tampak rombongan dari jauh, 19 anak dari Lesotho, Afrika Selatan, berusia 11 hingga 20 tahun. Mereka adalah anak-anak yang tinggal di panti asuhan milik Amitofo Care Center (ACC).
Mereka berkunjung untuk mengenal lebih dekat tentang budaya Tzu Chi, sebuah budaya yang berakar pada nilai cinta kasih universal, pelayanan tanpa pamrih, kedisiplinan, dan gaya hidup sederhana. Kunjungan ini diinisiasi oleh Lucy Salim, Ketua Umum Wanita Buddhis Indonesia, yang sudah mendampingi anak-anak ini sejak lama.
“Saya bawa mereka ke sini untuk pertukaran budaya. Mereka anak yatim piatu, hidup dalam kekurangan, tapi bisa dididik dan diberi keterampilan hebat,” ungkap Lucy.
Lucy sendiri pernah tinggal bersama anak-anak Amitofo Care Center (ACC) selama dua pekan di Malawi, Afrika. Pengalamannya pada tahun 2009 itu menjadi titik awal komitmennya untuk terus mendukung anak-anak ini hingga kini.

Anak-anak Next Generation yang kebanyakan dari Tzu Chi School juga menyambut anak-anak hebat dari Lesotho ini.
Mendampingi kunjungan ini adalah Vivian, relawan Tzu Chi dari He Qi PIK, yang sudah beberapa kali bertemu anak-anak ini dalam kesempatan sebelumnya.
“Kali ini istimewa, karena kami juga melibatkan anak-anak Next Generation yang kebanyakan dari Tzu Chi School. Harapannya mereka bisa belajar langsung dari semangat dan perjuangan anak-anak Afrika ini,” ujarnya.
Selain tur ke Aula Jing Si, anak-anak dari Lesotho ini juga diperkenalkan dengan misi dan visi Master Cheng Yen, serta berbagai aktivitas Tzu Chi di Indonesia dan dunia.
"Mereka sangat disiplin, mendengarkan penjelasan dengan sungguh-sungguh. Kami berharap kunjungan ini bisa memperluas wawasan dan membangun masa depan yang lebih baik bagi mereka,” tambahnya.
Melalui Tur Aula Jingsi anak-anak dari Lesotho, dapat mengenal Tzu Chi lebih dalam lagi.
Di antara rombongan itu, ada Tanki Zakaria Fanana yang kini berusia 20 tahun. Ia kehilangan orang tuanya sejak kecil dan dibesarkan oleh neneknya. Saat berusia lima tahun, kepala sekolah dari Amitofo Care Center (ACC), mengajaknya tinggal di panti asuhan ACC dan belajar di sana.
Di ACC saya belajar Mandarin, Kungfu, dan Dharma Buddha. Mandarin tulisan Taiwan itu sulit, Kungfu juga. Tapi saya terus belajar,” cerita Tanki dengan senyum.
Pada 2003, ia dikirim ke Taiwan untuk mendalami Kungfu. Ia pun kembali ke Afrika dan mulai mengajar adik-adik di panti. Kini, ia menjadi contoh nyata bahwa disiplin dan ketulusan bisa mengubah hidup.
"Saya sangat bersyukur bisa ke Tzu Chi. Saya belajar banyak hal di sini, tentang rasa syukur, menghargai sesama, dan cinta kasih yang tak memandang latar belakang,” ucapnya haru.
Tanki Zakaria Fanana, didampingi Vivian. Tanki sangat senang dapat belajar tentang nilai-nilai kemanusiaan melalui kunjungan berdurasi dua jam di Tzu Chi Indonesia.
Dalam kunjungan ini, anak-anak Lesotho tidak hanya melihat dan belajar, tapi juga tampil, menyanyi dan bahkan membawakan tarian Indonesia yang mereka pelajari dari Lucy. Tak ada rasa minder. Yang ada hanya semangat untuk terus tumbuh, terus belajar.
Beberapa dari mereka bahkan kini sedang dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke Taiwan. Mereka datang bukan sekadar sebagai tamu, tapi sebagai duta dari benua yang jauh, yang membawa pesan bahwa harapan bisa tumbuh di mana saja, dan bahwa kasih sayang tidak mengenal batas negara, warna kulit, atau bahasa.
Editor: Metta Wulandari