Secercah Harapan untuk Kadek

Jurnalis : Leo Samuel Salim (Tzu Chi Bali), Fotografer : Khimberly Wen (Tzu Chi Bali)

fotoRelawan menemani Kadek untuk memilih bingkai kacamata yang ingin dipakai nanti

 

Ni Kadek Sari Astuti adalah anak paling bungsu dari dua bersaudara. Di usianya yang kesepuluh ini, Kadek seharusnya sudah duduk di kelas 3 SD, tetapi ia sempat mengalami tidak naik kelas hingga 2 kali hingga membuatnya tertinggal dengan teman-temannya.

 

 

Pada usianya yang ke-7 tahun, I Nyoman Sugimbang, ayah Kadek meninggal karena penyakit jantung bocor yang sudah dideritanya sejak kecil. Pada waktu itu, Kadek yang masih kecil tidak bisa menerima kenyataan saat ayah yang disayanginya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. “Kadek menangis terus dan tidak mau sekolah,” ujar Ni Wayan Gelis, ibu Kadek. Pada saat itu Kadek tidak mau ke sekolah selama 3 bulan karena bersikeras kalau ia hanya mau pergi ke sekolah hanya dengan ayahnya saja. “Memang dulu, ayahnyalah yang sering mengantar Kadek ke sekolah,” tambah Ni Wayan Gelis. Karena jumlah ketidakhadiran Kadek dalam kelas yang terlalu banyak, maka kadek dinyatakan tidak dapat naik kelas.

Kadek terus mengalami tidak naik kelas hingga dua tahun. Setelah ditelusuri, diketahui jika Kadek mengalami gangguan penglihatan. Jika Kadek hendak membaca buku, jarak antara mata dengan bukunya adalah sekitar 3 sampai 4 centimeter. “Saya mengetahui kalau ada masalah dengan mata si Kadek, cuma saya tidak ada uang untuk buat kacanya (kaca mata - red),” ujar Ni Wayan Gelis dengan mata berkaca-kaca. Dari penghasilannya sebagai salah seorang staf Gardener di hotel, sulit bagi Ni Wayan Gelis untuk dapat membelikan sebuah kacamata bagi putrinya. Gaji yang tidak tergolong banyak itu harus dipergunakan untuk membayar kredit sepeda motor dan sisanya untuk keperluan sehari-hari. Sepeda motor terpaksa harus dibeli karena jarak yang jauh antara rumah dengan tempat kerjanya. Tanpa sepeda motor, maka pengeluaran Ni Wayan Gelis untuk pulang-pergi ke tempat kerjanya akan semakin membengkak.

Ibu dan kedua anaknya ini masih tinggal bersama dengan orangtua suaminya dan saudara-saudara iparnya. Meski tinggal di areal yang sama, tetapi mereka telah terpisah menjadi beberapa keluarga sehingga masing-masing keluarga harus mengurus rumah tangganya masing-masing. Menurut tradisi di Bali, apabila anak laki-laki masih tinggal bersama dengan orang tuanya- meski sudah menikah- maka anak laki-laki tersebut akan mendapatkan satu rumah terpisah dari orangtuanya. Hal ini dikarenakan tempat persembahyangan keluarga umat Hindu yang lebih dikenal dengan Pura ini harus diwariskan secara turun temurun kepada anak laki-laki yang pertama.

foto  foto

Keterangan :

  • Setelah diketahui penglihatan Kadek mengalami gangguan, relawan langsung membawa kadek untuk di periksa matanya di optik. (kiri)
  • Relawan dalam memberikan cinta kasih dilakukan dengan tulus dan penuh kasih, karena kursi untuk Kadek duduk ternyata terlalu rendah sehingga relawan memangku kadek agar posisi tubuhnya bisa cocok untuk diperiksa.(kanan)

 

Sejak ibunya mendapat pekerjaan tambahan di salah satu restoran di Jimbaran, Kadek senantiasa menuruti kata ibunya. “Setelah pulang dari hotel, saya harus siap-siap ke café (sebutan untuk restoran seafood di tepi pantai-red). Saya selalu memastikan kalau si Gede (anak laki-lakinya yang pertama-red) dan si Kadek harus mandi dan setelah itu belajar,” kata Ni Wayan Gelis. Kadek selalu menuruti kata ibunya, setelah mandi, Kadek pasti mengambil bukunya untuk dibaca. Meski Kadek mengalami kesulitan membaca, dirinya tetap saja mencoba untuk membaca. “Untung ada kakak saya yang bekerja di sana. Kalau tidak, dengan gaji yang saya dapat dari hotel, tidaklah cukup untuk membiayai hidup kami bertiga,” tambahnya. Ni Wayan Gelis harus bekerja selama hampir 17 jam sehari demi kedua anak-anaknya.

Secercah harapan pun datang menghampiri mereka, Kadek mendapat bantuan pemeriksaan mata dari relawan Tzu Chi, Kadek yang ditemani ibunya dibawa oleh relawan ke optik. Perasaan takut terus menyelimuti Kadek. Ia sempat menangis karena ia belum pernah memasuki ruangan pemeriksaan mata. Relawan pun terus menghibur dan memberi semangat. “Kadek, nanti kalau sudah bisa membaca kan Kadek bisa tambah pintar. Kadek mau kan jadi anak pintar ?” hibur relawan kepada Kadek. Setelah pemeriksaan berlanjut, diketahuilah kalau Kadek mengidap penyakit miopi (rabun jauh) yang tergolong parah. Mata kanan Kadek sudah mencapai minus (–) 9.00 dan mata kirinya mencapai minus (–) 6.00. Hal inilah yang membuatnya kesulitan untuk belajar dan membaca.

foto  foto

Keterangan :

  • Setelah mendapatkan kacamata baru, Kadek dapat memulai aktivitas belajar dengan baik dan gembira. (kiri)
  • setelah Kadek menjalani pemeriksaan di optik, relawan membawakan sebuah kacamata dan memasangkannya ke Kadek di sekolahnya SDN 8 Jimbaran(kanan)

Dikarenakan tingkat Miopi Kadek yang tergolong sangat tinggi, maka diputuskan untuk dibuatkan sebuah kacamata dengan ukuran yang tidak setinggi itu, karena kalau tidak hal tersebut akan membuat syaraf mata bertambah berat (fatal) yang dapat beresiko pada kebutaan.

Beberapa hari kemudian, relawan Tzu Chi membawakan kacamata yang telah selesai dibuat untuk Kadek. “Halo, Kadek,” sapa seorang relawan Tzu Chi Bali. Kadek yang masih berdiri di depan pelataran sekolah pun melambaikan tangannya begitu melihat relawan Tzu Chi tiba di pelataran parkir SDN 8 Jimbaran. Raut kebahagiaan langsung terpancar dari wajah Kadek, adik mungil yang sedang duduk di kelas 1 SDN 8, Jimbaran ini. Begitu tanda untuk masuk kelas berbunyi, Kadek langsung membawa kedua relawan masuk ke ruang kelasnya. Di dalam kelas, Ibu Dani, seorang guru sedang bersiap-siap untuk memulai mata pelajarannya.

“Permisi, Bu Dani. Maaf ganggu sebentar, kami membawakan kacamata untuk Ni Kadek Sari Astuti,” tutur relawan kepada Dani, guru sekaligus wali kelas yang baru ini langsung mempersilakan relawan untuk masuk ke kelas. “Ini Kadek, dicoba kaca matanya ya,” ujar relawan. Dengan bahagia Kadek mengenakan kaca matanya. Sewaktu ditanya apakah merasa pusing, Kadek menjawab tidak. Relawan pun menanyakan lagi, “Kadek, coba lihat papan tulisnya. Apa tulisannya jelas ?” “Iya jelas. Tulisannya jelas sekali!” jawab Kadek dengan senang. Teman-teman Kadek pun turut bahagia karena Kadek sudah dapat melihat dengan jelas. Dulu Kadek memang terkenal sebagai anak yang pendiam dan pemurung. Melihat Kadek tersenyum, hal ini membuat suasana di kelas menjadi lebih berwarna.

  
 

Artikel Terkait

Gempa Palu: Menghimpun Cinta Kasih

Gempa Palu: Menghimpun Cinta Kasih

10 Oktober 2018

Relawan Tzu Chi dari He Qi Barat 2 Xie Li  Tangerang menyelenggarakan pengumpulan Koin Cinta Kasih  bekerja sama dengan PT Supermall Karawaci dan Apartement U Residence. Pengumpulan koin ini ditujukan bagi korban gempa dan tsunami di Palu, Sigi, dan Donggala  Sulawesi Tengah.  

Bahagia Membawa Berkah

Bahagia Membawa Berkah

07 Desember 2018
Pada kelas bedah buku kali ini, para peserta berkesempatan untuk mendengarkan sharing dari para relawan yang baru saja pulang dari kegiatan pelantikan di kampung halaman batin, Taiwan.  
Perhatian untuk Tuna Grahita

Perhatian untuk Tuna Grahita

13 April 2010
Pagi itu, anak-anak tampak sangat gembira atas hadirnya relawan Tzu Chi. Beberapa di antara mereka bahkan langsung minta untuk bernyanyi bersama.
Cara untuk mengarahkan orang lain bukanlah dengan memberi perintah, namun bimbinglah dengan memberi teladan melalui perbuatan nyata.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -