Serpihan-serpihan Tenggang Rasa

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 
 

fotoMuhammad Fahmi Aufa (terbaring), tumbuh menjadi anak yang penurut. Sejak menjalani operasi ia begitu diam, hanya tetasan air mata bahagia yang selalu membasahi pipinya.

Hari pertama liputan pelaksanaan baksos kesehatan berhasil saya lalui dengan mulus. Pengalaman membimbing saya untuk mengefektifkan setiap momen liputan dan menghasilkan laporan. Tapi di hari kedua baksos (Sabtu 17 Maret 2012), saya mulai merasakan lelah. Rasanya tak ada yang lebih mewah dan indah selain melepaskan semua beban di pundak dan berbaring di ranjang. Pikiran saya semakin tak konsentrasi  dibuatnya. Kendati demikian saya harus tetap bertahan hingga liputan nanti malam. Sesuai target liputan dari Jakarta, malam itu saya akan mewawancarai beberapa relawan yang bertugas mendampingi pasien hingga larut malam.

Tapi saat saya tiba di ruang pemulihan pukul  21.17 WIB, tidak ada lagi relawan yang berjaga. Setelah bertanya ke seorang perawat dan dokter, rupanya relawan pendamping bertugas hanya sampai pukul 21.00 dan kembali datang pada pukul 6 esok pagi.

Malam itu terasa sepi, seakan kesunyian bergaung di sekelilling ruangan. Hanya desah napas saya yang terdengar begitu nyaring di dinding telinga. Senyap. Tapi setiba di ruang pemulihan kesunyian menjadi sirna ditelan kegusaran. Pasien yang tak bisa tidur bergelimang menantikan kantuk. Saya berjalan perlahan menyusuri setiap dipan yang terjejer rapi. Saya amati ekspresi mereka satu per satu: ada yang lelap, ada yang gelisah, ada yang menangis, dan ada juga yang tersenyum lebar. Semuanya menjadi pemandangan yang menyentuh kalbu.   

Keceriaan yang Hilang
Di ujung ruangan di sisi sebelah kiri, langkah saya terhenti tatkala menatap anak lelaki gemuk yang berlinang air mata. M. Fahmi Aufa nama anak itu. Ia terlentang tak berkutik dengan badan tertutup handuk berwarna jambon (merah muda). Pipinya cokelat berbentuk bulat, bak jambu mawar yang ranum. Matanya yang sayup terlihat berkilau oleh air mata yang tertimpa cahaya. Saya menatap matanya, ia masih diam, mematung serupa arca.  Entah menahan rasa sakit atau merasa manja, yang jelas ia terlihat begitu lugu dan merana. Ibunya duduk bersila di sampingnya. Kepada saya ia tersenyum tapi setengah menangis. Tersedu sedan tapi seraya orang yang sedang bangga karena mendapat sesuatu. Katanya kepada saya, “Kemarin-kemarin mendapatkan nikmat, tapi hari ini jauh lebih nikmat. Sebab anak saya bisa sembuh.”

Setelah beberapa saat berbincang saya menjadi senang berkomunikasi dengan Aufa dan ibunya. Tutur katanya lembut  dan kalimat renyah bagaikan remah-remah. Aufa adalah anak seorang pemulung. Ayahnya Nurwahito mendadak menjadi pemulung karena tak sanggup lagi mendorong gerobak berjualan bakso lantaran kecelakaan telah merusak derap langkahnya. Ibunya Supariyah juga berprofesi sebagai pemulung menemani sang suami.

foto  foto

Keterangan :

  • Menjadi pemulung adalah pilihan yang harus dijalani Supariyah demi mencukupi kebutuhan keluarga (kiri).
  • Sehari setelah operasi, Aufa terlihat segar dan bisa berjalan dengan baik (kanan).

Sembilan tahun yang lalu Supariyah yang sudah hamil 9 bulan melahirkan anak pertamanya dengan mudah. Tubuh bayi itu terlihat mungil dan senyap karena tak banyak menangis. Nurwahito dan Supariyah yang seumur hidup membanting tulang agar keluar dari kemiskinan hanya bisa terpaku dan menatapi putra pertama mereka yang baru lahir. Sambil menitikkan air mata Supariyah memandangi bayinya yang tertidur lelap di pelukannya. ”Ya Allah terima kasih Kau telah memberikan Hikmah kepadaku,” katanya dalam hati. Ia pun menamai putranya Muhammad Fahmi Aufa, yang berarti paham dan pandai. Nama itu ia pilih dengan harapan putranya kelak bernasib baik.

Hari pun berganti-ganti dan Aufa telah tumbuh menjadi anak lelaki yang pendiam, rajin, dan hemat. Setiap hari Aufa selalu diajarkan untuk membantu pekerjaan rumah orang tuanya: mengepel, menyapu, mencuci, dan menjaga adiknya. Aufa tak pernah mengeluh, juga tak pernah membantah. Bahkan tetesan air mata ibunya menjadi senjata pamungkas untuk menghentikan kenakalannya. Biasanya setelah membantu ibunya, Aufa baru bisa pergi bermain. Namun yang paling disayangkan adalah burut (hernia) yang dideritanya. Burut telah menghisap sebagian keceriaannya sebagai anak laki-laki. Di saat kelelahan burut meniup skrotum kelaki-lakiannya seperti balon. Kebebasan Aufa tersita keterbatasan.

Harapan demi harapan Supariyah pupuk demi menyembuhi Aufa. Kehidupan mereka bisa dibilang biasa-biasa saja. Tak ada kemewahan, tapi selalu meriah dengan kasih sayang, pengertian, dan penantian. Sampai sebuah kecelakaan merampas kehidupan mereka yang sudah payah menjadi lebih payah lagi. Di penghujung tahun 2010, Nurwahito yang sedang mengendarai motor ditabrak oleh pengendara motor lain dari arah tikungan. Badannya memang tak banyak terluka, tapi tulang mata kaki kananya menjadi remuk tergencat blok mesin. Nurwahito terseok merintih kesakitan. Tak dapat berdiri, terlebih berjalan. Remuk tulang telah menyita aktivitasnya, semangatnya, bahkan keamanan ekonominya. Padahal ketika itu Supariyah baru saja melahirkan anak keduanya yang diberi nama Fitri Nur Azizah. Lahir di bulan September, diakhir bulan Ramadhan menjelang Salat Id – Hari Raya Idul Fitri. Cahaya suci arti nama itu.  

Di situasi yang sulit Supariyah harus berkelahi dengan waktu mencari uang sebesar 15 juta rupiah guna menutupi biaya pengobatan. Tapi rupanya kebajikan yang pernah mereka tanam pula yang menyelematkan mereka dari besarnya biaya. Pemilik klinik patah tulang berbesar hati menerima dana seadanya yang mereka miliki. Hasil dari sumbangan para tetangga sebesar  1,5 juta rupiah digunakan Supariyah untuk berobat suaminya di  klinik patah tulang. Meski pengobatan tak berjalan tuntas, namun Supariyah tetap bersyukur, karena suaminya selamat dan tetap bisa berjalan meski terseok-seok.  

Dibutuhkan Keberanian
Kesulitan laksana jalan berangkal kerikil yang menghujam-hujam. Dibutuhkan keberanian untuk melaluinya dan ketabahan sebagai imannya. Dalam situasi yang kering kerontang, hampir tak sepeser pun Rupiah dimilikinya, Supariyah kemudian nekad banting setir – mencari nafkah sebagai pemulung. Perasaannya hampir hancur diterpa malu. Tapi demi makan sekeluarga, Supariyah harus tegar menyikapinya. Dengan berbekal karung dan ditemani oleh Azizah yang baru berusia 4 bulan, Supariyah melangkahkan kakinya menyisiri jalan memungut apa pun yang bisa ia uangkan secara halal. ”Ada paku saya pungut paku, ada botol saya pungut botol. Hancur perasaan saya ketika itu. Malu adalah musuh utamanya,” aku Supariyah.

foto  foto

Keterangan :

  • Melalui bakti sosial, Tzu Chi berharap banyak warga tidak mampu yang sakit bisa terobati (kiri).
  • Di penghujung bakti sosial, relawan mengajak para pasien untuk membagikan kemurahan hatinya dalam celengan bambu (kanan).

Seperjalanan waktu, Supariyah semakin terbiasa menjalani profesi ini. Malu adalah masa lalu yang telah terlupakan. Kendati demikian penghasilan yang ia dapat tetap hanya cukup untuk makan. Tak lebih juga tak kurang. Hingga suatu hari di tengah teriknya matahari, Supariyah bertemu dengan seorang kawan.

” Mak Aufa katanya kamu kena musibah kok tidak cerita-cerita?” ”Tidak bisalah kita musibah cerita-cerita, nanti takutnya (dikira) minta dikasihani. Kita diberi oleh Alllah kaki dan tangan untuk berusaha, biarlah saya berusaha,” jawab Supariyah.

Supariyah memilih kata dengan teliti. Ia tak ingin melukai maksud baik temannya yang bersimpati. Meski dirundung kesusahan Supariyah bukanlah orang yang mudah menerima pemberian dari orang lain. Sampai di suatu momen yang tepat, si teman berhasil meyakinkan Supariyah atas pemberiannya berupa gerobak yang bisa disatukan dengan motor – mobet. Si teman berkata, ”Pakailah gerobak ini mak Aufa. Ini adalah rejeki anakmu.” Supariyah pun mengangguk takzim.

Dengan motor yang sudah bergandeng gerobak, mulailah Nurwahito memboncengi Supariyah mengelilingi kompleks perumahan memulung barang daur ulang. Kali ini Nurwahitolah yang merasa malu menjalani pekerjaan ini. ”Malu tidak bisa hilang begitu saja. Padahal kita butuh untuk makan,” ungkap Supariyah. Sampai perasaan itu hilang, banyak keajaiban yang mereka temui – banyak orang yang merasa iba kepada mereka dan memberikan barang-barang bekas kepada mereka.

Rezeki memang bisa selalu datang dari mana saja. Di saat-saat sulit Supariyah dan Nurwahito masih sanggup menafkahi keluarga meski dengan cara yang tak biasa. Dan di saat yang tak terduga pula  Supariyah mendapatkan kabar kalau Tzu Chi akan mengadakan bakti sosial kesehatan. Setelah mengajukan surat permohonan, Aufa akhirnya berhasil menjalani operasi hernia pada tanggal 17 Maret 2012.

Selepas menjalani operasi dan menjalani pemulihan Aufa tak henti-hentinya menitikkan air mata. Setelah mendengar kisah hidupnya, saya paham kalau Aufa adalah anak yang pendiam. Hari itu mungkin saja ia menahan rasa sakit demi kelegaan hati ibunya.

Malam itu saya memang tak mendapati lelapnya tidur, tapi saya menemukan sejumput kisah yang indah. Bahwa  kasih mengalahkan segalanya— ego dan kemustahilan. Hari itu saya menemukan kalau cinta itu berarti runtuhnya ego menjadi serpihan-serpihan tenggang rasa yang mengagumkan.  Dan hari itu saya melihat Supariyah memberikan penerimaan dari keterbatasan suaminya. Aufa yang selalu mematuhi pesan ibunya. Mereka telah berhasil membuang semua kepentingan emosinya.  Dari kejadian itu, saya mendapatkan sebuah pelajaran berharga. Jika saja semua orang memiliki keberanian, kebaikan,  kerendahan hati, dan cinta maka dunia ini pasti akan damai.

  
 

Artikel Terkait

Berbagi Kasih di Natal Yang Indah

Berbagi Kasih di Natal Yang Indah

29 Desember 2018
Tzu Chi Manado bersama dengan Komunitas WBI (Wanita Buddhis Indonesia) Sulawesi Utara melakukan kunjungan kasih ke Panti Asuhan Dr. J. Lukas di Karombasan, Manado, Kamis 27 Desember 2018. Kegiatan ini dalam rangka perayaan Natal yang juga bersamaan dengan ulang tahun ke-14 cucu dari Cherryl Limindah, Ketua Tzu Chi Manado, Cherryl Limindah atau yang akrab dipanggil Shijie Kem.
Suara Kasih : Tanggung Jawab di Dunia

Suara Kasih : Tanggung Jawab di Dunia

23 Februari 2011 Dalam menyambut Tahun Baru Imlek, insan Tzu Chi mengadakan perayaan dan mengundang warga setempat untuk hadir. Tahun ini, selain di Taiwan, ada 36 negara yang mengadakan acara Pemberkahan Akhir Tahun dengan total 264 perayaan yang dihadiri oleh lebih dari 300 ribu orang.
Tak perlu khawatir bila kita belum memperoleh kemajuan, yang perlu dikhawatirkan adalah bila kita tidak pernah melangkah untuk meraihnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -