Tiga Mutiara Kecil dari Biak

Jurnalis : Himawan Susanto, Fotografer : Himawan Susanto
 
 

foto Alex Aiwor begitu bahagia melihat ketiga anak perempuannya dapat kembali ceria dan melihat indahnya dunia.

Sudah 12 tahun lamanya aku mengajar di sebuah sekolah dasar negeri di daerah Biak, Provinsi Papua sebagai Pegawai Negeri Sipil golongan III/b. Dari hasil mengajar, aku mendapatkan penghasilan sekitar 3 juta rupiah per bulan, namun itu belum dipotong dengan kewajiban iuran tunjangan lainnya. Maka tak heran jika kemudian di pertengahan bulan aku dan keluarga “meminjam” ke sebuah warung sejumlah barang kebutuhan pokok yang kami butuhkan. Apalagi harga-harga kebutuhan pokok di Biak memang cenderung lebih mahal dari pada kota lainnya. Beruntung, warung tersebut bersedia meminjamkan kepada kami dan berkenan dibayar saat gajiku keluar di akhir bulan.

Keluarga Penuh Kasih
Sebenarnya, uang yang aku dapat bisa dikatakan cukup namun juga tidak. Meski begitu aku bersyukur masih dapat memberikan arti di dalam kehidupanku dan tentu saja keluarga yang aku cintai. Istriku Nell Manggombo dan keenam anakku dengan penuh kesetiaan dan cinta menemani kehidupanku. Mereka adalah mutiara-mutiaraku. Aku memiliki 1 anak laki-laki dan 5 anak perempuan. Mereka adalah Nikson Herman, Erini Meliani Tagor, Reni Irian, Inseri Aimando, Luisa Irene Aiwor, dan Putri Vinolia.

Tahun 2004, anak perempuanku yang berusia 2 tahun bernama Luisa Irene Aiwor mengalami sakit mata. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Makin hari makin kabur saja penglihatannya. Memang, sejak lahir mata Luisa sayup-sayup buram hingga berumur 2 tahun baru kelihatan ada bintik putih di matanya. Maka aku pun lantas membawanya Puskesmas. Di sana oleh dokter, Luisa diminta berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Biak. Oleh dokter spesialis mata di RSUD Biak itulah dikatakan bahwa Luisa menderita penyakit katarak dan bisa disembuhkan lewat tindakan operasi.

Di tahun itu juga, aku membawa Luisa ke rumah sakit provinsi yang ada di Jayapura. Di sana anakku menjalani pemeriksaan lengkap dan tinggal menunggu waktu operasi. Sayang, keinginan kami belum terwujud karena dokter yang sedianya akan mengoperasi dipindahtugaskan ke daerah lain. Kami pun akhirnya kembali lagi ke Biak. Dua tahun berselang, tepatnya di bulan Juni 2006, berbekal uang pinjaman sebesar 30 juta rupiah dari Bank Perkreditan Daerah (BPD), aku membawa Luisa berobat di Rumah Sakit DR. Sardjito dan Rumah Sakit Islam Hidayatullah Yogyakarta. Aku berusaha keras membawa Luisa karena pada saat itu keadaannya sudah sangat kurang bagus. Di sana kedua mata Luisa pun kemudian dioperasi. Hasilnya operasi berjalan lancar dan sukses. Penglihatan Luisa kembali seperti sedia kala. Betapa bahagia hati ini melihatnya.

Dua tahun berselang, kondisi penglihatan Luisa ternyata kembali menurun. Jika sore menjelang, penglihatannya sama sekali kurang. Aku jadi teringat apa yang dikatakan dokter spesialis mata di Yogyakarta dulu bahwa kami harus melakukan kontrol 2 tahun sekali. Jika ternyata masih ada keluhan maka perlu dilakukan tindakan. Lantas di tahun 2008 aku kembali membawa Luisa ke Yogyakarta. Sama seperti yang pertama, aku kembali meminjam uang ke BPD. Uang sebesar 15 juta rupiah dipinjamkan oleh BPD walau hutangku yang 2 tahun lalu pun belum terbayar semua. Beruntung saat itu kami juga memiliki sebuah usaha keluarga kecil-kecilan di kampung sehingga dapat menambah uang untuk berobat. Di bulan Oktober 2008 itulah aku kembali membawa Luisa ke Yogyakarta untuk menjalani operasi.

foto   foto

Keterangan :

  • Luisa dan Inseri kini dapat beraktivitas seperti sedia kala. Katarak yang mereka derita kini telah disembuhkan lewat jalan operasi. (kiri)
  • "Aku tak pernah menyangka, ketiga putriku yang paling kecil sama-sama menderita katarak. Beruntung, doaku dan istri terjawab. Mereka akhirnya mendapatkan bantuan pengobatan dari Tzu Chi," ucap Alex Aiwor. (kanan)

Derita itu Belum Usai
Saat aku dan Luisa kembali dari Yogyakarta, di rumah aku kemudian melihat di mata Inseri terdapat bintik putih di bola mata hitamnya, begitu juga yang terjadi dengan Putri, anakku yang paling kecil. Satu bulan pertama bintik itu masih terlihat kecil, namun sebulan kemudian bintik putih itu makin membesar dan hampir menutupi bagian hitamnya. Aku sampai heran mengapa hal itu bisa terjadi. Hatiku dan istri bergumul hebat. “Tuhan beri kami jalan keluar bagi anak-anak kami,” batinku. Awalnya aku dan istri saling menyalahkan. Kami juga bergumul kepada Tuhan. Pada saat itu aku bahkan sampai menyalahkan Tuhan. “Tuhan, ini tidak adil, mengapa anak-anak saya tiga-tiganya terkena katarak,” batinku kala itu.

Saat itu aku tidak mengoreksi diri bahwa mungkin kesalahannya ada pada saya sebagai orang tua. Sampai kemudian aku menyadari dan berkata kepada istri, kalau di antara kami terus saling menyalahkan, kapan anak-anak kami mendapatkan kesembuhan. Maka kami sebagai orang tua harus mengoreksi diri. Aku dan istri kemudian menerima dengan ikhlas keadaan anak-anak kami dan berharap nantinya akan ada jalan keluar. Dua tahun lamanya kami menunggu hingga akhirnya di bulan April 2010, aku mendengar sebuah informasi di siaran radio RRI yang mengumumkan akan adanya bakti sosial kesehatan di RSUD Biak. Dalam siaran itu dikatakan salah satunya adalah adanya baksos kesehatan pengobatan mata. Saat aku mendengar berita gembira itu, ternyata inilah hasil dari doa kami. Aku pun segera mendaftarkan ketiga anakku ke RSUD Biak.

Menjadi Pasien Penanganan Khusus
Di bulan Mei, aku membawa ketiga putriku menjalani screening. Setelah diperiksa ternyata dikatakan bahwa mereka tidak bisa dioperasi. Ketika itu aku hanya diberi catatan bahwa pada hari Minggu para relawan akan datang ke rumahku di Kampung Manduser. Di rumahlah para relawan Tzu Chi kemudian mengatakan bahwa ketiga anak perempuanku dijadikan sebagai pasien penanganan khusus di Jakarta. Untuk itu aku diminta untuk menyelesaikan persyaratan yang ada.

Di saat menunggu kepastian keberangkatan, seringkali aku bertanya kepada Ina Shijie (salah satu relawan Tzu Chi di Biak), kapankah mutiara-mutiara hatiku menjalani pengobatan. Ina Shijie yang baik dengan ramah menerima kedatanganku di kantornya. Ia bahkan terus memberikan ketenangan di hatiku saat aku bertanya melalui telepon. “Tenang dan sabar saja bapak. Bapak sabar. Sabar itu yang baik,” itulah perkataan yang selalu kuingat dari Ina Shijie sampai dengan saat kami berangkat.

foto  foto

Keterangan :

  • Meski harus meninggalkan Biak dan berangkat ke Jakarta tanpa didampingi istrinya, Alex Aiwor tetap bersyukur karena kini semua penglihatan anak-anaknya kembali pulih seperti sedia kala. (kiri)
  • Bagi Alex Aiwor, kesembuhan ketiga mutiaranya dari katarak kini menjadi kebahagiaan yang paling ia rasakan setelah berbagai daya upaya yang ia lakukan untuk mencari jalan kesembuhan bagi mereka. (kanan)

Tanggal 27 Oktober 2010, ada berita dari salah satu saudaraku bahwa esok hari aku dan anak-anak harus berangkat ke Jakarta. Aku pun langsung menyiapkan segala sesuatunya. Hari Kamis, 28 Oktober 2010, kami tiba di Jakarta pukul 11 malam. Di Jakarta aku dan anak-anak tinggal di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng, Jakarta Barat. Tanggal 4 November anak-anakku mulai menjalani pemeriksaan di RSCM Jakarta. Semua syarat yang diperlukan pun aku urus kembali. Sayang, anak-anakku belum berjodoh dengan RSCM karena adanya kendala persyaratan administrasi. Maka setelah seminggu menjalani pemeriksaan di RSCM, anak-anakku pun dipindahkan ke Rumah Sakit Khusus Bedah Cinta Kasih Tzu Chi.

Akhirnya, tanggal 28 November 2010, Putri dan Inseri pun menjalani operasi. Saat itu yang melakukan operasi adalah Dr. Esti Wardani. Sementara untuk Luisa hanya diberikan kacamata saja karena menurut dokter Esti hanya lensa tanamnya saja yang kaku. Satu minggu lamanya putri dan Inseri menjalani rawat inap. Kini setelah menjalani operasi, ketiga mutiaraku dapat melihat dengan jelas kembali, sekalipun itu adalah benda yang kecil. Agar makin jelas, anak-anakku akan segera mendapatkan kacamata baru. Sungguh bahagia hati ini.

Tidak Merasa Sendirian
Meski aku dan anak-anak di Jakarta, kami tak pernah merasa sendirian karena ibu anak-anak dan relawan Tzu Chi dari Biak sering berkomunikasi dengan kami. Bahkan, istri dari Susanto Pirono Shixiong juga pernah datang mengunjungi kami. Ia membawa buah-buahan, dan bahkan di saat menjelang hari raya Natal ia membawakan pakaian dan baju untuk anak-anak.

Aku memberikan jempol pertanda salut untuk relawan Tzu Chi Biak yang sejak awal selalu memperhatikan aku dan anak-anakku. Apalagi pelayanan relawan Tzu Chi di Jakarta juga sangat bagus. Makanan hingga pakaian buat anak-anak diberikan. Kami merasa senang. Hanya uang buat jajan anak-anak saja yang kesulitan, karena sementara di sini aku tidak bekerja. Pastinya bagiku yayasan ini sangat baik dan universal, karena Tzu Chi memang yayasan kemanusiaan yang menjalankan misinya tanpa memandang suku, agama, ras, maupun golongan.

Kini di dalam setiap doa, aku dan anak-anak selalu berdoa semoga dari pendirinya (Master Cheng Yen –red) hingga ke para relawannya, “Tuhan kiranya engkau mau memberikan kesehatan dan nikmat bagi mereka.” Aku juga bangga kepada semua relawan Tzu Chi. Dari situ kami kemudian ikut belajar bagaimana untuk dapat menolong sesama. Oh iya, sampai lupa memperkenalkan diri saking asyiknya bercerita, namaku Alex Aiwor yang tinggal di RT 1 Kecamatan Biak Timur, Kampung Manduser, Biak. Terima kasih telah berkenan membaca kisah tentang ketiga mutiara hatiku.
  
 

Artikel Terkait

Pemberkahan Akhir Tahun 2016 di Tanjungpinang: Bersyukur Setiap Saat

Pemberkahan Akhir Tahun 2016 di Tanjungpinang: Bersyukur Setiap Saat

10 Februari 2017

Pemberkahan Akhir Tahun yang digelar Relawan Tzu Chi Batam bersama relawan Tzu Chi Tanjungpinang berlangsung khidmat dan penuh makna. Para relawan dan juga warga yang hadir tak lupa membawa celengan bambu mereka yang sudah terisi untuk bersumbangsih.

Pemberian Bantuan yang Terus Mengalir di Lombok

Pemberian Bantuan yang Terus Mengalir di Lombok

10 Agustus 2018
Hingga saat ini, kondisi cuaca pascagempa di Lombok yang kering membuat masyarakat tidak nyaman. Selain panas yang menyengat, debu reruntuhan bangunan pun masih menyelimuti Lombok. Di posko bantuan, relawan harus menyiram air ke halaman setiap beberapa menit untuk meminimalisir debu yang beterbangan. Walaupun begitu, relawan TTD dan tim medis Tzu Chi tetap berkeliling Lombok untuk memberikan bantuan.
Penyuluhan Dan Pengecekan Penyakit Degeneratif Bagi Lansia

Penyuluhan Dan Pengecekan Penyakit Degeneratif Bagi Lansia

05 November 2021
Relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas Xie Li Indragiri mengadakan penyuluhan dan pengecekan penyakit degeneratif bagi lansia.
Kita hendaknya bisa menyadari, menghargai, dan terus menanam berkah.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -