Ceramah Master Cheng Yen: Bekerja Sama Menghimpun Cinta Kasih

Waktu berlalu dengan sangat cepat. Video yang kita lihat sekarang adalah kenangan yang berharga, yaitu peletakan batu pertama RS Tzu Chi Hualien untuk pertama kalinya. Saat itu, turun hujan rintik-rintik sehingga tanah menjadi becek. Apa yang harus kita lakukan? Relawan kita mendapat sebuah ide cemerlang. Mereka mengumpulkan sekam padi dan menaburnya di atas tanah. Jalan yang harus dilalui ditaburi sekam padi.

Melangkah di atas jalan yang ditaburi sekam padi itu, orang-orang merasakan pengalaman yang berbeda. Saat kaki melangkah, terdengar bunyi sekam padi yang saling bergesekan. Meski tidak bisa mengalaminya lagi, tetapi kita masih mengingat pengalaman itu. Saat itu, lahan itu ditaburi sekam padi sehingga berwarna kuning emas.


Mengenang kondisi pada saat itu, saya sangat bersyukur kita bisa merekam video berkat kecanggihan teknologi. Para pemuka agama Buddha turut hadir. Namun, usai peletakan batu pertama, kita mendapat kabar bahwa lahan itu akan digunakan untuk kepentingan militer. Karena lahan itu tak bisa digunakan, kita terpaksa mencari lahan baru.

Jadi, diadakan peletakan batu pertama untuk kedua kalinya di lokasi RS kita sekarang. Dalam proses ini, kita menghadapi berbagai kesulitan. Video yang kita lihat sekarang adalah peletakan batu pertama untuk kedua kalinya yang dipimpin oleh Master Yin Shun dan Bapak Lin Yang-kang. Ini semua adalah sejarah Tzu Chi.

Dalam peletakan batu pertama untuk kedua kalinya, saya merasa bahwa beban saya tiba-tiba menjadi sangat berat. Saya mengkhawatirkan dana pembangunan. Begitu pembangunan dimulai, kita harus membayar kontraktor setiap setengah bulan sekali. Dari mana kita memperoleh dana? Pikiran saya sangat terbebani. Kini, saat mengenangnya, saya menyadari bahwa saat itu, saya menggigit bibir dan menahan air mata karena pikiran saya sangat terbebani. Inilah perasaan saya saat itu.


Hingga kini, RS Tzu Chi Hualien telah beroperasi selama 32 tahun. Sebelum RS kita beroperasi, pembangunan berlangsung tiga tahun. Sebelum itu, kita juga menghabiskan beberapa tahun untuk mencari lahan di berbagai tempat dan mengatasi satu demi satu rintangan. Selain itu, relawan kita juga menghimpun tetes demi tetes cinta kasih. Baik batu bata, besi beton, maupun semen, semuanya dihimpun sedikit demi sedikit. Jadi, saya sangat bersyukur.

Saat itu, bahkan segenggam pasir pun sangat berharga. Saat itu, para relawan juga menghabiskan waktu dan menguras tenaga untuk mendukung pembangunan RS. Teringat akan saat itu, saya merasa bahwa dunia Tzu Chi sungguh indah karena kita bisa mengatasi berbagai kesulitan. Kita membangun rumah sakit untuk menyelamatkan kehidupan.

Kita telah menyelamatkan nyawa banyak pasien di Hualien. Demi rumah sakit inilah, kita memulai misi pendidikan. Tanpa rumah sakit ini, kita tidak akan mendirikan sekolah untuk membina insan berbakat. Kini, kita memiliki sistem yang komprehensif dari pengobatan, penelitian, hingga pendidikan. Selain itu, setiap orang menuju arah yang benar. Para dokter kita mendedikasikan diri untuk menyelamatkan kehidupan. Sungguh, saya selalu mendengar kisah-kisah yang sangat menyentuh.


Kepala RS Tu telah mengembangkan nilai hidupnya semaksimal mungkin. Setelah mendukung saya membangun RS, beliau juga mendedikasikan diri di RS Tzu Chi Hualien selama 5 tahun. Beliau juga merupakan murid saya. Hingga kini, istrinya masih mengemban tanggung jawab sebagai penerjemah bahasa Jepang untuk majalah bulanan Tzu Chi. Dia sudah puluhan tahun mendedikasikan diri.

Tahun ini, Profesor Yang Sze-piao genap berusia 100 tahun. Sejak saya ingin membangun rumah sakit, Profesor Yang, Kepala RS Tu, dan Kepala RS Tseng sangat mendukung dan memperhatikan hal ini. Kepala RS Tu dan Kepala RS Tseng terus memberikan dukungan, dari mengevaluasi cetak biru hingga pembangunan rumah sakit rampung.

Saat itu, Profesor Yang Sze-piao merupakan kepala RS Universitas Nasional Taiwan. Beliau memberi dukungan dalam berbagai bentuk, termasuk merekrut tenaga kerja. Jadi, saya sangat bersyukur kepada beliau. Meski kini Profesor Yang telah berusia 100 tahun, tetapi beliau berkata pada saya bahwa beliau datang ke RS kita setiap minggu untuk membantu menilai hasil rontgen.

Beliau juga sering berkunjung ke Dalin meski harus menempuh jarak jauh. Sungguh, ada banyak Bodhisatwa yang bersumbangsih tanpa pamrih. Profesor Yang mengeluarkan biaya sendiri demi mendukung kita. Tubuhnya masih sangat sehat dan pikirannya masih sangat tajam. Hingga kini pun masih demikian. Saya sangat bersyukur.

Teringat akan Kepala RS Tseng, saya sungguh merasa tidak tega. Meski sudah lanjut usia dan jatuh sakit, beliau tetap tinggal di mes kita di Hualien. Saya sering menanyakan kabarnya sehingga saya tahu bahwa sering ada orang yang mengunjunginya. Kini dia tidak leluasa berbicara. Melihat kondisinya, istrinya menyadari bahwa demikianlah penuaan. Manusia menua seiring berlalunya waktu, ini merupakan hukum alam.

Karena itu, kita harus menggenggam waktu dan memanfaatkan kehidupan untuk menumbuhkan jiwa kebijaksanaan. Yang berlalu sudah berlalu. Yang terpenting, kita telah bersumbangsih. Kini, kita bisa melihat dan merasakan bahwa setelah rumah sakit dibangun, orang-orang mengembangkan potensi mereka. Karena itu, saya merasa sangat tenang.

Kita harus memenuhi hati kita dengan rasa syukur. Meski dahulu kita bersusah payah, tetapi kini, saat mengenangnya, hati saya dipenuhi rasa syukur. Ada banyak orang dan kisah yang menyentuh.

Mengenang pembangunan rumah sakit yang penuh kesulitan

Menghimpun cinta kasih orang banyak

Sesuai hukum alam, segala sesuatu mengalami perubahan dan tidak kekal

Menggenggam waktu untuk menumbuhkan jiwa kebijaksanaan

Ceramah Master Cheng Yen tanggal  25 April 2018

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina

Ditayangkan tanggal 27  April 2018
Tanamkan rasa syukur pada anak-anak sejak kecil, setelah dewasa ia akan tahu bersumbangsih bagi masyarakat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -