Ceramah Master Cheng Yen: Bersumbangsih Dalam Jangka Panjang Demi Kelestarian Lingkungan

“Tema terbesar Hari Bumi tahun ini adalah mengurangi penggunaan plastik. Setiap tahun, warga Taiwan menggunakan 16 miliar buah kantong plastik dan 3 miliar batang sedotan,” ucap Lai Ying-ying, Kepala Departemen Manajemen Limbah.

“Barang-barang sekali pakai seperti ini lebih berkemungkinan berakhir di lautan,” ucap Chen Chien-chih Ketua dewan TEIA.

Di era yang penuh kekeruhan ini, banyak orang yang linglung. Tanpa disadari, orang-orang menimbulkan bencana besar. Semua itu terjadi tanpa kita sadari. Sesungguhnya, masalah sampah telah menjadi isu global. Lebih dari sebulan lalu, terjadi longsor di sebuah tumpukan sampah di Mozambik. Di tanah yang rata, sampah terus ditumpuk hingga menggunung. Banyak orang menggantungkan hidupnya pada tumpukan sampah tersebut. Tumpukan sampah semakin lama semakin tinggi. Pada pertengahan Februari lalu, tumpukan sampah longsor sehingga banyak rumah tertimbun longsor. Warga di sana hidup kekurangan. Siapa yang akan membantu mereka yang terkena dampak bencana?


Insan Tzu Chi setempat memberikan bantuan meski mereka juga kekurangan. Sejak pertengahan bulan Februari, mereka terus menyediakan makanan hangat hingga sekarang. Dalam jangka waktu yang cukup panjang, relawan kita setiap hari menyediakan makanan hangat dengan beras dari Taiwan dan sayuran yang mereka tanam sendiri. Pada saat yang sama, mereka juga membagikan kelambu. Sejak lebih dari sebulan yang lalu, relawan kita terus bersumbangsih hingga sekarang. Para relawan kita masih menyediakan makanan hangat hingga sekarang. Dengan menghimpun kekuatan cinta kasih, orang-orang kurang mampu juga berpotensi untuk bersumbangsih. Mereka tidak takut bekerja keras dan rela bersumbangsih.

Dengan bersumbangsih tanpa pamrih, yang kita peroleh adalah sukacita. Kita harus bersumbangsih tanpa kemelekatan. Melihat orang yang menderita mendapat makanan, kita harus bersyukur. Jadi, kita tidak memiliki kemelekatan. Kita harus bersumbangsih dengan hati penuh rasa syukur. Jadi, saat bersumbangsih, jangan melekat pada siapa yang memberi, siapa yang menerima dan apa yang diberikan. Jangan melekat pada semua itu. Dengan berpikir bahwa bersumbangsih adalah kewajiban kita, kita akan bersumbangsih dengan sukacita. Inilah yang disebut sukacita dalam Dharma. Jadi, kita harus mempraktikkan Dharma dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus mendengar Dharma, menyerapnya ke dalam hati, dan mempraktikkannya secara nyata. Inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat zaman sekarang.


Kita juga bisa melihat sebuah kampung yang semula sangat indah. Tempat yang indah selalu menarik banyak turis. Sampah yang diciptakan oleh turis dan warga setempat sangat banyak. Bayangkanlah, apakah lingkungan yang penuh dengan sampah akan terlihat indah? Inilah akibat dari kesesatan manusia. Orang-orang membuang sampah sembarangan tanpa memikirkan konsekuensinya.

“Dahulu, air laut tidak sekotor ini karena rumah di kampung kami tidak lebih dari 100 unit. Dahulu tidak ada truk sampah. Kami selalu membuang sampah ke laut atau membakarnya. Kami lebih sering membakarnya. Lihatlah, di setiap pohon ada sampah. Itu adalah sampah yang kami buang. Sampah yang sulit terurai biasanya kami buang di sini. Lihatlah, pohon ini penuh dengan sampah. Ada jaring. Ada pula kantong kertas dan sampah lainnya. Di laut, kami juga pernah melihat banyak sampah yang mengapung,” ucap Cai Qing-fu, Warga Segenting.

“Saat menyadari masalah sampah, apakah kalian tidak berpikir bahwa tidak boleh membuang sampah ke lautan lagi?”

“Kami pernah berpikir demikian, tetapi tidak ada yang menjalankannya. Setelah insan Tzu Chi datang, kondisi kampung kami baru perlahan-lahan berubah,” ucap Cai Qing-fu, Warga Segenting.


Karena suatu jalinan jodoh, relawan kita mengunjungi warga setempat dari rumah ke rumah untuk memahami kondisi kehidupan mereka. Setelah itu, relawan kita mulai berbagi konsep pelestarian lingkungan. Akhirnya, kita bisa melihat warga setempat terinspirasi. Baik orang dewasa maupun anak-anak, semuanya terinspirasi oleh insan Tzu Chi.

“Paman, hari Minggu minggu depan, sekolah kami akan membersihkan kampung. Mari bergabung dengan kami dan ajaklah keluarga Paman.”

“Kami akan pergi jika ada waktu luang.”

“Kami akan datang tanggal 7 Januari. Jika Anda turut berpartisipasi, orang-orang yang lebih muda bisa melihat bahwa Anda yang sudah lanjut usia pun turut menjaga kelestarian lingkungan. Dengan begitu, mereka juga akan tergerak untuk membantu,” ucap Ye Liang-hui, Relawan Tzu Chi

“Kita belajar satu sama lain.” “Benar.”


Relawan kita terlebih dahulu mengajak para lansia untuk berpartisipasi membersihkan kampung. Banyak orang yang turut berpartisipasi. Relawan kita juga berbagi konsep pelestarian lingkungan dengan orang-orang berusia paruh baya, anak muda, dan anak-anak. Dibutuhkan kesabaran dan waktu yang lama untuk membangkitkan kesadaran lingkungan orang-orang. Lihatlah, sampah-sampah di sana merupakan hasil akumulasi jangka panjang. Selain yang mengapung di lautan, juga ada banyak sampah yang tertimbun di dalam tanah dan tetap tidak terurai meski sudah lama. Untuk membersihkan sampah yang sebelumnya dibuang sembarangan, kini orang-orang harus menguras tenaga.

“Mari kita menjaga kelestarian lingkungan!”

“Saya sangat gembira ada kegiatan ini. Berkat kegiatan ini, sampah di Segenting dapat berkurang,” ucap Wu Mei-ling, Warga Segenting

“Dahulu, kami mengira membuang sampah ke laut dapat memperluas daratan. Namun, puluhan tahun kemudian, kami tetap harus memungut kembali sampah yang dibuang,” ucap Lu Guo-guang, Warga Segenting.

“Saya sudah tinggal di sini 52 tahun. Saya tidak pernah segembira hari ini,” ucap Lu Guo-xiong, Warga Segenting.

“Jangan membuang sampah sembarangan lagi karena memungut sampah sangat melelahkan,” ucap Cai Jia-en, Warga Segenting.


Intinya, kita harus memahami hukum sebab dan akibat. Mereka yang dahulu membuang sampah sembarangan kini harus menanggung akibatnya sendiri. Jika tidak dibersihkan, lingkungan hidup merekaakan terus dikelilingi sampah. Usai upaya pembersihan, kita bisa melihat perbedaannya. Setelah dibersihkan, bukankah lingkungan tempat tinggal mereka terlihat jauh lebih nyaman?

“Dahulu, kami langsung membuangnya. Sekarang, kami memilahnya ke dalam jenis kaca dan plastik,” ucap Lu Xiu-hua.

“Anda telah memilah dan menyatukan barang berbahan plastik.”

“Saya memilahnya begitu ada waktu luang.”

“Semua ini sudah pernah dipakai. Setelah dicuci, ia bisa dipakai kembali.”

Bukan tidak ada orang yang bersedia melakukan daur ulang, melainkan tidak ada orang yang bisa menggalakkannya dengan sabar dalam jangka panjang. Jika pelestarian lingkungan bisa dijalankan dalam jangka panjang dengan sabar, kondisi setempat tidak akan separah itu. Singkat kata, kita harus membangun tekad dan ikrar untuk bersumbangsih tanpa pamrih. Inilah semangat pelestarian lingkungan. Untuk menjaga kelestarian lingkungan, dibutuhkan kesepahaman, kesepakatan, dan tindakan bersama. Kita harus membuka pintu kebijaksanaan. Berbuat baik memang sangat baik, tetapi kita juga harus melakukannya dengan bijaksana. Jadi, semoga setiap orang dapat senantiasa bersungguh hati.

Orang miskin juga bisa bersumbangsih dan menghimpun cinta kasih

Sumbangsih tanpa pamrih mendatangkan sukacita dalam Dharma

Tulus mengajak warga untuk turut menjaga kelestarian lingkungan

Bersama-sama melakukan daur ulang untuk menjaga kelestarian lingkungan

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 27 Maret 2018

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina

Ditayangkan tanggal 29 Maret 2018

Beramal bukanlah hak khusus orang kaya, melainkan wujud kasih sayang semua orang yang penuh ketulusan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -