Ceramah Master Cheng Yen: Dedikasi yang Menginspirasi Benih Tak Terhingga

“Pada masa-masa awal, belum ada Aula Jing Si atau Kantor Tzu Chi di Kaohsiung. Kami meminjam tempat di Kuil Bodhi, Kota Kaohsiung dan Kuil Avalokitesvara di Dalinpu untuk mengadakan pembagian bantuan bagi kaum lansia yang membutuhkan. Awalnya, hanya ada belasan relawan. Saat Master datang untuk melakukan survei kasus, kami akan mengambil cuti. Kebetulan, saat itu ada sebuah kasus dan Kakak Ye-chun mengajak kami pergi bersama. Dalam kesempatan itu, Master berbagi pengalamannya dan mengajari kami bagaimana melakukan survei kasus,” kata Zhuang Zi-yao, relawan Tzu Chi saat itu.

Saya merasa sangat kehilangan. Zi-yao adalah relawan di Kaohsiung. Semua orang sangat menyayanginya. Selama puluhan tahun, dia menapaki Jalan Bodhisatwa dan sepenuh hati mendedikasikan diri di Tzu Chi. Dia telah mendampingi saya selama puluhan tahun. Dia sangat aktif di komunitas. Saat ada masalah, orang-orang akan meminta bantuannya. Dia selalu bisa menenangkan hati orang-orang. Dia bukan hanya menjalankan Tzu Chi sendiri, tetapi juga menginspirasi keluarganya. Suaminya, Bapak Lin, sangat mendukungnya. Setelah pensiun, suaminya sepenuh hati menjalankan Tzu Chi bersamanya dengan kesatuan hati dan tekad.


Harapan Zi-yao ialah dapat menyumbangkan tubuhnya bagi para mahasiswa kedokteran di Universitas Tzu Chi sebagai Silent Mentor. Harapannya telah terwujud.

Hari itu, mendengar kabar kepergiannya, saya sangat kehilangan. Di Taipei, dengan berlinang air mata, kakak laki-lakinya berkata pada saya, “Adik saya sudah meninggal dunia.”

Hati saya sangat sakit, tetapi saya tetap harus berkata, “Mari kita mendoakannya bersama. Dia sangat menderita karena penyakitnya. Terus bertahan hanya akan membuatnya menderita. Sekarang dia bisa istirahat dengan tenang. Kita harus merelakannya agar kehidupannya ini berakhir dengan sempurna dan dia bisa menuju kehidupan berikutnya dengan tenang.”

Saat saya kembali ke Griya Jing Si, Hualien, suami dan putranya sedang menunggu saya. Saya berkata, “Dia mendedikasikan diri untuk Tzu Chi dengan bersumbangsih sebagai Bodhisatwa dunia. Pada akhir hayatnya, dia juga menyumbangkan tubuhnya agar para mahasiswa kedokteran dapat lebih memahami struktur tubuh manusia dan menolong lebih banyak pasien kelak. Semua ini merupakan pahala. Dia telah membawa manfaat besar dengan tubuhnya. Saya berterima kasih pada kalian semua yang telah mewujudkan harapannya.”


Meski bisa berkata demikian pada keluarganya, saya tetap merasa kehilangan. Demikianlah manusia, makhluk yang memiliki perasaan. Namun, jika tidak bisa merelakan, kita akan dibelenggu oleh noda batin. Beruntung, insan Tzu Chi memiliki perasaan yang berkesadaran.

Kita semua tahu bahwa sesuai hukum alam, waktu yang kita miliki di kehidupan ini terbatas. Jadi, kita harus menerima kondisi kita. Kita harus bisa berpikiran terbuka dan merelakan. Jangan bersikap perhitungan. Kita hendaknya menjaga keharmonisan dengan semua orang dan dalam segala hal. Jika bisa demikian, kita bisa menjalani kehidupan ini dengan tenang.

Kita hendaknya bersyukur selama puluhan tahun ini, kita dapat memanfaatkan tubuh kita ini untuk bersumbangsih di tengah masyarakat dan menapaki Jalan Bodhisatwa. Setelah kehidupan ini berakhir dan beristirahat sebentar, kita akan menuju kehidupan berikutnya. Meski kehidupan ini sudah berakhir, tetapi perjalanan kita belum berakhir. Perjalanan ini akan berlanjut hingga kehidupan berikutnya.

Saya yakin bahwa dia akan kembali ke dunia ini dengan tubuh yang baru dan kuat untuk menapaki Jalan Bodhisatwa. Dia telah melatih diri di kehidupan sekarang. Setelah kehidupan sekarang berakhir, dia pun menuju kehidupan berikutnya yang penuh harapan.


Selain Zi-yao, Wei Man-zi juga meninggal dunia. Setelah menjadi komite Tzu Chi, dia membeli tiket kereta dan mendampingi orang kembali ke Griya Jing Si. Dia telah menginspirasi banyak relawan. Setiap relawan Tzu Chi mendedikasikan diri dengan sepenuh hati dan tenaga.

Ada pula Bapak Wen Song-zhen yang mendukung pembangunan Aula Jing Si Keelung. Beliau meninggal dunia saat usianya hampir mencapai 100 tahun. Lahan yang disumbangkan beliau telah menjadi ladang pelatihan kita di Keelung. Banyak Bodhisatwa dunia yang dibina di sana. Ini disebut kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, beliau menciptakan berkah bagi generasi mendatang.

“Hari ini, saya melihat betapa agung dan menakjubkannya Aula Jing Si yang dibangun di sini. Saya berharap kelak, semua orang lebih bekerja keras, merasakan lebih banyak sukacita dalam Dharma, dan lebih kompak,” tutur Wen Song-zhen, Komisaris kehormatan Tzu Chi kala itu.


Saya ingin mendoakan para insan Tzu Chi yang pernah menapaki Jalan Bodhisatwa bersama dengan kesatuan hati dan tekad. Saya juga berharap mereka dapat membuka dan membentangkan jalan bagi saya membuka dan membentangkan jalan bagi saya agar saat tiba waktunya nanti, saya dapat mengikuti langkah mereka. Mereka dapat memimpin saya dan saya akan menoleh untuk mengajak lebih banyak orang menuju arah yang benar dan menapaki Jalan Bodhisatwa.

Demikianlah kehidupan. Kita harus selalu berusaha untuk mencapai tujuan kita. Saya sangat bersyukur insan Tzu Chi dapat merelakan, memiliki arah yang benar, dan membimbing generasi demi generasi.

Guru dan murid bersama-sama menapaki Jalan Bodhisatwa
Menciptakan berkah bagi dunia dan anak cucu
Terus membentangkan jalan hingga kehidupan berikutnya
Mewariskan silsilah Dharma Jing Si hingga selamanya

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 10 Maret 2021
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 12 Maret 2021
Menyayangi diri sendiri adalah wujud balas budi pada orang tua, bersumbangsih adalah wujud dari rasa syukur.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -