Ceramah Master Cheng Yen: Memberi Pendidikan yang Baik lewat Proyek Harapan

Bodhisatwa sekalian, dua minggu yang lalu, saya baru saja datang ke sini. Dua minggu kemudian, saya datang kembali. Saya merasa waktu sangat cepat berlalu. Selama ini pun belum pernah saya mengunjungi tempat yang sama dalam selang dua minggu. Ini sungguh merupakan kejadian langka.

Dalam perjalanan tadi, saya mengingat banyak kenangan tentang Taitung. Saat melihat ke luar jendela mobil, awan sangat banyak. Dalam hati saya berpikir jika tidak ada awan, saya akan bisa melihat Gunung Dulan lagi. Jika mobil berbelok ke kanan, saya akan melihat jalan yang saya lalui saat pertama kali ke Taitung karena tertarik oleh namanya, yaitu "Luye". Melihat nama "Luye", saya merasa tertarik.

Buddha memutar roda Dharma untuk pertama kalinya di Taman Rusa Isipatana (Luyeyuan). Saat saya pertama kali tiba di Taitung, saya tertarik saat melihat nama "Luye" di stasiun. Karena itu, saya naik kereta untuk pergi ke Luye. Setibanya di Luye, saya tidak tahu harus ke mana. Saya berjalan bersama Master Xiu Dao dan tidak tahu harus ke mana. Saat kami bertanya apakah di sana ada wihara, warga setempat menjawab di atas gunung ada wihara yang dikunjungi banyak orang. Kami bertanya-tanya seberapa besar wihara itu. Setelah turun dari kereta, kami mengikuti petunjuk yang diberikan warga dan melewati jalan yang berbukit, berharap dapat sampai ke wihara itu.

Tadi, sebelum tiba di sini, mobil kami berbelok ke mulut jalan berbukit itu. Melihat jalan itu, kenangan 50 hingga 60 tahun lalu kembali muncul dalam ingatan saya. Namun, pemandangannya kini sudah berbeda. Di Luye pada masa itu tidak ada banyak rumah. Kini, saat turun di stasiun Luye, kita sudah bisa melihat rumah-rumah. Saya melihat jalan yang saya lalui itu juga sudah diaspal. Dahulu, mana ada jalan beraspal di sana? Semuanya adalah tanah berbatu. Orang-orang harus mendaki bukit. Saat itu, kami berdua membawa dua kopor, yang satu berisi Sutra Bunga Teratai, sedangkan yang lain berisi pakaian. Kami mendaki bukit hingga terengah-engah. Kami lalu menemukan sebuah kuil Shinto yang dibangun di zaman Jepang.

Dahulu, di sepanjang jalan itu terdapat banyak rumah jerami. Di daerah itu terdapat banyak rumah bergaya Jepang. Desa itu memang merupakan desa imigran Jepang. Kini, saat mengenang kembali masa-masa itu, saya merasa alangkah baiknya jika waktu dapat berhenti di saat itu. Namun, itu adalah hal yang tidak mungkin.

Perjalanan saya tadi mengingatkan saya bahwa ikatan perasaan saya dengan Taitung begitu kuat. Bagaimana saya membalas budi Taitung? Puluhan tahun telah berlalu, jalinan jodoh bagi Tzu Chi pun sudah matang. Kini, di dunia ini, temperatur bumi terus meningkat. Perubahan iklim dan bencana alam terus terjadi. Saya khawatir ini akan berpengaruh terhadap kondisi geologis Taiwan. Namun, khawatir saja tidak ada gunanya, kita harus melakukan pencegahan.

Setelah kita tahu bahwa bencana semakin banyak, maka bangunan pun harus dibuat lebih kokoh. Bupati Taitung sempat berkunjung ke Hualien untuk mengajukan permohonan bantuan rekonstruksi sekolah kepada Tzu Chi. Di dunia ini, segala sesuatu memang memiliki fase terbentuk, berlangsung, rusak, dan hancur. Begitu pula dengan benda materi. Saat sebuah bangunan selesai dibangun, seiring berjalannya waktu, bangunan itu akan lapuk. Suatu saat, ia juga akan rusak. Setelah bangunan itu rusak, maka saat sedikit gangguan terjadi, ia akan hancur.

Singkat kata, saat ini adalah waktu bagi kita untuk meningkatkan kesadaran. Kita harus memperhatikan keamanan tempat tinggal kita, terlebih lagi tempat anak-anak belajar. Anak-anak, baik yang besar maupun kecil, banyak menghabiskan waktu di sekolah. Bagaimana jika sesuatu terjadi seperti gempa di Sichuan beberapa tahun lalu?

Gempa besar di Sichuan saat itu terjadi pada sekitar pukul dua siang. Jadi, gempa besar saat itu membawa bencana bagi banyak keluarga. Mengapa? Karena mereka harus kehilangan anak. Terlebih lagi, banyak dari mereka kehilangan anak tunggal. Bencana tersebut sungguh besar. Jadi, jika rekonstruksi sekolah memang dibutuhkan, maka kita harus segera melakukannya. Karena itu, saat bupati Taitung menemui saya dan membahas tentang rekonstruksi 9 sekolah, saya pun segera menggenggam kesempatan itu demi mengurangi risiko saat bencana terjadi. Kita segera menyetujui pengajuan itu.

Pada pertemuan itu, saya berkata kepada bupati Taitung bahwa saya berharap proyek ini berjalan seperti di Pingtung. Waktu berlalu tanpa terasa. Setelah pada bulan Juni tahun lalu saya bertemu pejabat pemerintah Pingtung, saat saya berkunjung ke sana tahun ini, dalam waktu kurang dari satu setengah tahun, pembangunan lima sekolah di sana sudah rampung. Bangunannya sangat kokoh, desainnya juga sangat indah.

Lihatlah, tembok berlapis batu sikat itu dari kejauhan terlihat sangat bersih. Jika proyek itu berjalan lancar, maka bangunan akan lebih cepat rampung. Para guru, orang tua murid, dan anak-anak sangat berterima kasih. Mereka berterima kasih dan berkata bahwa dahulu, sebelum kita membantu mereka, mereka merasa takut saat berada di sekolah, tetapi kini, para orang tua pun merasa tenang. Para guru menjadi lebih tenang, para murid pun semakin gembira. Lihatlah keseluruhan bangunannya.

Setelah tiang-tiang perancah dilepas, tampak luar dan desain  dari bangunan itu sungguh terlihat kokoh. Jadi, saya berharap di Taitung pun demikian. Yang membuat saya gembira adalah para relawan di sini telah mengunjungi 9 sekolah serta memberi perhatian bagi para guru dan murid. Saya melihat di SD Fuh-Shing, kalian berinteraksi dengan kepala sekolah, para guru, dan para murid. Ini adalah pembinaan dari segi filosofi dan semangat dalam Proyek Harapan. Pembangunan gedung memang belum dimulai, tetapi pembinaan semangat sudah kalian mulai.

Saya sungguh berterima kasih. Terlebih lagi, pagar pembatas konstruksi dilukis bersama oleh orang tua dan anak-anak berdasarkan Kata Renungan Jing Si. Mereka melukis gambar kehidupan yang penuh harapan. Bodhisatwa sekalian, saat gedung sekolah itu mulai dibangun, saya berharap para anggota Tzu Cheng dan komite juga dapat memberi perhatian bagi para seniman bangunan. Saya berharap dengan ketulusan kita, proyek ini dapat berjalan dengan aman. Keamanan proyek dan ketulusan kita ini dapat memberi keamanan bagi anak cucu dan generasi penerus kita di Taitung dalam mengenyam pendidikan. Inilah harapan terbesar kita.

Mengenang perjalanan ke Luye puluhan tahun silam

Perubahan banyak terjadi seiring waktu

Waspada terhadap perubahan iklim dan bencana alam

Memberi pendidikan yang baik lewat Proyek Harapan

Sumber: Lentera Kehidupan  - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 27 Desember 2015

Ditayangkan di DAAI TV tanggal 29 Desember 2015

Beramal bukanlah hak khusus orang kaya, melainkan wujud kasih sayang semua orang yang penuh ketulusan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -