Ceramah Master Cheng Yen: Memberikan Bantuan dan Membuka Pintu Kebajikan

“Pertama kali kami pergi ke rumah Gu Haiqiang, dia hidup sendirian dan tidak bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat. Hatinya penuh dengan keluh kesah,” kata Kong Fancheng, relawan Tzu Chi.

“Kami sudah memasak nasi untuknya, tetapi dia enggan memakannya. Dia ingin makan siomai. Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa, Kakak Cao Yong turun dan membelinya. Setelah kami membeli siomai untuknya, dia meminta kami membelikannya xiaolongbao untuk kunjungan berikutnya. Dalam beberapa kali kunjungan awal kami, dia berkata,  ‘Bagaimana jika saya menyewakan rumah saya dan pindah ke Tzu Chi? Dengan begitu, saya bisa mendapatkan uang sewa.’ Namun, para relawan kita tidak terpengaruh olehnya. Kita tetap mengepel lantai rumahnya, membersihkan rumahnya, menyiapkan makanan untuknya, dan memberi pendampingan,” ujar Li Lixin, relawan Tzu Chi.

Kita bisa melihat Bapak Gu. Dahulu, dia menghasilkan banyak uang, tetapi juga menghabiskan banyak uang. Suatu hari, dia mengalami kecelakaan dan terluka. Tidak ada orang yang merawatnya. Rumahnya pun menjadi kotor dan berantakan. Ada orang yang melaporkan kasusnya pada Tzu Chi. Setelah menerima kasus ini, insan Tzu Chi segera mengunjunginya.

“Kakak Kong Fancheng membantu membersihkan rumah saya. Pada kunjungan pertama, dia membersihkan kloset di rumah saya. Dia menggosoknya hingga bersih bagaikan cermin. Pada kunjungan kedua, dia mengepel lantai rumah saya. Saya menyuruhnya melakukan ini dan itu. Saya berkata, ‘Kakak Kong, di balik pintu masih ada sedikit debu.’ Kakak Kong berkata, ‘Baik, saya tahu.’ Dia segera mengelapnya sampai bersih. Saya sangat tersentuh. Saya berpikir, ‘Mengapa dia bisa sebaik ini?’ Saat itu, saya sangat pesimistis dan selalu berpikiran buruk tentang orang lain. Itu pertama kalinya saya bertemu dengan orang yang begitu baik dan tulus pada saya. Saya tersentuh dari lubuk hati saya,” tutur Gu Haiqiang, penerima bantuan Tzu Chi.


Insan Tzu Chi melatih kesabaran, dana, dan disiplin moral. Karena itu, bagaimanapun sikapnya, relawan kita bisa bersiteguh melakukan praktik Bodhisattva. Mereka dapat melatih batin mereka lewat masalah yang dihadapi dan menjaga pikiran mereka tidak bergejolak. Berhubung bertekad untuk membantunya, kita harus mempertahankan tekad. Tidak peduli bagaimana sikapnya, meski dia menggunakan nada memerintah, relawan kita tetap bisa melepas ego dan membantunya dengan rendah hati. Relawan kita terus bersumbangsih dengan penuh kesabaran dan cinta kasih.

“Dalam menjalankan misi Tzu Chi, kita harus melepas ego. Jadi, kita tidak terpengaruh oleh sikapnya. Setelah membersihkan rumahnya, kami bertanya padanya, ‘Apa harapanmu?’ Dia berkata, ‘Harapan terbesar saya adalah jalan-jalan ke Taman Beiling.’ Kami berkata, ‘Baik. Kami akan mewujudkan harapanmu,’” kata Kong Fancheng, relawan Tzu Chi.

“Kakak Gu, sudah berapa lama Anda tidak turun tangga?” tanya Cao, relawan Tzu Chi.

“Dua tahun,” jawab Gu Haiqiang.

“Selama dua tahun lebih, ini pertama kalinya Anda turun tangga lagi. Anda tidak perlu tegang, santai saja,” tutur relawan Cao kembali.

“Kakak Cao, bantulah kami,” ujar Gu Haiqiang.

Relawan kita menggendongnya menuruni tangga satu per satu. Mereka terlebih dahulu mendampinginya pergi ke sebuah restoran. Ternyata, restoran itu merupakan restoran besar milik Relawan Kong. Seorang pemilik restoran besar dapat menuruti semua permintaan Bapak Gu dalam jangka panjang, bahkan membantu membersihkan toiletnya. Saya sangat tersentuh dan bersyukur mendengarnya.

Meski merupakan seorang pengusaha dan membuka restoran besar, Relawan Kong bersedia menerima kasus seperti ini. Dia sangat bersyukur kepada Bapak Gu yang memberinya kesempatan untuk mempraktikkan Enam Paramita.  Para relawan kita bersedia menjalankan berbagai tugas yang tak terduga dan melatih batin mereka lewat penanganan kasus.

“Sesungguhnya, saat saya mendampingi Kakak Gu Haiqiang, dia juga mendampingi saya. Saat menangani kasus ini, kita bersumbangsih tanpa pamrih sekaligus bersyukur. Kita juga memperoleh banyak pencapaian,” kata Kong Fancheng.

Relawan kita tidak pernah berhenti atau menyerah untuk membantunya. Beberapa Bodhisatwa ini tidak menyerah ataupun putus asa dalam menangani kasus ini dan terus mendampingi Bapak Gu.


“Setelah mendampingi dan menyemangatinya dalam jangka panjang, kita mulai berbagi dengannya tentang kisah celengan bambu.  Kita juga berbagi tentang kisah penerima bantuan sehingga dia menyadari bahwa dia bukanlah yang paling menderita. Dia juga bertekad untuk melakukan kebajikan setiap hari dengan menyisihkan uang ke dalam celengan untuk menolong sesama,” ucap Gao Nan, relawan Tzu Chi

Akhirnya, dia bertekad untuk bergabung dalam barisan relawan. Meski mengalami keterbatasan gerak, dia bisa mengatasi berbagai kesulitan dan turut melakukan survei kasus.

“Saat saya turun, orang-orang bertanya, ‘Apa yang akan kamu lakukan hari ini?’ Saya berkata, ‘Saya telah bergabung dengan Tzu Chi.’  ‘Saya juga akan memperhatikan orang-orang yang membutuhkan.’ Saya mengatakannya dengan bangga,” kata Gu Haiqiang.

Demikianlah kehidupan manusia. Meski pernah terpuruk, tetapi dia memiliki jalinan jodoh untuk bertemu dengan Bodhisatwa yang melenyapkan penderitaannya sekaligus membimbingnya memasuki pintu Bodhisatwa.

“Kita terus berbagi Kata Renungan Jing Si dengannya. Setiap hari, dia juga berbagi satu Kata Renungan Jing Si di dalam obrolan grup. Kebijaksanaan dan ajaran Master sungguh telah meresap ke dalam hatinya. Dia sungguh bersyukur kepada Master yang memberinya kesempatan untuk memulai hidup baru. Dapat mengenakan seragam relawan, dia merasa sangat bangga. Dengan menghibur orang yang menderita, dia bisa mengembangkan nilai hidupnya,” pungkas Gao Nan.

Dia membangkitkan kekayaan batin dan mulai membimbing orang lain. Dia bertobat atas kesalahan masa lalunya dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Dia pernah berjaya, juga pernah terpuruk. Dalam waktu yang sangat lama, ada sekelompok Bodhisatwa dunia yang terus menolong dan membimbingnya. Mereka tidak menyerah padanya. Dia berbagi kisah hidupnya untuk membimbing orang lain.

Ini termasuk pendidikan hidup. Intinya, demikianlah kehidupan manusia. Kekuatan karma mengondisikan kita terlahir di suatu tempat. Ada yang bisa menjadi Bodhisatwa dunia, ada juga yang pernah berjalan menyimpang dan terpuruk. Meski hidup di lingkungan yang sama, setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda.

Bapak Gu pasti telah menjalin jodoh baik di kehidupan lampau sehingga bisa bertemu dengan Bodhisatwa dunia. Inilah buah karma langsung dan pengondisi. Lewat pikiran saja, kita bisa menciptakan karma. Kita ingin menciptakan karma baik atau karma buruk?


Berhubung karma yang diciptakan berbeda, maka orang-orang di dunia ini juga memiliki kondisi kehidupan yang berbeda meski terlahir di zaman yang sama. Kita sungguh harus waspada dalam kehidupan sehari-hari dan lebih banyak menciptakan berkah bagi dunia.

Saya sangat bersyukur kepada para relawan yang segera muncul di berbagai tempat untuk menjadi penyelamat dalam hidup orang lain. Sungguh, saya harus senantiasa bersyukur kepada insan Tzu Chi. Kalian merupakan Bodhisatwa dunia yang sesungguhnya.


Menjangkau orang yang menderita untuk melatih diri

Bersumbangsih dengan sabar dan tanpa pamrih

Ketulusan insan Tzu Chi menyentuh hati penerima bantuan

Memperbaiki kehidupan dan memperpanjang jalinan kasih sayang


Ceramah Master Cheng Yen tanggal 7 November 2018

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,

Penerjemah: Hendry, Karlena, Li Lie, Marlina

Ditayangkan tanggal 9 November 2018

Editor: Stefanny Doddy
Setiap manusia pada dasarnya berhati Bodhisatwa, juga memiliki semangat dan kekuatan yang sama dengan Bodhisatwa.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -