Ceramah Master Cheng Yen: Memperkaya Makna dan Nilai Kehidupan

Saat di dalam hati ada keinginan untuk melakukan sesuatu, janganlah menyerah karena sakit. Kita harus lebih berusaha untuk mewujudkannya.

“Narahubung kami untuk spesialis gigi ialah Dokter Huang Shu-xian. Setiap kali ada baksos kesehatan, beliau pasti mengajak saya. Contohnya, saat menangani pasien vegetatif persisten, saya melihat meski setiap pasien memiliki banyak keterbatasan, tetapi kebersihan mulut mereka ditangani dengan baik, jauh lebih baik daripada kebanyakan pasien saya, hampir tidak ada karang gigi,” kata dr. Chen Wei-zhong, anggota TIMA Taiwan.

Melihatnya, kita akan terharu karena para dokter Tzu Chi amat bersungguh hati dalam membersihkan gigi para pasien vegetatif persisten.

Pada bulan Maret, Dokter Huang juga ikut kami dalam baksos Buddhist Sangha Health Care Foundation. Pada bulan Mei, beliau tiba-tiba pergi. Sejujurnya, saya sangat kehilangan dan sangat sedih. Ketidakkekalan sungguh membuat saya merasa harus menggenggam jalinan jodoh. Kepergian Dokter Huang membuat saya merasa tanggung jawab kita semakin berat. Namun, kemudian saya menemukan para relawan yang juga sudah dilantik, seperti Kakak Wang Bai-jin dan Lin Cong-qi untuk bersama-sama menjadi narahubung. Kami selalu mendiskusikan setiap masalah dan memikul tanggung jawab bersama-sama,” kata dr. Chen Wei-zhong.

 

Saya sendiri merasa meski kehidupan beliau cukup singkat, tetapi segala cinta kasih dan kebajikan yang telah beliau ciptakan semasa hidup telah memberi saya kesan yang mendalam. Saya rasa saya harus berusaha untuk meneruskan cinta kasih dan kebajikan ini. Shu-xian adalah murid saya yang baik. Suaminya masih merasa kehilangan. Bukan hanya suaminya, kita semua juga merasa kehilangan. Saya juga merasa kehilangan. Saya kehilangan seorang murid yang baik. Dia menderita sakit. Bukankah dalam Sutra Makna Tanpa Batas tertulis bahwa seorang tabib agung dan nakhoda, meski menderita sakit pada tubuhnya, tetap dapat menyeberangkan orang lain dari pantai penderitaan ke pantai kebahagiaan? Demikianlah hati Bodhisatwa.

Kita sangat kehilangan, tetapi kita juga harus mendoakannya karena dia tidak menjalani kehidupannya dengan sia-sia. Kehidupannya penuh makna. Saya sering berkata bahwa kita tak dapat mengontrol panjang pendeknya usia. Namun, kita dapat melindungi nilainya. Ini adalah wujud dari berbakti. Tubuh kita dapat dimanfaatkan untuk memperluas dan memperdalam makna hidup. Kita harus memanfaatkan tubuh kita untuk bersumbangsih bagi semua makhluk dan mempraktikkan Jalan Bodhisatwa. Jika kita membangkitkan cinta kasih dan berinisiatif untuk bersumbangsih, kekuatan yang timbul akan sangat besar. Tiada orang yang bisa membatasi seberapa banyak kita dapat bersumbangsih. Semua ini bergantung pada kekuatan, keinginan, dan cinta kasih kita sendiri.


Bersumbangsih dengan sukarela akan membawa rasa sukacita. Kita melakukan dengan sukarela dan menerima dengan sukacita. Benar, sepulangnya dari kegiatan baksos, kita sangat gembira. Jika hanya membuka praktik di klinik sendiri, setelah memeriksa banyak pasien,  kita hanya merasa lelah. Dalam kegiatan baksos, meski belum makan, kita tetap sukarela dan sukacita. Inilah melakukan dengan sukarela dan menerima dengan sukacita. Inilah yang disebut sebagai relawan. Relawan bersumbangsih tanpa pamrih. Inilah semangat Bodhisatwa.

Mengenai Bodhisatwa, saya sering mengatakan bahwa makna dari "Bodhisatwa" ialah orang yang sadar dan memiliki cinta kasih. Kita adalah orang yang memiliki kesadaran dan cinta kasih karena kita memahami kebenaran di balik kehidupan di dunia ini. Saya mendengar cerita beberapa dokter yang ikut mendengar Dharma pada pagi hari. Mereka dapat memahami makna kehidupan yang sesungguhnya dan meningkatkan nilai kehidupan lewat tindakan bermanfaat. Ini tentu membawa kebahagiaan. Namun, kita tetap tak memiliki kendali atas panjang pendeknya usia. Kita hanya bisa memanfaatkan setiap waktu.

Para relawan TIMA, kalian telah membawa manfaat bagi orang lain berlandaskan welas asih. Cinta kasih, welas asih, sukacita, dan keseimbangan batin telah kalian kembangkan. Bukankah Sutra Buddha juga membahas tentang empat pikiran tanpa batas ini? Ini adalah semangat inti ajaran Buddha. Cinta kasih, welas asih, sukacita, dan keseimbangan batin. Selain itu, cinta kasih haruslah tanpa syarat dan welas asih haruslah merasa senasib dan sepenanggungan.


Kalian sering pergi ke daerah terpencil dan menemukan pasien yang butuh perawatan. Kalian merawat dan mengasihi mereka. Begitulah para anggota TIMA bersumbangsih. Saat melihat pasien yang kekurangan gizi, kalian kadang mengeluarkan biaya sendiri untuk memberi mereka suplemen. Semua orang bersumbangsih tanpa pamrih. Sumbangsih semua orang tak dapat diungkapkan lewat kata-kata dan tak dapat dihitung dengan hitungan jam. Nilainya sungguh tak terukur.

Setiap orang menggunakan kehidupannya untuk menjalankan misi Tzu Chi. Sepanjang perjalanan keliling saya kali ini, saya terus mengingatkan bahwa nilai kehidupan bukan terletak pada panjangnya usia. Kita tak dapat menentukan kapan kita lahir atau mati. Kita juga tak dapat memilih supaya lahir di keluarga yang baik atau mampu mengenyam pendidikan tinggi. Kita tak dapat memilih semua ini. Semua ini bergantung pada berkah dan jalinan jodoh yang kita ciptakan di kehidupan lampau.

Saya sendiri pernah berkata bahwa saya beruntung karena di kehidupan lampau telah menjalin begitu banyak jodoh baik. Begitu banyak orang yang selalu berkata dengan tulus, "Kami mengasihi Master." Saat saya terus berjalan, orang-orang akan terus mengatakan hal ini. Saat saya menoleh, apa yang biasa segera orang-orang katakan? (Mengasihi orang yang Master kasihi, Mengasihi orang yang saya kasihi).


Ini karena saya sering berkata, "Jika kalian mengasihi saya, kasihilah orang yang saya kasihi." Kini saya tak perlu terus mengulangnya. Begitu saya menoleh, semua orang sudah tahu jawabannya, yaitu mengasihi orang yang saya kasihi. Benar, bukankah kalian mengasihi orang yang saya kasihi? Saya tak bisa menjangkau semua orang atau langsung pergi bersumbangsih. Kalianlah yang mampu melakukannya. Kalian bisa bersumbangsih  dan menjangkau pasien di berbagai tempat. Bukankah ini berarti mengasihi orang yang saya kasihi?

Di dunia ini, tiada orang yang tidak saya kasihi. Dengan hati Bodhisatwa, kalian semua mengasihi semua orang di dunia. Dengan memiliki kehidupan, barulah kita bisa bersumbangsih. Jika tubuh kita sehat, kita dapat berbuat lebih banyak. Kita tak dapat menentukan panjang pendeknya usia kita, tetapi kita dapat berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga tubuh pemberian orang tua kita.

Saya sering berkata bahwa saya tidak menyia-nyiakan waktu sedetik pun. Meski sedang sakit, saya tetap melakukan yang harus saya lakukan dan tidak akan membiarkan waktu berlalu sia-sia. Kita sungguh harus memanfaatkan waktu dengan baik. Di sinilah letak nilai kehidupan kita. Kita harus bisa melakukannya dan mengajak orang lain turut melakukannya. Inilah perjalanan kehidupan kita.

Singkat kata, cinta kasih tak dapat diukur. Dengan cinta kasih tanpa batas, akan tercipta berkah yang tanpa batas. Seberapa besar cinta kasih yang terhimpun, sebanyak itulah berkah yang tercipta. Kita bukan hanya menciptakan berkah bagi tempat yang kita datangi, melainkan juga bagi diri sendiri. Ini disebut menjalin jodoh baik atau berkah.

Makna dan nilai kehidupan ditentukan diri sendiri
Nakhoda tetap mampu menyeberangkan orang meski menderita sakit
Bersumbangsih dengan sukarela dan merasakan kebahagiaan
Menjalin jodoh baik di dunia dengan cinta kasih

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 01 Juli 2019
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,
Penerjemah: Hendry, Karlena, Li Lie, Marlina
Ditayangkan tanggal 3 Juli 2019

Benih yang kita tebar sendiri, hasilnya pasti akan kita tuai sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -