Ceramah Master Cheng Yen: Mengasihi dan Hidup Berdampingan dengan Alam

“Kami merasa terancam. Kami sangat khawatir. Tidak ada tanda-tanda bahwa Tathra dilanda kebakaran, tetapi itu terjadi dengan begitu cepat,” kata warga setempat.

“Kami merasa sangat sedih. Saya yakin setiap orang lega karena tidak kehilangan orang yang disayangi atau mengalami luka serius. Namun, dalam beberapa hari ke depan, warga yang kehilangan segalanya akan merasa terguncang,” kata Gladys Berejiklian, Perdana Menteri New South Wales.

Kita sering mendengar bahwa di berbagai negara, hutan-hutan hangus terbakar. Kebakaran hutan yang terjadi sering kali sulit dipadamkan. Ini membawa dampak serius bagi kelestarian lingkungan dan turut berkontribusi dalam polusi udara. Karena itu, dalam keseharian, kita harus sangat waspada.


Percikan api kecil juga bisa menimbulkan kebakaran besar. Yang mengalami kerugian bukan hanya satu negara, melainkan seluruh dunia. Entah kapan kita baru bisa menghentikan pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan memengaruhi keselarasan iklim sehingga terjadi bencana banjir, kebakaran, dan topan.

Kita juga melihat bencana di Madagaskar, Afrika. Akibatnya, ada yang kehilangan nyawa, ada pula yang kehilangan harta. Banyak orang kehilangan tempat tinggal akibat terjadinya tanah longsor. Ini sungguh menakutkan.

Kita juga bisa melihat Perancis yang diterjang angin kencang dan salju lebat. Hingga kini, masih turun salju lebat yang mengganggu lalu lintas dan membuat warga kurang mampu mengalami penderitaan tak terkira. Demikianlah penderitaan yang dialami oleh orang-orang di negara yang berbeda-beda.


Kita juga melihat warga Etiopia yang mengalami penderitaan selama bertahun-tahun. Krisis pangan di sana sangat serius. Saya sungguh tidak tega melihatnya. Saat ini, ada lebih dari 7,8 juta orang yang membutuhkan bantuan darurat di sana. Lebih dari 20 tahun yang lalu, insan Tzu Chi pernah pergi ke Etiopia dan memberikan bantuan di sana selama beberapa tahun.

Kita membantu mendirikan klinik dan posko kesehatan di sana serta melatih 300 orang tenaga medis. Inilah yang pernah kita lakukan bagi warga kurang mampu di negara itu. Namun, untuk memberikan bantuan di sana, kita menghadapi berbagai kesulitan. Kita harus mengatasi rintangan demi rintangan. Selain itu, Etiopia sangat luas, pengiriman barang bantuan juga tidak mudah.

Kini, mendengar berita tentang krisis pangan di sana, saya memikirkan bagaimana kita mengatasi kesulitan agar bisa memberikan bantuan di sana. Lebih dari 20 tahun yang lalu, keterbatasan akses transportasi dan berbagai kesulitan lainnya membuat kita sulit untuk menyalurkan bantuan di Etiopia. Sekarang, penyaluran bantuan semakin sulit.


Melihat kondisi di sana, meski merasa sangat khawatir, kita juga tidak berdaya. Tubuh anak-anak di sana hanya tulang berbalut kulit, sama sekali tidak berotot. Di kawasan kurang mampu, kondisi anak-anak sungguh memprihatinkan. Sama-sama manusia, mengapa kehidupan kita berbeda-beda? Saya sering berpikir, “Mengapa?”

Dalam ceramah pagi ini, saya mengulas bahwa saat masih tinggal di istana, Pangeran Siddharta hidup di tengah kemewahan. Meski demikian, Beliau terus merenungkan mengapa terdapat kesenjangan antarmanusia, mengapa perbedaan antara kaya dan miskin begitu besar, serta mengapa manusia mengalami hidup, tua, sakit, dan mati.

Beberapa bulan yang lalu, saya pergi ke Taipei untuk menghadiri acara Pemberkahan Akhir Tahun. Di sana saya bertemu dengan staf Da Ai TV dan Tang Mei-yun yang pernah pergi ke India. Mereka pergi untuk merekam kondisi lingkungan di Puncak Burung Nasar. Mereka juga mengunjungi beberapa tempat bersejarah yang berkaitan dengan Buddha. Mereka menunjukkan videonya pada saya. Saya sungguh prihatin melihatnya.

Seperti biasanya, orang yang meninggal dunia akan digotong ke tepi Sungai Gangga. Di sana, orang-orang menumpuk kayu bakar. Setelah mencemplungkan jenazah ke dalam Sungai Gangga, mereka mengangkatnya dan meletakkannya di atas tumpukan kayu, lalu memulai proses kremasi. Staf kita juga merekam ritual tersebut. Lihatlah betapa banyaknya kayu yang dibakar dalam ritual seperti itu.


Staf kita berkata bahwa setiap hari, banyak orang yang mengantre untuk melakukan upacara kremasi di tepi Sungai Gangga. Sungguh sulit dibayangkan bahwa saat ini, masih ada kebiasaan seperti itu. Meski hidup di dunia yang sama, sebagian orang memiliki kebiasaan yang sulit kita pahami. Jadi, kita harus memandang ke seluruh dunia karena ada banyak kenyataan di dunia ini yang belum kita lihat. Meski tak bisa melihatnya secara langsung, tetapi berkat teknologi zaman sekarang, kita bisa melihatnya lewat rekaman video.

Kita harus percaya bahwa pada zaman Buddha, yakni lebih dari 2.000 tahun yang lalu, pola hidup orang-orang lebih sederhana. Kita sering mengulas tentang butiran pasir di tepi Sungai Gangga. Namun, kini pasir hampir tidak terlihat karena kondisi lingkungan di tepi Sungai Gangga terus memburuk. Saya sungguh sangat khawatir. Intinya, inilah yang kita lihat.

Kita juga melihat bencana alam akibat ketidakselarasan unsur tanah, air, api, dan angin. Melihat orang-orang yang menderita, bisakah kita tidak bersyukur atas kondisi kehidupan kita sekarang? Hampir setiap hari, saya mengingatkan kalian untuk menjalani setiap hari dengan rasa syukur.

Menyadari ketidakkekalan lewat bencana alam yang terjadi

Sulit untuk menyalurkan bantuan ke Etiopia yang dilanda krisis pangan

Buddha memutar roda Dharma dan membabarkan Empat Kebenaran Mulia

Mengasihi dan hidup berdampingan dengan alam

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 20 Maret 2018

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,

Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina

Ditayangkan tanggal 22 Maret 2018

Umur kita akan terus berkurang, sedangkan jiwa kebijaksanaan kita justru akan terus bertambah seiring perjalanan waktu.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -