Ceramah Master Cheng Yen: Menghargai Bumi dan Mengendalikan Nafsu Keinginan

“Saya merindukan rumah saya. Saya berharap tidak ada lagi orang yang kehilangan rumah atau nyawa mereka,” ucap seorang korban kebakaran hutan di California, Amerika Serikat.

“Kebakaran ini berbeda. Kobaran apinya lebih agresif dari tahun-tahun sebelumnya. Saya tahu bahwa kami berkata demikian setiap tahun, tetapi ini belum pernah terjadi sebelumnya. Kebakaran terjadi di segala arah pada waktu yang sama,” kata Komandan Departemen Kehutanan dan Perlindungan Kebakaran California.


Kini, kita telah melihat bencana kebakaran, bisakah kita tidak merasakan apa-apa? Kita bisa melihat betapa menakutkannya kebakaran besar yang terjadi silih berganti. Seluruh hutan dilalap api. Kita bisa membayangkan betapa panasnya itu. Sungguh, akibat gelombang panas, segala sesuatu menjadi sangat kering dan mudah terbakar. Ini bukanlah kebakaran yang bisa langsung dipadamkan. Api terus merambat dan sulit untuk dipadamkan. Ini membuat orang takut melihatnya.

Kita bisa melihat kebakaran besar terjadi di berbagai tempat. Ini karena bumi mengalami kekeringan. Bukankah batin kita juga demikian? Batin kita terbakar oleh api nafsu keinginan. Kita semua tersesat dalam kobaran nafsu keinginan. Jangan mengira bahwa Amerika Serikat, Yunani, dan Swedia sangat jauh dari kita. Sesungguhnya, kita hidup di atas bumi yang sama yang bagai “rumah yang terbakar”.


Kita hidup di kolong langit dan di atas bumi yang sama, yaitu planet Bumi ini. Tidak peduli terlahir di mana, hidup orang-orang tidak tenteram.

Kita bisa melihat ketidakselarasan unsur air, api, dan angin. Mengenai ketidakselarasan unsur air, sejak melakukan perjalanan keliling Taiwan, saya menonton siaran berita tentang bencana banjir di Jepang. Bencana terjadi silih berganti. Wilayah yang terkena banjir sangat luas sehingga tidak semuanya bisa kita tolong. Namun, kita sudah mulai menyediakan makanan hangat.

“Kami menyiapkan sayuran hangat yang terdiri atas 7 jenis sayur,” ucap seorang relawan Tzu Chi. “Setelah datang ke sini sekali, kakak saya memberi tahu saya bahwa di sini sangat membutuhkan tenaga. Jadi, saya berpikir bahwa fisik saya masih cukup kuat meski kondisi mata saya kurang baik. Jadi, saya masih bisa membantu di sini,” imbuh Shi Yan-fen, relawan Tzu Chi dari Osaka. “Di sini benar-benar sangat panas. Terkadang, saya juga merasa agak lelah. Namun, melihat kondisi korban bencana, saya merasa bahwa saya sangat beruntung. Menjadi relawan untuk bersumbangsih bagi sesama juga merupakan kewajiban kami,” aku Yota Tabuchi, relawan cilik.


Seorang relawan di sana terkena pitam panas saat bertugas di bawah tenda. Setelah dilarikan ke rumah sakit dan beristirahat sebentar, dia pun pulih. Berhubung tidak tega terhadap para korban bencana, dia pun kembali ke tenda lagi untuk membantu sebagai relawan. Namun, tidak lama kemudian, dia pingsan lagi.

Dia bersumbangsih tanpa memikirkan kesehatannya. Mengapa demikian? Karena dia turut merasakan penderitaan orang lain dan merasa tidak tega. Demikianlah semangat Bodhisatwa. Saya memberi tahu relawan kita untuk mengurangi waktu pelayanan karena kini cuaca di Jepang sangat panas dan pemerintah setempat telah menyediakan nasi kepal. Jadi, saat ini kita tidak perlu menyediakan sup hangat di sana.


Saya memberi tahu mereka untuk mengurangi waktu pelayanan karena cuaca sangat panas. Jadi, mereka pun mengurangi waktu pelayanan mereka di sana. Suhu udara 30 hingga 40 derajat Celsius sangatlah panas, terlebih di bawah tenda. Relawan kita menggunakan berbagai cara. Meski menaruh es batu di depan kipas angin, panasnya tetap tidak tertahankan. Kita hanya beberapa hari di sana saja, panasnya sudah tidak tertahankan. Jadi, kita bisa membayangkan kondisi para korban bencana. Namun, kita tidak bisa menolong semua korban bencana di sana karena sumber daya kita terbatas.

Berada di tempat dengan cuaca yang begitu panas juga sangat berisiko bagi relawan kita. Saat melakukan perjalanan keliling Taiwan, saya melihat para insan Tzu Chi bersumbangsih dengan sepenuh hati. Mereka juga berkata bahwa itu bagaikan tungku atau “rumah yang terbakar”. Usai banjir, matahari bersinar terik. Meningkatnya suhu dan kelembapan udara sangat menakutkan. Warga sangat menderita karenanya. Kita juga melihat kemarin, Jepang diterjang topan. Saya sungguh tidak tega, tetapi tidak berdaya.


Pulau Lombok di Indonesia juga diguncang gempa berkekuatan 6,4 SR. Insan Tzu Chi Indonesia akan melakukan survei bencana. Ketidakselarasan empat unsur alam terjadi secara bersamaan di seluruh dunia. Bencana banjir, kebakaran, dan gempa bumi kerap terjadi. Semua itu sungguh membuat orang takut dan tidak tenang melihatnya. Sampai kapan manusia harus mengalami penderitaan seperti ini?

Manusia mengalami banyak penderitaan. Sesungguhnya, semua makhluk mengalami penderitaan akibat perubahan iklim. Semua makhluk sulit untuk bertahan hidup, bukan hanya manusia. Semua jenis hewan dan seluruh ekosistem mengalami krisis yang sangat serius. Akibat nafsu keinginan manusia, bumi tempat kita bergantung hidup terus mengalami kerusakan. Kini, empat unsur alam tidak selaras dan alam mengalami kerusakan. Apa yang harus kita lakukan?

Bayangkanlah, bumi mengalami kerusakan dan pegunungan menangis. Saat turun hujan, air mengalir menuruni lereng gunung bagai air mata yang mengalir. Siapa yang tidak sedih melihatnya? Jadi, kita harus mengimbau orang-orang untuk lebih bersungguh hati. Hanya sepaham dan sepakat tidaklah cukup. Kita harus bertindak bersama dengan mengendalikan nafsu keinginan. Jangan membiarkan nafsu keinginan bertumbuh.

Kita hendaknya mengendalikan nafsu keinginan diri sendiri, jangan membiarkannya terus bertumbuh. Sumber daya alam seharusnya dapat mencukupi kebutuhan kita jika setiap orang dapat mengasihi dan menghargai sumber daya serta hidup sederhana.

Kebakaran besar terjadi silih berganti

Menyediakan makanan hangat karena tidak tega melihat penderitaan orang lain

Guncangan gempa menimbulkan dampak serius

Menghargai berkah, mengasihi sumber daya, dan mengendalikan nafsu keinginan

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 30 Juli 2018

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Li Lie, Marlina

Ditayangkan tanggal 1 Agustus 2018

Editor: Metta Wulandari
Kita sendiri harus bersumbangsih terlebih dahulu, baru dapat menggerakkan orang lain untuk berperan serta.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -