Ceramah Master Cheng Yen: Mengurangi Nafsu Keinginan demi Dunia yang Lebih Baik

Dalam Sutra Bunga Teratai bab Kota Gaib, Buddha hendak mengatakan bahwa meski membutuhkan waktu yang sangat panjang, kita semua tetap dapat kembali pada hakikat kesadaran sejati. Hakikat sejati ini dimilikidan dibawa semua orang dalam setiap kelahiran. Jika kita dapat menjaga kemurnian hakikat ini, maka ia akan menjadi bagai cermin yang jernih dan dapat merefleksikan apa pun dengan sangat jelas. Sebagai makhluk awam, kita biasa mengikuti apa yang orang lain katakan atau ajarkan. Kita juga berucap sesuai ajaran orang lain dan berjalan sesuai arah yang orang lain tunjukkan. Namun, kita tidak tahu apakah ajaran itu baik atau buruk. Suatu ucapan ringan mungkin dapat merasuk ke dalam batin kita dan menjadi sumber pencemaran yang membuat batin kita memulai siklus keburukan serta membangkitkan nafsu keinginan sehingga kita terus mengejar nafsu keinginan tersebut. Nafsu keinginan ini pun menjadi tanpa batas. Inilah mengapa manusia berusaha meningkatkan taraf hidup dan perekonomian. Akibatnya, di masyarakat kita, tanah, gunung, sungai, dan lautan tak hentinya mengalami pencemaran.

Kita melihat ekosistem laut rusak karena manusia membuang sampah ke laut. Sampah-sampah itu mencelakai berbagai kehidupan di laut. Semua ini bermula dari nafsu keinginan manusia. Sampah-sampah yang ada di lautan kebanyakan adalah plastik pembungkus barang kebutuhan sehari-hari. Manusia membuangnya sembarangan. Sampah-sampah itu jumlahnya paling banyak. Bukankah ini adalah ulah manusia? Mengapa kita tak kunjung sadar bahwa cara hidup kita berdampak negatif bagi lingkungan? Banyak orang bahkan tidak pernah menggunakan dapur mereka di rumah. Mereka selalu membeli makanan di luar. Selain itu, saat pergi membeli makanan, mereka pergi dengan tangan kosong dan pulang dengan membawa banyak bungkusan yang semuanya akan menjadi sampah. Bayangkan, jika dikumpulkan, berapa banyak sampah yang dihasilkan dalam sehari? Ini sungguh menakutkan. Jika terus begini, bagaimana kita bisa terus hidup di bumi ini? Bahaya terus mengintai manusia.

Jika manusia tidak sadar sekarang juga, bencana mungkin akan lebih banyak terjadi dengan jeda waktu yang lebih pendek. Kini berbagai negara sudah merasakan dampak dari ketidakselarasan empat unsur. Jika kita tidak mengendalikan pola hidup kita dan tetap bertindak semaunya untuk mengejar gaya hidup mewah, maka kita akan lebih sering mengganti barang lama dengan barang baru yang berakibat pada bertambahnya jumlah sampah. Cara terbaik adalah mengubah pola hidup kita dengan kembali pada kesederhanaan. Jika setiap keluarga dapat "menjaga kebersihan mulai dari sumbernya" —bangun lebih awal untuk memasak sarapan, lalu setelah makan, membawa bekal saat berangkat beraktivitas—dan jika setiap keluarga dapat menerapkan ini, maka dalam sehari, sampah yang dihasilkan akan dapat dikurangi. Coba renungkan, dengan begini, kita akan memperoleh cukup gizi, bisa makan kenyang dengan higienis, aman, dan sehat. Jika setiap orang menyiapkan sendiri makanannya, maka keamanan dan kesehatan akan terjamin. Sayangnya, orang-orang zaman sekarang malas. Seperti yang saya katakan dalam ceramah pagi, orang yang malas berarti menyia-nyiakan kemampuan diri sendiri. Kita sungguh harus mengingatkan diri sendiri. Berbagai hal yang dilakukan manusia bisa menyebabkan bencana yang membawa penderitaan.

Namun, dalam organisasi besar seperti Tzu Chi, kita juga melihat banyak kehangatan. Contohnya di Qingdao, Provinsi Shandong, insan Tzu Chi pergi ke pedesaan untuk mengantarkan kehangatan di musim dingin. Baik yang jauh maupun yang dekat, entah memiliki hubungan darah ataupun tidak sama sekali, insan Tzu Chi tetap menganggap semua orang bagaikan keluarga sendiri, memperhatikan, dan membimbing mereka. Kita juga melihat cinta kasih insan Tzu Chi menjangkau semua lapisan masyarakat. Di Chiayi, sekelompok anggota Tzu Cheng dan komite merawat seorang bapak berusia 35 tahun yang mengalami keterbelakangan mental. Para insan Tzu Chi ini membersihkan seluruh bagian rumah bapak ini. Sampah di sana sangat banyak, bahkan saluran air pun tersumbat. Mereka bahkan harus bertelungkup di tanah untuk membersihkan sampah yang menyumbat. Lihatlah, jika bukan Bodhisatwa, siapa yang bisa memberikan cinta kasih tanpa pamrih seperti itu? Mereka membantu bapak itu, membersihkan barang-barang di rumahnya, dan membuang barang yang tak lagi layak pakai serta menggantinya dengan yang masih baru sesuai kebutuhan. Lihatlah, mereka mengasihinya bagai keluarga.

Selain itu, dalam bencana banjir di Myanmar, insan Tzu Chi juga membantu para korban. Satu-satunya harapan kita adalah membawa mereka keluar dari penderitaan fisik yang berwujud dan membimbing mereka menyelami Dharma yang tak berwujud agar di dalam batin mereka juga bisa tertanam benih-benih kebajikan. Kita juga memberi mereka benih padi. Demikianlah insan Tzu Chi memberi pertolongan lahir batin. Inilah sumbangsih Bodhisatwa dunia. Dengan benih padi yang kita berikan, mereka bisa bercocok tanam. Demikian pula, Buddha memberi kita ajaran agar kita dapat menggarap ladang batin masing-masing sehingga Dharma ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan dan berkembang menjadi tak terhingga. Dharma ini sungguh berharga. Jadi, kita harus selalu bersungguh hati.

Nafsu keinginan membawa pencemaran bagi bumi

Mengurangi sampah plastik demi menyelamatkan ekosistem laut

Bervegetaris dan menjaga kebersihan mulai dari sumbernya

Menyerap Dharma ke dalam hati dan menggarap ladang batin

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina

Ditayangkan tanggal 1 Januari 2015
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 30 Desember 2015
Dengan kasih sayang kita menghibur batin manusia yang terluka, dengan kasih sayang pula kita memulihkan luka yang dialami bumi.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -