Ceramah Master Cheng Yen: Menjaga Pikiran Agar Tidak Menyimpang

“Pada tahun 1979, saya baru memiliki anak ayam,” cerita Tu Mao-xing, relawan Tzu Chi.

“Saya mulai menjadi relawan pada tahun 1971. Dahulu, saya naik kereta malam beberapa hari dalam seminggu. Saat itu perjalanan dari Kaohsiung ke Hualien butuh waktu 10 jam. Setelah naik kereta 10 jam, kami merapikan diri dan berfokus mendengar Dharma. Setelah mendengar Dharma sepanjang pagi, saya kembali ke Kaohsiung untuk bekerja. Saya melakukannya selama 7 hingga 8 tahun. Hingga tahun 1979, saya baru memiliki anak ayam pertama saya, Chen Wen-quan,” lanjut Tu Mao-xing.

“Saya terus mengeluh tentang masalah keluarga saya pada Master. Saya berkata, ‘Saya sangat menderita, menikah dengan laki-laki yang begitu kolot.’ Master bertanya, ‘Berapa anggota keluargamu?’ Saya berkata, ‘Tiga orang. Saya sangat menderita.’ Master berkata pada saya, ‘Apa kamu tahu berapa anggota keluarga saya? Saya memiliki lebih dari 2.000 anggota keluarga yang sebelumnya tidak memiliki hubungan apa pun dengan saya. Hati kita harus seluas samudra yang meski dituangi berton-ton racun juga tidak akan membahayakan orang lain’,” tutur Lin Jin-gui, relawan Tzu Chi mengingat apa nasihat Master Cheng Yen padanya.

“Master berkata bahwa sebagai komite, kita jangan hanya duduk menunggu orang lain memberikan tugas. Sebaliknya, kita harus berinisiatif mencari tugas dan menawarkan bantuan pada orang lain,” ungkap Lin Yong-xiang, relawan Tzu Chi.

“Yang membimbing saya ialah Kakak Lin Yong-xiang. Dengan suara yang lantang, dia berbagi tentang Tzu Chi dalam perjalanan menuju Hualien,” ujar Wang Xiu-chun, relawan Tzu Chi.

“Dia menggenggam waktu dengan baik. Dia berkata, ‘Saat menghadapi kesulitan, semua makhluk hanya menjaga keselamatan diri sendiri. Namun, di Hualien ada seorang Master yang mendedikasikan hidupnya demi semua makhluk meski menghadapi berbagai kesulitan.’ Kalimat inilah yang membuat hati saya tergugah. Saya pernah mendengar Master berkata, ‘Kalian menjalankan Tzu Chi demi diri sendiri, bukan demi saya ataupun orang lain. Karena kalimat ini, saya terus bersumbangsih hingga kini,” aku Wang Xiu-chun.


Sungguh, janganlah kita melupakan tahun itu, orang itu, dan tekad itu. Lihatlah di Kaohsiung, tidak sedikit relawan yang sudah bersumbangsih lebih dari 30 tahun.

Kita bisa melihat Relawan Lin Jin-gui beserta suaminya dan Relawan Tu yang telah bersumbangsih selama 40 tahun lebih. Saat muda, Relawan Tu menjalani wajib militer di Hualien. Dia masih ingat dan bisa berbagi pengalamannya.

Jalinan jodoh Tzu Chi di Kaohsiung berawal dari Relawan Tu. Relawan Lin Jin-gui dan Qiu Guo-quan sering berkumpul di rumah Relawan Tu. Awalnya, saat saya pergi ke Kaohsiung, kita selalu berkumpul di rumah Relawan Tu. Dia mengundang teman-temannya ke rumahnya sehingga banyak orang yang terinspirasi. Meski ladang pelatihan saat itu sangat kecil, hanya di apartemen biasa yang tidak terlalu luas, tetapi dia bisa mengundang orang-orang ke sana dan menginspirasi mereka untuk bergabung menjadi relawan. Demikianlah Tzu Chi berkembang di Kaohsiung.

Dimulai dari satu relawan, kini kita telah memiliki lebih dari 8.000 anggota Tzu Cheng dan komite di sana. Demikianlah satu benih bertumbuh menjadi tak terhingga.

Setiap kali saya berkunjung ke Kaohsiung, setiap hari para relawan berbagi kisah-kisah yang penuh kehangatan. Pola hidup mereka sangat sederhana. Demikianlah pola hidup insan Tzu Chi Kaohsiung.


Kita juga melihat seorang relawan yang tekun mengikuti pelatihan. Wajahnya sudah pulih sekarang. Dia memperkenalkan dirinya pada saya dan berkata, “Master, saya sangat bersyukur kepada RS Tzu Chi Taipei yang memulihkan wajah saya.”

Saat bekerja di lokasi konstruksi, dia terjatuh dari lantai tiga dengan posisi wajah di bawah sehingga mengalami patah tulang serius. Dengan teknologi medis yang canggih dan perawatan yang penuh kehangatan, RS Tzu Chi Taipei menyatukan tulang wajahnya sepotong demi sepotong. Kita bisa melihat bahwa dia akan segera dilantik menjadi relawan. Jadi, kita bukan hanya menyelamatkan nyawanya, tetapi juga memperbaiki kehidupannya.

Dia juga berkata pada saya, “Saya sangat bersyukur kepada dr. Hsu Po-chih dan tenaga medis lainnya.” Inilah kehangatan kasih sayang antara tenaga medis dan pasien. Dia sangat bersyukur. Jadi, setiap orang hendaknya membina rasa syukur. Dengan adanya rasa syukur, barulah kita bisa merasakan kehangatan.

Saya juga bersyukur setiap hari. Saya bersyukur atas waktu yang sudah saya lalui dan bersyukur kepada para relawan Tzu Chi yang terus memberi pendampingan, bersumbangsih, dan menyebarkan semangat Tzu Chi di tengah masyarakat. Selain melenyapkan penderitaan orang-orang, kita juga membimbing mereka untuk bersumbangsih sebagai Bodhisatwa.

Ada banyak kisah yang hendaknya tidak kita lupakan. Kita bisa mengenang banyak kisah yang dapat terus diwariskan dan dijadikan teladan. Setelah memperbaiki kesalahan, mereka bersumbangsih sebagai Bodhisatwa. Ada banyak kisah seperti ini yang bisa dijadikan teladan. Kita harus memasukkan kisah seperti ini ke dalam sejarah Tzu Chi. Kita harus bersyukur pada setiap orang.


Hidup di dunia yang penuh bencana ini, kita juga harus bersyukur bisa hidup aman dan tenteram setiap hari. Namun, kita tetap harus waspada terhadap masa mendatang. Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus membangkitkan niat untuk melakukan kebajikan bersama.

Pikiran kita tidak boleh menyimpang. Pikiran yang menyimpang sedikit saja bisa menimbulkan bencana besar akibat ulah manusia. Ini bisa terjadi karena kelalaian sesaat.

Di Haiti sudah beberapa bulan terjadi pergolakan masyarakat. Pembakaran dan penjarahan terjadi setiap hari sehingga sangat kacau. Pikiran manusia yang tidak selaras dapat menimbulkan bencana alam dan bencana akibat ulah manusia yang sangat menakutkan. Karena itu, kita harus senantiasa bermawas diri dan berhati tulus.

Selama beberapa waktu, saya terus berkata bahwa segala sesuatu mengalami empat fase. Ketamakan, kebencian, dan kebodohan bisa membuat empat unsur alam tidak selaras. Bencana di alam semesta ini ditimbulkan oleh gejolak pikiran manusia. Ketidakselarasan pikiran manusia dapat menimbulkan bencana akibat ulah manusia yang sangat menakutkan.

Buddha datang ke dunia ini untuk mengajarkan kita bahwa di dunia yang penuh Lima Kekeruhan ini, Bodhisatwa dunia sangat dibutuhkan. Inilah yang Buddha ajarkan pada kita.

Setiap orang hendaknya melatih pikiran lewat masalah yang dihadapi dan memahami kebenaran lewat kondisi di sekitar kita. Jadi, setiap orang hendaklah lebih bersungguh hati setiap waktu.

Mengingat budi dokter yang memberi kehidupan baru
Menumbuhkan jiwa kebijaksanaan dan terjun ke tengah masyarakat
Menjaga pikiran agar tidak menyimpang
Menginspirasi relawan tak terhingga dan mewariskan teladan

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 09 Oktober 2019
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, 
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 11 Oktober 2019
Tanamkan rasa syukur pada anak-anak sejak kecil, setelah dewasa ia akan tahu bersumbangsih bagi masyarakat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -