Ceramah Master Cheng Yen: Menyelaraskan Pikiran Manusia dengan Cinta Kasih yang Tulus

Selama dua hari yang lalu, Si-cheng yang baru kembali dari Haiti memberikan laporan tentang dedikasi relawan kita selama bertahun-tahun di Haiti. Mereka bisa bersumbangsih dengan tekad yang teguh karena mempraktikkan latihan jangka panjang, latihan tanpa henti, latihan menyeluruh, dan latihan penghormatan. Dalam jangka panjang, mereka menjalankan Enam Paramita dan puluhan ribu praktik. Relawan kita memiliki hati Bodhisatwa.

Pada tahun 2010, Haiti diguncang gempa dahsyat. Saat kita menjangkau lokasi bencana, yang terlihat adalah wilayah yang porak-poranda, korban jiwa, korban luka-luka, dan sebagainya. Selain itu, kita juga melihat kondisi setempat yang serba kekurangan. Selama bertahun-tahun ini, Si-cheng telah mengunjungi Haiti lebih dari 60 kali. Setiap kali, dia pergi ke sana berhari-hari untuk memperhatikan, mendampingi, dan membantu warga setempat.

Selain harus mengatasi kesulitan, dia juga harus menerjang bahaya karena ada sebagian wilayah yang kondisi keamanannya sangat buruk dan sangat kekurangan, bahkan warga setempat pun tak berani mendekat. Meski demikian, dengan cinta kasih yang tulus, dia bisa memasuki wilayah yang berbahaya itu. Dia tetap menjangkaunya dengan cinta kasih yang tulus. Setiap kali dia pergi ke sana, selalu ada pasukan pemelihara perdamaian yang melindunginya.

doc tzu chi

Kini, saat melihat relawan kita, warga setempat selalu beranjali dengan khidmat. Selain itu, saat kita membagikan bantuan, mereka juga mengantre dengan tertib. Mereka menaati aturan dan tidak asal-asalan. Menghentikan kekerasan tidaklah sulit, asalkan kita memiliki kesabaran, cinta kasih, ketulusan, dan keberanian. Dengan keberanian bagai singa, relawan kita menjangkau wilayah tersebut.

Lihatlah, bukankah relawan kita telah menjangkau berbagai wilayah di Haiti untuk membagikan barang bantuan? Barang bantuan yang kita berikan dapat memenuhi kebutuhan warga selama beberapa waktu. Karena itu, saat melihat relawan kita, warga setempat bagaikan melihat penyelamat dalam hidup mereka dan sangat menghormati relawan kita. Pastor setempat juga mendampingi relawan kita. Beliau berbagi dengan warga setempat tentang Tzu Chi dan cinta kasih Tzu Chi.

Kita juga mendengar Si-cheng berbagi bahwa awalnya, ada banyak orang yang berdesak-desakan dalam pembagian bantuan. Di antara mereka, ada banyak orang yang menjinjing sepatu dengan satu tangan dan tangan lainnya memegang formulir pengambilan beras. Saya lalu bertanya padanya, “Mengapa sepatu dijinjing, bukan dipakai?” “Mengapa sepatu harus diangkat tinggi-tinggi?”

doc tzu chi

Dia berkata bahwa warga setempat khawatir saat berdesak-desakan, sepatu mereka akan lepas. Sepatu sangat berharga bagi mereka. Mereka khawatir saat berdesak-desakan, sepatu mereka akan lepas dan hilang. Karena itu, mereka mengangkat sepatu tinggi-tinggi dan menjinjing sepatu mereka. Lihatlah, mereka begitu kekurangan. Saya sungguh tidak tega mendengarnya. Sulit bagi kita untuk membayangkannya. Banyak orang yang membuang sepatu yang masih bisa dipakai, sedangkan mereka begitu menghargainya. Hidup kita di Taiwan begitu makmur, bisakah kita tidak bersyukur?

Kita bisa melihat penderitaan yang tak terkira di Yaman. Pada awal bulan April, PBB mengeluarkan sebuah pernyataan. Seperti yang kalian lihat, anak-anak dilanda kelaparan. Rata-rata, setiap 10 menit ada satu anak yang mati kelaparan. Akibat malnutrisi, seorang laki-laki dewasa hanya bisa merangkak dengan kedua tangan dan kakinya. Lihatlah, tubuhnya kurus kering, hanya tulang berbalut kulit. Ada banyak orang sepertinya di Yaman.

Bodhisatwa sekalian, hidup mereka bagai berada di alam neraka. Kehidupan seperti di alam neraka sudah bisa kita lihat di alam manusia. Mereka jatuh sakit dan tidak bisa berobat. PBB sedang mengusahakan pelayanan medis untuk warga setempat. Namun, ada berapa banyak warga yang bisa menerima pengobatan? Tidak ada. Bodhisatwa sekalian, kita sungguh harus bersyukur. Di Taiwan, sekolah-sekolah di Taipei saja menyisakan berton-ton makanan dalam sehari. Setelah terus-menerus melakukan sosialisasi, kini jumlah sisa makanan sudah berkurang.

doc tzu chi

“Pada akhir tahun 2015, statistik menunjukkan bahwa dalam sehari, dihasilkan sekitar 10 ton sisa makanan. Namun, berkat kerja keras selama satu hingga dua tahun ini, jumlahnya perlahan-lahan menurun. Contohnya di Taipei, sisa makanan yang dihasilkan telah menurun dari 10 ton menjadi 6 ton,” kutipan wawancara You Xuan-wen, Ahli gizi John Tung Foundation

Kita harus menghargai berkah. Kita harus menerapkan pola makan cukup 80 persen kenyang. Jika bisa makan dengan perhitungan itu, kita akan memperoleh gizi yang dibutuhkan dan tubuh yang sehat. Makan secara berlebihan malah akan berdampak buruk bagi kesehatan dan menghasilkan banyak sampah di dalam tubuh. Alangkah baiknya jika kita bisa makan cukup 80% kenyang dan menyisihkan 20% untuk menolong sesama.

Kita telah menggalakkan pola makan ini selama bertahun-tahun. Saya berharap insan Tzu Chi dapat menerapkan pola makan cukup 80% kenyang dan menyisihkan 20% untuk menolong sesama, lalu berbagi dengan teman dan kerabat tentang pola makan ini. Lihatlah, bukan hanya insan Tzu Chi yang berusaha untuk menggalakkannya, bahkan sekolah kita juga berusaha mengajari anak-anak hal ini.

Agar mereka tidak menyisakan makanan, kita mengadakan kegiatan untuk mengimbau anak-anak menghabiskan makan siang mereka. Kita juga berharap mereka menghargai makanan tulus dari lubuk hati mereka. Drama singkat adalah media yang sangat baik. Dengan cara inilah sekolah kita membimbing anak-anak menyadari dan menghargai berkah serta menjaga kesehatan.

“Kami harus sepenuh hati mencuci piring, baru bisa menggunakan alat makan yang bersih. Kami membuang tangkai tomat, lalu memisahkan tomat yang sudah membusuk. Bagian pangkal dan ujung taoge harus dibuang,” kutipan dari siswa-siswa SD Tzu Chi Hualien saat membantu menyiapkan makanan.

“Saya merasa bahwa para bibi di dapur sangat bekerja keras karena mereka harus menyiapkan makanan untuk semua orang di sekolah. Mereka harus menyiapkan banyak makanan dengan tenaga yang terbatas. Karena itu, kita harus menghargai makanan,” kutipan wawancara Tang Yun-xi, Murid SD Tzu Chi Hualien

“Saya sangat gembira bisa melakukan ini karena saya bisa membantu para paman dan bibi agar pekerjaan mereka menjadi lebih ringan dan selesai lebih cepat,” kutipan wawancara Xu Jin-qian, Murid SD Tzu Chi Hualien.

“Anak-anak berkata bahwa meski baru bekerja belasan menit, tangan mereka sudah sangat pegal. Kami berharap lewat kegiatan ini, anak-anak bisa merasakan kerja keras orang lain dan bersyukur atas apa yang mereka miliki,” kutipan wawancara Liu Rui-feng, Guru SD Tzu Chi Hualien.

Mereka bersungguh hati membimbing anak-anak. Akan tetapi, ada berapa banyak orang yang bisa bersungguh hati seperti mereka? Kita hidup di era kemunduran Dharma di mana orang-orang berpikiran menyimpang dan menyimpang dari jalan kebenaran. Akibatnya, karma buruk kolektif semua makhluk semakin banyak. Semakin memikirkannya, saya semakin khawatir.

Kita bisa melihat berbagai penderitaan yang ditimbulkan oleh peperangan dan bencana alam, seperti kekeringan dan bencana lainnya. Lihatlah, ini sungguh mengkhawatirkan. Semakin banyak karma buruk kolektif, maka bencana akan semakin kerap terjadi. Kita sungguh harus mawas diri dan berhati tulus.

Hidup yang serba kekurangan mendatangkan penderitaan tak terkira
Menyelaraskan pikiran manusia dengan cinta kasih universal yang tulus
Kehidupan orang yang dilanda krisis pangan dan kelaparan bagai berada di alam neraka
Menggalakkan pola makan vegetaris demi menjaga kesehatan dan menolong sesama

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 03 Mei 2017
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal  05 Mei 2017

Kendala dalam mengatasi suatu permasalahan biasanya terletak pada "manusianya", bukan pada "masalahnya".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -