Dharma adalah Pusaka yang Tak Ternilai

“Menurut Anda bagaimana yang leluasa?” tanya salah satu relawan Tzu Chi kepada Nenek Zhou yang berusia 89 tahun. “Saya biasanya begini,” jawab Nenek Zhou. Hari itu para relawan Tzu Chi memasang pegangan tangan di kamar kecil bagi lansia di 14 keluarga. “Apakah terlalu rendah jika Anda berdiri?” tanya relawan lagi, dan dijawab, “Tidak, ini sudah pas,” oleh sang nenek. Untuk memastikan kenyamanannya, relawan meminta nenek untuk mencoba pegangan tangan yang baru saja mereka pasang. “Coba Anda berdiri untuk mencobanya,” pinta relawan. “Sudah cukup ada ini. Saya bisa berdiri dengan mudah,” ujar nenek sambil mencoba pegangan tangan barunya. Selain Nenek Zhou, ada pula Kakek Wang yang mengatakan, “Dengan berpegangan padanya (pegangan tangan), saya merasa terbantu. Saya tidak takut terjatuh.”

Kita bisa melihat banyak orang baik dan Bodhisatwa yang mengembangkan cinta kasih untuk mengantarkan kehangatan di tengah penderitaan. Pelayanan yang diberikan oleh Tzu Chi kepada masyarakat Taiwan bisa kita lihat di berbagai tempat. Di Taiwan ada banyak sekali lansia. Mereka tinggal di wilayah pegunungan dan dataran rendah. Kini banyak lansia yang tinggal sendiri karena anak-anak mereka telah meninggalkan kampung halaman. Banyak lansia yang hidup sebatang kara dan tidak bisa bergerak dengan leluasa. Karena itu, insan Tzu Chi menuju ke komunitas, wilayah pegunungan, pedesaan, dan lain-lain untuk memberikan perhatian untuk memberikan perhatian kepada lansia yang tidak leluasa bergerak. Insan Tzu Chi membantu mereka merapikan rumah, memasang pegangan tangan, dan memperbaiki lubang-lubang pada lantai agar para lansia dapat berjalan dengan aman.

Meski sebagian besar masyarakat kita adalah lansia, tetapi lansia yang melayani lansia juga sangat banyak. Mereka membangkitkan niat baik untuk bergabung dalam barisan Bodhisatwa. Adakalanya, kita bisa melihat relawan yang berusia lanjut membantu lansia yang lebih muda darinya. Inilah orang yang memiliki Dharma di dalam hati. Harapan mereka adalah bisa membantu sesama selamanya dan selalu berjiwa muda. Kita yang melihatnya juga merasa sangat gembira.

Pemandangan yang penuh kehangatan sangat banyak karena mereka melakukannya setiap hari. Namun, ketidakkekalan selalu terjadi secara tiba-tiba. Contohnya pada petang hari dua hari yang lalu, di Penghu, ada sebuah kapal riset kelautan yang perlahan-lahan oleng hingga akhirnya tenggelam. Tim penyelamat segera menggunakan helikopter untuk melakukan upaya penyelamatan dan lain-lain. Begitu insan Tzu Chi menerima berita ini, mereka segera bergerak untuk membantu. Langkah pertama yang insan Tzu Chi lakukan adalah mempersiapkan teh jahe, lalu mempersiapkan makanan hangat, pakaian hangat, dan lain-lain. Di saat genting seperti itu, banyak insan Tzu Chi yang segera bergerak untuk membantu. Orang yang mengalami luka ringan berjumlah lebih dari 20 orang. Insan Tzu Chi segera pergi ke RS untuk memberikan perhatian. Insan Tzu Chi menganggap mereka bagai anaknya sendiri. Insan Tzu Chi menggunakan cinta kasih orang tua untuk menenangkan mereka.

Bagi korban yang mengalami luka serius, selain memberikan perhatian, insan Tzu Chi juga mendampingi mereka hingga keluarga mereka datang. Bagi korban luka ringan yang sudah boleh pulang, kita juga memberikan dana solidaritas dan sebuah hadiah kecil untuk meredakan trauma mereka. Inilah kehangatan dan kekuatan cinta kasih dalam hidup ini.

Yang paling menggembirakan adalah melihat perayaan ultah Tzu Chi AS yang ke-25. Seluruh insan Tzu Chi di Amerika Serikat berkumpul untuk merayakannya. Mereka mengadakan serangkaian kegiatan dengan sangat baik. Selain itu, empat misi Tzu Chi juga telah dijalankan dengan baik di sana. Sesungguhnya, misi kesehatan Tzu Chi di sana dimulai dengan menjalankan baksos kesehatan. Selain itu, ada pula misi amal, misi pendidikan, dan misi budaya humanis. Semua itu mereka emban dengan sepenuh hati. Amerika Serikat berada begitu jauh dari Taiwan, tetapi murid-murid saya ini sangat bersungguh hati. Saya meminta mereka untuk menjalankan misi secara mandiri. Stephen Huang berkata, “Mana ada guru seperti ini? Tidak memberi kami uang, juga tidak memberi orang kepada kami. Hanya meminta kami untuk mandiri.”

Stephen Huang kemudian memulai ceritanya mengenai bagaimana ia bisa menjadi murid saya. “Saat itu saya telah berimigrasi ke Amerika Serikat selama lebih dari 20 tahun. Dalam suatu acara makan bersama, Kakak Cai Ci Xi memperkenalkan kepada saya tentang Tzu Chi. Dia sangat ramah. Beberapa hari kemudian, dia memberikan saya sebuah buku yang berjudul “Dunia Tzu Chi Master Cheng Yen”. Setelah membaca buku itu, saya menyadari bahwa bhiksuni ini agak berbeda dengan bhiksuni lain yang pernah saya kenal. Pertama, beliau hidup secara mandiri. Jika sehari tidak bekerja, maka beliau sehari tidak makan. Kedua, beliau membangun rumah sakit. Ini sungguh membuat saya terkejut. Tentu saja, setelah bertemu dengan Master, di dalam hati saya, selain sangat menghormati dan mengagumi Master, saya juga sangat ingin berguru pada Master. Saya ingin membawa semangat Tzu Chi serta misi Tzu Chi ke Amerika Serikat. Saat itu saya berpikir, “Baik, saya akan membangun ikrar besar. Master bisa berikan saya dana atau orang? Paling tidak berikan salah satu, bukan?” Tidak disangka, Master hanya memberi saya delapan kata ini, “Embanlah misi secara mandiri, berdayakan sumber daya setempat.” Dalam hati saya berpikir, “Mana ada guru seperti ini?” Tentu saja, sekarang dipikir-pikir, saya sungguh bersyukur. Selamat datang insan Tzu Chi. Acara minum teh adalah cara pertama yang kami lakukan untuk masuk ke komunitas dan hati manusia. Bagaimana saya merintis karier saya dahulu, begitulah cara yang saya gunakan untuk membantu Master. Kami keluar pagi dan pulang malam. Di mana pun kami dibutuhkan, kami akan pergi. Kami pergi ke mana saja. 25 tahun sama dengan seperempat abad. Bagi saya, ini adalah sebuah awal. Master selalu berkata misinya berlangsung selamanya. Sebelum dunia tersucikan, maka Tzu Chi tidak akan berhenti. Tzu Chi Amerika Serikat juga hendaknya membangun ikrar ini.” Begitulah kisahnya.

Mereka tinggal di negara yang makmur. Tentu saja, Dharma yang saya wariskan adalah pusaka yang tidak berwujud. Pusaka itu hendaknya dikembangkan hingga menjadi tak terhingga. Saya berkata kepada mereka bahwa itu masih tidak cukup. Untuk membimbing seluruh makhluk hidup di dunia, setiap orang harus mengerahkan segenap hati dan tenaga. Namun, ini juga bisa dimengerti. Tempat lahirnya Tzu Chi adalah di Taiwan. Setiap kali kembali ke Taiwan, mereka harus menempuh perjalanan selama lebih dari 20 jam. Meski harus menempuh perjalanan yang jauh, tetapi hati mereka sangat dekat dengan saya. Lihatlah mereka. Jika tak bilang mereka adalah insan Tzu Chi Amerika Serikat, saya bisa mengira adalah insan Tzu Chi Taiwan. Pertama, itu karena mereka sangat dekat dengan hati saya. Kedua, karena semua orang yang terlihat adalah orang Tionghoa. Sungguh, jumlah warga setempat yang bergabung sangatlah sedikit. Kita hendaknya membabarkan ajaran Buddha agar semangatnya dapat merambat hingga ke sana. Kita harus menanam benih di sana dan bertumbuh lebat.

Puluhan tahun berlalu, di wilayah Amerika Serikat yang luas sudah seharusnya ada relawan lokal. Kita harus menginspirasi lebih banyak warga lokal. Ajaran Buddha sangatlah baik. Jika ajaran sebaik ini tidak dibabarkan ke sana, maka sungguh disayangkan. Saya mengucapkan kata-kata ini untuk menyemangati kalian. Saya berharap kalian dapat menerima dukungan dari saya. Semoga setiap orang dapat seperti pohon besar yang mengakar dengan kuat dan bertumbuh dengan lebat. Setiap murid Jing Si dan relawan Tzu Chi sungguh harus bekerja keras. Melihat ketulusan dan keharmonisan kalian lewat tayangan itu, saya sangat berterima kasih.

Tekun dan bersemangat untuk membantu lansia

Memberikan perhatian dengan tulus untuk meredakan trauma

Pusaka Dharma yang tak berwujud tumbuh menjadi tak terhingga

Menginspirasi Bodhisatwa  di berbagai tempat

Umur kita akan terus berkurang, sedangkan jiwa kebijaksanaan kita justru akan terus bertambah seiring perjalanan waktu.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -