Melatih Diri dan Mempraktikkan Dharma

Saya sangat berterima kasih kepada kalian yang telah mengesampingkan kesibukan, keluarga, dan karier demi meluangkan waktu untuk menumbuhkan jiwa kebijaksanaan. Inilah hal yang paling membahagiakan bagi saya. Saya selalu berkata bahwa Griya Jing Si adalah sandaran bagi para relawan Tzu Chi. Saya berharap insan Tzu Chi berbagi Dharma di tengah masyarakat agar setiap orang dapat mendengar Dharma. Ini adalah harapan saya. Empat puluh sembilan tahun lalu, sejak Badan Amal “Ke Nan” Tzu Chi berdiri, semangat inti kita adalah bekerja demi ajaran Buddha dan demi semua makhluk. Sejak awal, saya sudah menetapkan arah tujuan saya. Kalian bisa menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Kalian juga bisa bertanya kepada para relawan senior yang sudah mengikuti saya sejak awal dan sudah lama mengenal saya, apakah arah tujuan saya pada masa awal berbeda dengan sekarang atau tidak. (Tidak) Arah tujuan saya tak pernah berubah.

Selain itu, demi membimbing kalian menyerap Dharma ke dalam hati, saya selalu bangun pagi-pagi untuk memberikan ceramah. Entah mengapa setiap pagi, saat baru bangun tidur, saya selalu merasa ada selaput lendir pada tenggorokan saya sehingga sangat sulit bagi saya untuk mengeluarkan suara. Sambil mengeluarkan suara, saya sambil berusaha menghilangkan lendir itu, tetapi selalu tidak bisa. Ini membuat saya merasa bahwa tubuh manusia sungguh tidak bersih. Semakin berusia lanjut, semakin banyak hal yang tak bisa saya kendalikan. Karena itu, tak peduli bagaimana kondisi cuaca dan bagaimana kondisi tubuh saya, saya tetap bersikeras untuk memberikan ceramah.

Saya harus memanfaatkan waktu karena kalian begitu sepenuh hati dan penuh cinta kasih membantu saya bekerja demi ajaran Buddha dan demi semua makhluk. Kalian begitu tekun dan bersemangat, bagaimana boleh saya bermalas-malasan? Kalian begitu mendedikasikan diri. Bagaimana cara saya membalas budi kalian? Saya sangat memercayai hukum karma. Saya sangat berharap setiap orang dapat melenyapkan noda dan kegelapan batin. Jika pada kehidupan ini kita tidak segera melenyapkannya, entah di mana kita akan terlahir pada kehidupan mendatang. Karena itu, kita harus menyerap Dharma ke dalam hati dan menggunakannya untuk membersihkan batin agar kita bisa merenung secara mendalam dan mencapai Dhyana.

Untuk mencapai Dhyana, kita harus melatih pikiran kita. Sebelum mengatakan sesuatu, kita harus memikirkannya baik-baik. Kita harus merenung dan berpikiran jernih tentang hal yang akan kita katakan. Sebelum mengulurkan tangan untuk melakukan sesuatu, kita juga harus memikirkannya baik-baik. Sebelum kaki melangkah dan sebelum menentukan arah tujuan, kita juga harus memikirkannya baik-baik. Kita harus bisa membedakan yang benar dan salah dengan sangat jelas. Ini yang disebut Dhyana. Setelah membedakan yang benar dan salah, kita harus bertekad dan meneguhkan pikiran kita. Pada saat itu, pikiran kita akan selalu terfokus. Dengan pikiran yang terfokus, kita akan memperoleh Dharma. Jadi, konsentrasi melahirkan Dharma. Batin kita harus bebas dari noda batin. Untuk itu, hanya ajaran Buddha yang mengajarkan tentang Dhyana. Sesungguhnya, Dhyana adalah kondisi batin yang dapat kita latih dalam keseharian.

Sejak dahulu, saya sudah berkata bahwa untuk mempelajari ajaran Buddha, kita membutuhkan waktu. Untuk membina berkah dan kebijaksanaan, kita harus terjun ke tengah umat manusia. Dari sumbangsih di tengah umat manusia, kita bisa memahami kebenaran hidup.  Dengan menjangkau orang-orang yang hidup menderita, kita bisa meringankan penderitaan mereka dan menjalin jodoh baik dengan mereka sebelum mencapai kebuddhaan. Dengan begitu, pada kehidupan mendatang, hanya dengan melihat kita, mereka sudah merasa gembira. Saya dahulu pasti menjalin jodoh baik dengan kalian sehingga kini hanya dengan melambaikan tangan, kalian langsung mau mengikuti saya. Kalian membantu dan mengikuti saya tanpa memiliki pamrih. Kalian melakukan hal yang ingin saya lakukan dan mengasihi orang yang ingin saya kasihi. Kalian sudah membantu saya melakukan semua itu.

Lihat, inilah jalinan jodoh. Pada kehidupan lalu, kita pasti pernah melatih diri bersama-sama dan saling menyemangati. Karena itulah, kita bisa menjadi guru dan murid dari kehidupan ke kehidupan. Pada kehidupan ini, kalian menjadi murid saya. Mungkin pada kehidupan mendatang, giliran saya yang menjadi murid kalian. Namun, kalian tetap harus terjun ke tengah umat manusia untuk menjalin jodoh baik dengan banyak orang. Inilah yang dimaksud “500 tahun lalu, guru membimbing murid, 500 tahun kemudian, murid yang membimbing guru”. Ingatlah, kelak saat bertemu saya, kalian harus membimbing saya dengan baik. Kita harus percaya bahwa selama pikiran kita dan tujuan kita selalu ingin bersumbangsih bagi umat manusia dan masyarakat, maka kita tak akan pernah jauh dari Puncak Burung Nasar yang ada di dalam hati.

Untuk mempraktikkan Dharma di dalam hati, kita harus terjun ke tengah masyarakat. Setiap orang adalah Sutra hidup bagi kita. Karena itu, setelah mendengar Dharma, kita harus menerima dan mempraktikkannya. Kita jangan hanya menyimpannya di dalam hati. Setelah mendengar satu ajaran, kita harus memahami sepuluh atau seribu kebenaran. Setelah memahaminya, kita akan tahu bahwa Puncak Burung Nasar tidak perlu dicari jauh-jauh karena ia ada di dalam hati dan pikiran kita. Jadi, Dharma ada di dalam hati kita. Dengan melatih pikiran, kita akan menyadari bahwa sesungguhnya Dharma ada di dalam hati kita.

Di dalam hati setiap orang terdapat pagoda Puncak Burung Nasar. Sungguh, dengan pikiran terfokus, kita bisa memperoleh Dharma. Pagoda Puncak Burung Nasar ini sungguh ada di dalam hati setiap orang. Jika ingin memberi manfaat bagi umat manusia, kita harus melatih semangat Mahayana untuk membimbing diri sendiri dan orang lain. Sesungguhnya, ini bukan hanya bisa dilakukan oleh Buddha, Bodhisatwa Manjusri, Bodhisatwa Avalokitesvara, dan Bodhisatwa Maitreya, tetapi bisa dilakukan oleh setiap orang.

Dengan melatih diri, keluhuran kita akan terwujud ke luar. Kita harus melatih ke dalam diri dan mewujudkannya ke luar lewat tindakan. Ini yang disebut membina keluhuran. Untuk mewujudkan keluhuran, kita harus terus melatih diri dengan sepenuh hati dan tekad. Jadi, setiap orang memiliki pagoda Puncak Burung Nasar di dalam hati. Asalkan kita membangun dan mempertahankan tekad serta berpegang pada arah tujuan, maka kita akan menemukan ladang pelatihan diri yang terbaik. Kita harus melatih diri dengan baik. Kita harus meneguhkan tekad untuk tidak meninggalkan Puncak Burung Nasar.

Ada apa di Puncak Burung Nasar? Tahukah kalian? (Pembabaran Sutra Bunga Teratai) Ya. Pembabaran Sutra Bunga Teratai. Lebih dari 2.000 tahun lalu, Buddha membabarkan Sutra Bunga Teratai di Puncak Burung Nasar. Kini pembabaran Sutra Bunga Teratai kita juga telah dimulai. Saya berharap kalian tidak hanya mendengar Dharma, tetapi bisa mempraktikkannya. Jalan yang ditapaki oleh insan Tzu Chi ini adalah Jalan Bodhisatwa. Karena itu, belakangan ini saya sering berbagi tentang kontribusi insan Tzu Chi di seluruh dunia. Setiap relawan Tzu Chi adalah Bodhisatwa dunia. Dengan mengetahui kontribusi relawan Tzu Chi lain, kita hendaknya terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Untuk itu, kita harus selalu bersungguh hati.

 

Menyebarkan hal yang tidak benar dapat menciptakan karma buruk

Konsentrasi melahirkan Dharma dan melenyapkan noda batin

Melatih diri di tengah masyarakat agar kebijaksanaan bertumbuh

Menampilkan keluhuran lewat pelatihan diri dan praktik nyata

 

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Karlena, Rita

Ditayangkan tanggal 11 Juli 2014.


Penyakit dalam diri manusia, 30 persen adalah rasa sakit pada fisiknya, 70 persen lainnya adalah penderitaan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -