Suara Kasih: Mendekatkan Diri dengan Dharma

 

 

Judul Asli:

Mendekatkan Diri dengan Dharma dan Menjalankan Misi

Sebersit pikiran yang menyimpang bisa membuat kita jauh tersesat
Terus mendekatkan diri dengan Dharma agar tidak semakin jauh dari Dharma
Hati anak-anak yang murni menampilkan hakikat kebuddhaan
Membuka hati untuk menjalankan misi

“Pada tahun 2008, daya penglihatan saya mulai melemah hingga hampir buta. Akan tetapi, saya selalu mendengar ceramah Master. Dari ceramah Master, saya mengetahui bahwa kita harus menciptakan berkah dan mengikis karma buruk sendiri. Saya menerima kondisi saya sekarang dengan hati yang tulus karena Master berkata bahwa, “Meski mata tak dapat melihat, mata hati kita jangan ikut buta.” Saya berikrar setelah kembali ke Malaysia, saya akan lebih giat menggalang Bodhisatwa dunia,” kata seorang relawan.

Kisahnya sungguh menyentuh. Dia adalah teladan bagi kita semua. Banyak orang memiliki daya penglihatan yang baik, tetapi hati mereka buta sehingga menjadi mudah berjalan menyimpang. Manusia hidup menderita karena berjalan menyimpang. Saat pikiran menyimpang, kita tidak dapat mengendalikan diri sendiri. Saya sering berkata bahwa manusia hidup menderita karena tidak dapat mengendalikan diri. Hukuman terbesar bagi manusia adalah penyesalan akibat pikiran yang menyimpang yang membuat kita jauh tersesat. Menyadari dan menyesali kesalahan adalah hal tersulit bagi manusia. Sebagai praktisi Buddhis, kita harus memiliki pikiran yang jernih dan memiliki pemahaman yang benar. Terhadap segala sesuatu di dunia, kita harus bisa membedakan yang benar dan salah. Dengan demikian, barulah kita tidak akan berjalan menyimpang. Saya juga melihat beberapa alumni Tzu Ching, di antaranya ada sepasang suami istri. Mereka berkenalan saat menjadi anggota Tzu Ching. Mereka memiliki satu tekad yang sama. Suaminya adalah dokter bedah, sedangkan istrinya adalah dokter anak. Selama beberapa tahun ini, tekad pelatihan diri mereka tidak pernah terputus. Mereka bertekad untuk terus bersumbangsih. Karena memiliki welas asih, mereka tidak tega melihat warga di daerah pedalaman yang hidup kurang mampu dan menderita penyakit. Karena itu, mereka memutuskan untuk terjun ke daerah pedalaman guna melindungi kehidupan dan menjaga kesehatan para warga dengan penuh cinta kasih. Meski masih muda, mereka sudah dapat berkontribusi seperti itu. Saya juga melihat para Bodhisattva lansia yang sudah berusia 70 hingga 80-an tahun, namun masih mempertahankan tekad awal mereka. Mereka tidak merasa tua. Bagi saya, mereka selamanya tidak akan tua karena mereka memiliki hati Bodhisatwa yang setara dengan Buddha.

Beberapa hari yang lalu, saya mengulas tentang sekelompok anak-anak di Malaysia yang melihat bencana Badai Sandy di New York. Saat guru bertanya, “Apakah kalian ingin mendonasikan uang?” Anak-anak menjawab, “Mau.” “Mengapa ingin mendonasikan uang?” “Karena para warga di Amerika Serikat tidak memiliki makanan.” Setelah penggalangan dana, guru kembali bertanya, “Apakah kalian ingin berdoa untuk para korban bencana?” Semua siswa berkata bahwa mereka ingin berdoa. Pada saat berdoa, salah seorang anak meneteskan air mata. Sang guru bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Dia berkata, “Saat berdoa, saya seperti melihat bencana di Amerika Serikat.” “Rumah mereka semua hancur.” “Mereka tidak punya rumah dan tidak punya makanan.” “Mereka sangat kasihan, jadi saya menangis.”

Bayangkanlah, dia baru berusia 4 tahun, tetapi hatinya sudah bisa turut merasakan penderitaan orang lain. Karena tidak tega melihat orang lain menderita, Karena tidak tega melihat orang lain menderita, dia menangis. Ada pula seorang anak yang berusia 5 tahun. Saat berdoa, dia bernyanyi dengan suara lantang. Dia berkata bahwa dia harus bernyanyi dengan suara yang sangat keras agar para korban bencana di New York bisa mendengar bahwa ada orang yang berdoa bagi mereka dengan hati yang sangat tulus. Anak itu baru berusia 5 tahun, tetapi sudah memiliki hati yang begitu tulus untuk berdoa bagi korban bencana yang sangat jauh.

Saya sering berkata bahwa hati, Buddha, dan semua makhluk pada dasarnya tiada perbedaan. Hati anak-anak yang begitu murni adalah hakikat kebuddhaan. Hakikat kebuddhaan mereka belum tercemar oleh kondisi luar. Buddha juga berkata bahwa setiap orang memiliki hakikat kebuddhaan. Hanya saja, sebersit pikiran menyimpang bisa membangkitkan tiga aspek halus sehingga merintangi tekad pelatihan diri kita. Karena itu, janganlah kita bersikap sombong. Kesombongan bisa merintangi pelatihan diri kita dan merintangi diri kita untuk mempelajari ajaran Buddha. Pada awalnya, setiap orang memiliki tekad yang teguh untuk mempelajari ajaran Buddha.

Pada tahun pertama, Buddha terlihat bagai di depan mata; pada tahun kedua, Buddha terlihat bagai di langit; pada tahun ketiga, Buddha menjadi tak terlihat. Ini semua akibat kesombongan. Tidak sedikit relawan Tzu Chi yang semakin lama semakin jarang terlihat. Karena itu, Buddha mengajarkan kepada kita untuk memiliki tekad yang teguh dalam melatih diri. Kita harus mendekatkan diri dengan Dharma agar Dharma tidak semakin jauh dari kita. Untuk itu, kita harus tekun dan bersemangat. Karena itu, saya sering berkata bahwa Sutra menunjukkan jalan, dan jalan harus dipraktikkan. Sebagai manusia awam, kita harus belajar bagaimana menjadi Bodhisattva dan bagaimana menapaki Jalan Bodhisatwa. Ini semua membutuhkan tekad yang teguh dan praktik nyata. Jadi, kita harus memiliki Buddha di dalam hati dan mempraktikkan Dharma dalam keseharian. Kita harus memiliki Buddha di dalam hati. Dengan mengembangkan hati Buddha dan mempratikkan Dharma lewat tindakan nyata, kita akan semakin dekat dengan kebijaksanaan dan pencerahan Buddha. Karena itu, kita harus sangat bersungguh hati.

Dimulai sebagai manusia awam, kita menapaki Jalan Bodhisattva sehingga semakin dekat dengan Dharma yang sesungguhnya. Inilah kebenaran yang murni tanpa noda. Inilah yang harus kita pelajari dengan sungguh-sungguh. Kita harus mengandalkan diri sendiri untuk berlatih sesuai ajaran Jing Si. Segala kontribusi kita bukanlah demi mengejar keuntungan dan ketenaran, melainkan demi membantu semua makhluk agar bisa menjadi Bodhisattva. Kita harus menginspirasi setiap orang untuk membangun tekad yang teguh dalam melatih diri. Kita harus menjadi teladan bagi orang lain.

Bodhisatwa sekalian, kalian telah kembali ke Taiwan agar saya bisa menjadi saksi dan melantik kalian secara langsung. Akan tetapi, saya tidak tinggal di negara yang sama dengan kalian, bagaimana saya tahu kalian sudah tekun atau tidak, bagaimana saya tahu hati kalian murni atau tidak? Saya tidak tahu. Akan tetapi, kalian semua harus bertanggung jawab kepada saya, ya. Saya melantik kalian karena saya memercayai kalian. Saya yakin kalian semua memiliki tekad yang sangat murni dan tidak akan mundur untuk terus giat berjalan di Jalan Tzu Chi. Semoga ajaran Jing Si dan mazhab Tzu Chi bisa senantiasa ada di dalam hati kalian. Jadi, ladang pelatihan batin harus dibangun dalam hati masing-masing. Dengan demikian, barulah kita bisa membuka hati untuk memikul tanggung jawab bagi semua orang di dunia. Di mana pun bantuan dibutuhkan, kita akan berangkat ke sana untuk memberikan bantuan. (Diterjemahkan Oleh: Laurencia Lou)

 
 
Kesuksesan terbesar dalam kehidupan manusia adalah bisa bangkit kembali dari kegagalan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -