Surga dan Neraka Bersumber dari Pikiran Manusia

Perang saudara di Suriah sudah berlangsung hampir empat tahun dan telah mengakibatkan 3,2 juta orang harus mengungsi ke negara lain. Para warga harus mengungsi dan terus berkelana tanpa ada tempat tinggal yang tetap. Di manakah rumah mereka? Selain keluarga tercerai-berai, mereka juga harus mengungsi ke berbagai tempat. Ini sungguh menderita. Terlebih lagi, kini sudah memasuki musim dingin. Musim dingin merupakan sebuah tantangan baru bagi para pengungsi. Mereka yang kehilangan tempat tinggal terpaksa mengungsi ke berbagai negara. Ada beberapa Negara yang mengizinkan para pengungsi mendirikan tenda di perbatasan.

Bayangkanlah, tenda-tenda tersebut  didirikan di atas tanah. Begitu turun hujan, seluruh kawasan itu akan penuh dengan lumpur. Para pengungsi yang tinggal di bawah tenda harus melewati hari di tengah lumpur. Terkadang juga terjadi angin ribut dan turun salju di sana. Coba bayangkan, bagaimana tenda-tenda yang tipis itu dapat menahan terpaan angin, hujan, dan salju? Bagaimana mereka melewati hari-hari seperti ini?

Selama hampir empat tahun ini, insan Tzu Chi selalu memberikan perhatian dan membawa kehangatan kepada mereka. Kita hanya bisa berusaha semampu kita. Selebihnya, kita juga tidak berdaya. Banyak kisah menyedihkan di Suriah. Awalnya, kondisi negara mereka sangat aman dan tenteram. Pikiran segelintir orang yang tidak selaras telah mendatangkan konflik bagi masyarakat dan menciptakan tragedi bagi umat manusia. Inilah kepedihan dan kesedihan umat manusia. Penderitaan mereka sungguh tak terkira.

Kita juga bisa melihat hal yang menggembirakan, yaitu peringatan ultah Tzu Chi AS yang ke-25. Di sebuah tempat yang agung, para relawan menampilkan budaya humanis Tzu Chi dan berbagi tentang kegiatan Tzu Chi di AS selama lebih dari 20 tahun ini. Di gereja tersebut, para anggota Tzu Cheng juga menunjukkan semangat budaya humanis Tzu Chi. Mereka mementaskan kisah tentang Mereka mementaskan kisah tentang perjalanan Mahabhiksu Jian Zhen ke Jepang di gereja setempat. Ketertiban formasi yang mereka bentuk membuat saya merasa sangat tersentuh. Yang lebih penting adalah waktu yang berlalu dengan sangat cepat.

Hari ini pada 20 tahun yang lalu, kita mulai menginjakkan kaki di Kamboja. Konflik umat manusia dan bencana alam yang terus terjadi mengakibatkan seluruh warga di sana hidup kekurangan. Kita bisa melihat para warga tinggal di rumah yang ditinggikan. Di bawah rumah mereka, ada kerbau, babi, ayam, dan bebek yang tinggal di sana. Setelah naik ke rumah mereka, kita bisa melihat batang demi batang bambu terbentang di sana. Batang-batang bambu itulah yang menjadi lantai rumah mereka. Saat berdiri di atas lantai, kita bisa melihat ke bawah melalui celah-celah bambu. Saat anak-anak berdiri di dalam rumah, kepala mereka sudah menyentuh atap rumah. Dapat kita bayangkan betapa sulitnya kehidupan mereka. Setiap keluarga di sana hidup seperti itu.

Pagi ini, Guru De Rong berkata, “Apakah anak perempuan itu masih ada?” Anak perempuan mana yang dimaksud? Dia adalah anak dari keluarga beranggotakan 14 orang. Berhubung keluarga mereka sudah kelaparan hingga tak mampu bertahan hidup, sang ibu dengan berat hati membeli racun dan memasukkan racun tersebut ke dalam makanan. Kebetulan, anak perempuan yang saat itu berusia tiga atau empat tahun tengah bermain ke luar sehingga hanya dia yang selamat. Tiga belas anggota keluarganya meninggal kecuali anak perempuan itu. Pada saat itu, kita melihat bagaimana sebuah keluarga yang hidup kekurangan hingga tidak mampu bertahan hidup.

Selain itu, Kamboja terkenal akan tiga hal, yakni banyak ranjau darat, banyak nyamuk, dan banyak ular. Di sana ada banyak ular dan nyamuk. Yang paling membahayakan adalah ranjau darat. Mengapa ada banyak ranjau darat di sana? Ini karena saat perang di Kamboja pada puluhan tahun lalu, banyak bom kupu-kupu yang disebarkan di sana. Bom tersebut sangat kecil dan berbentuk seperti kupu-kupu. Ia disebarkan di banyak tempat di Kamboja. Adakalanya, saat petani tengah menggarap sawah, mereka bisa tak sengaja menginjak ranjau darat. Karena itu, banyak warga setempat yang mengalami cacat. Jadi, pada saat itu, untuk memasuki wilayah tersebut, kita membutuhkan keberanian yang besar.

Dari mana keberanian itu muncul? Dari perasaan tidak tega melihat semua makhluk menderita. Beberapa insan Tzu Chi terus bolak-balik ke sana. Dari sejak pertama kali menginjakkan kaki di sana hingga tiga atau empat tahun berikutnya, insan Tzu Chi terus bolak-balik ke sana. Setiap kali pergi ke sana, kita membutuhkan sebuah tank sebagai pembuka jalan, lalu mobil kita akan mengikuti dari belakang sesuai dengan rute yang sudah mereka lewati agar terbebas dari ancaman ranjau darat. Jika tidak, maka sangat berbahaya.

Beberapa hari yang lalu, seorang kepala sekolah yang dahulu berprofesi sebagai guru berkunjung ke Griya Jing Si. Dia juga pernah mendampingi insan Tzu Chi dan menjadi penerjemah kita di Kamboja. Dia menceritakan banyak kisah pada saat itu. Dia masih mengingat dengan jelas seragam biru putih relawan Tzu Chi. Dalam dua hingga tiga tahun terakhir ini, saat kita kembali ke sana, pemandangan yang terlihat sudah jauh berbeda dengan dahulu.

Singkat kata, waktu terus berlalu. Kini kita juga melihat dan mendengar bahwa selama 4 hingga 5 tahun ini, Kamboja telah bangkit kembali. Kini, banyak investor asing yang membuka pabrik di Kamboja. Gedung setinggi belasan tingkat juga telah dibangun di sana. Kehidupan para warga di sana telah semakin sejahtera. Karena itu, kali ini ada sekelompok pengusaha Taiwan dari Kamboja yang kembali untuk menghadiri kamp pengusaha. Mereka berikrar untuk menyebarkan Tzu Chi di Kamboja dan berharap saya dapat mendukung mereka. Mereka membangkitkan ikrar dan tekad untuk membina semangat budaya humanis dalam kehidupan masyarakat setempat. Mereka juga berharap warga Tionghoa di sana dapat mempelajari ajaran Buddha dan semangat budaya humanis Tzu Chi. Inilah ikrar dan tekad yang mereka bangkitkan.

 

Perang saudara di Suriah mengakibatkan kepedihan dan penderitaan

Surga dan neraka bersumber dari pikiran manusia

Menebarkan benih kebajikan di Kamboja

Menyebarkan ajaran Buddha dan membentuk budaya humanis

 

Sumber: Lentera Kehidupan  - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Karlena, Marlina

Ditayangkan tanggal12 November 2014

 

Cara kita berterima kasih dan membalas budi baik bumi adalah dengan tetap bertekad melestarikan lingkungan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -