Seuntai Kalung Gelembung Air

Suatu ketika Buddha menceritakan kisah tentang seorang putri raja. Putri raja yang berumur 7 tahun itu sangat cantik dan pandai. Ia juga menjadi anak kesayangan raja. Suatu hari, ia pergi bermain di taman dengan ditemani oleh pengasuhnya. Setibanya di pinggir danau, ia begitu takjub melihat gelembung beterbangan. Air yang jatuh dari gunung menciptakan aliran jeram yang begitu deras. Kemudian ketika sinar matahari menyinari, gelembung-gelembung air tersebut menjelma menjadi pelangi yang berwarna warni.

“Waah… Indah sekali!” seru sang putri dengan riang. “Aku mau gelembung-gelembung itu,” ujar putri pada pengasuhnya. Tapi bagaimana mungkin, karena begitu disentuh maka gelembung itu akan pecah. Pengasuh berusaha menjelaskan hal itu pada sang putri, namun tiada guna. Sang putri raja menginginkan gelembung-gelembung tersebut. Hanya itu saja. Pengasuh yang malang itu tidak tahu harus bagaimana dengan permintaan yang aneh seperti ini, kecuali memberitahu raja.

“Apa… Gelembung-gelembung? Tidak ada cara mengambilnya. Itu tidak mungkin, Sayangku,” ujar sang raja. Putri pun tak berhenti merengek sehingga raja berkata padanya, “Tolong minta apa saja yang lain dan ayah akan memberikannya padamu. Gelembung itu.. melebihi kemampuan ayah. Ayah tidak punya cara untuk memberikannya padamu.”

Putri kecil tersebut dengan keras kepala menjawab, “Aku tidak mau yang lain, ayah. Aku cuma ingin gelembung-gelembung itu. Aku sangat menginginkannya, tapi ayah tidak mau memberikannya padaku. Menyedihkan sekali punya ayah sepertimu.” Ia lalu menangis tersedu-sedu.

Setiap hari putri kecil masih saja menangisi gelembung-gelembung itu. Kesedihannya membuat raja berusaha untuk melakukan sesuatu. Ia memikirkannya sendiri, “Mungkinkah keajaiban itu dapat terjadi? Adakah seseorang di kerajaan ini yang bisa menciptakan gelembung untuk putri kecilku? Akan aku umumkan. Bagi siapa pun yang bisa menciptakan hal itu, maka akan ku hadiahi apapun yang diidam-idamkan dalam hatinya.”

Begitu sayembara sudah disiarkan, banyak yang datang untuk memecahkan tantangan tersebut. Namun setiap orang gagal dan malah mendapat hukuman karenanya. Setelah berlarut-larut menggelar sayembara, putri kecil tersebut bertambah sedih. Akibatnya raja marah dan melimpahkan berbagai hukuman.

Suatu hari, seorang lelaki tua berkunjung ke istana dan berkata pada raja, “Saya dapat membuat seuntai kalung gelembung yang cantik yang diinginkan oleh putri kecilmu.”

“Benarkah?” sang raja amat senang mendengar kabar baik tersebut. “Tapi,” lelaki tua itu berkata, “saya ingin sang putri sendirilah yang mengambil gelembung-gelembung itu untuk saya.” Sang putri amat gembira dan dengan bersemangat berangkat bersama-sama orang tua itu  untuk mengambil gelembung-gelembungnya di danau.

“Mari tuan putri, lihatlah ini adalah cara yang akan saya buat untuk merangkai gelembung-gelembung Anda. Nah, gelembung yang mana yang anda inginkan?” Si Putri kecil tersebut melihat dengan seksama pada gelembung-gelembung dan kemudian menunjuk, “Yang itu! Aku ingin yang itu!”

Orang tua tersebut berkata, “Bagus, saya akan merangkainya untuk Anda. Tapi saya ingin Anda sendiri yang mengambilnya untuk saya. Cukup berikan gelembung pilihan Anda itu pada saya dan saya akan membuatkan seuntai kalung darinya.”

Sang putri kecil tersebut menjangkau berusaha meraih gelembung, namun begitu tangannya menyentuhnya, gelembung langsung pecah. Ia mencoba lagi dengan gelembung yang lain, tapi yang satu itu pun pecah juga. Ia berusaha sepanjang hari, namun setiap gelembung yang ia sentuh selalu pecah.

Karena hari sudah mulai menjelang petang dan langit sudah mulai redup. Orang tua tersebut berkata pada putri, “Tuan putri, sekarang sudah malam. Kita sudah berada di sini sepanjang hari, tapi mengapa Anda belum juga bisa memberikan saya gelembung untuk dirangkai?” Putri raja kecil tersebut menatap ayahnya yang berdiri bersebelahan dengannya dan berkata, “Anda tidak bisa mengeluarkan gelembung dari air. Jadi bagaimana bisa dibuat jadi seuntai kalung?” Sang raja menjawab, “Benar, anakku. Gelembung-gelembung air tidak dapat dibuat menjadi kalung. Tidak mungkin. Jadi, mana mungkin aku  dapat memberikan apa yang kau minta?”

Lalu orang tua tersebut berkata pada putri kecil, “Tuan putri, walaupun gelembung tersebut bisa dibuat menjadi kalung, namun itu tidak akan menjadi benda yang terindah di dunia. Yang paling indah berasal dari sukacita dan ungkapan syukur. Jika Anda merasa senang dan berterima kasih maka hati Anda juga menjadi sangat indah. Itu adalah hal terindah di dunia yang tidak akan pernah bisa diambil oleh orang lain.” Penjelasan orang tua tersebut lalu membuka pemahaman sang putri, ia mengerti bahwa menginginkan sesuatu yang tidak mungkin diraih adalah  penderitaan.  

Setelah Buddha menyelesaikan ceritanya, ia berkata kepada murid-muridnya, “Kita semua harus paham bahwa segala hal di dunia ini adalah tidak abadi, dan hanya berlangsung sementara. Segala hal datang silih berganti. Namun, ketidaktahuan kita membuat kita menjadi sangat bergantung dengan hal tersebut. Inilah yang mengakibatkan penderitaan.

Segala hal di dunia ini adalah perpaduan dari beragam elemen. Jika elemen itu dipersatukan, maka akan terbentuk satu material. Akan tetapi jika elemen tersebut dipisah, maka material tersebut tidak lagi ada. Inilah sifat dari segala sesuatu yang ada di dunia. Namun karena perasaan akan material tersebut timbul di dalam kita maka kita dengan mudah melekat pada mereka.

Seperti ketika kita bercermin. Kita melihat wajah kita di cermin, namun apakah bayangan di dalam cermin adalah “wajah nyata”? Itu memang wajah kita yang dipantulkan kembali. Apabila kita memindahkan cermin untuk memantulkan gunung, kita pun dapat melihat dengan jelas bayangan gunung pada cermin. Namun  apakah gunung pada cermin tersebut adalah gunung yang sesungguhnya? Pantulan tersebut dihasilkan oleh komponen-komponen kaca dan gunung, belum lagi elemen yang membentuk kaca tersebut. Lalu dapatkah kita mengatakan bahwa gambar tersebut nyata? Itu bukan benda sebenarnya. Komponen-komponen yang tergabung baik dari objek, bagaimanapun, menyebabkan timbulnya sensasi atau perasaan, dan kita menjadi terjebak dalam perasaan tersebut.

Lalu apakah ada yang perlu dicemaskan? Jika kita dapat memahami kebenaran ini, kita benar-benar tersadarkan. Setiap hari dalam hidup kita, apabila kita dapat hidup dengan kesadaran maka kita dapat merasakan hal-hal yang sungguh murni di sekitar kita.

sumber: www.tzuchi.org

Diterjemahkan oleh: Susy Grace Subiono (Tzu Chi Sinarmas)

Penyelaras: Metta Wulandari

Mendedikasikan jiwa, waktu, tenaga, dan kebijaksanaan semuanya disebut berdana.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -