Delapan Jejak Kaki di Ladang


Di mana letak nilai kehidupan kita?  Kita hendaknya mengetahui dan mengevaluasi sendiri di mana letak nilai kehidupan kita. Dari mana kehidupan kita berasal, apa yang harus kita lakukan di dunia ini, dan di mana arah kehidupan kita. Kita juga harus berpikir ke mana kita akan pergi di kehidupan mendatang. Baik di masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan, kita harus sangat bersungguh hati untuk mengevaluasi apa tujuan dari hidup kita.

Kita terlahir ke dunia ini untuk membawa manfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, atau hanya melewati hidup tanpa makna? Hanya kita sendirilah yang paling mengenal diri sendiri. Setelah berintrospeksi atas kesalahan masa lalu, kita hendaknya mencari arah tujuan kita selanjutnya. Setelah mendalami prinsip kebenaran, kita harus memastikan apakah kita sudah berjalan sesuai dengannya. Ini sangatlah penting.

Sesungguhnya, Buddha sudah menjelaskan kepada kita bahwa di dalam diri setiap orang terdapat permata berharga dan hakikat kebuddhaan. Setiap orang memiliki sifat hakiki dan kebijaksanaan yang setara dengan Buddha sehingga dapat memahami  semua prinsip di alam semesta. Dengan kebijaksanaan dan kesadaran yang setara, Buddha sudah mencapai pencerahan, mengapa kita sebagai manusia awam masih terus hidup dalam ketidaktahuan dan pikiran kita masih bergejolak mengikuti kondisi luar?

doc tzu chi

Kita tidak tahu dengan jelas di mana arah kehidupan kita. Kita sudah mempelajari ajaran Buddha serta sudah mendengar dan meyakini setiap orang memiliki hakikat kebuddhaan, tetapi sering kali kondisi luar dalam keseharian menciptakan noda batin dan menutupi hakikat kebuddhaan kita. Saat cahaya kebijaksanaan tak dapat memancar keluar, maka kondisi luar akan berantakan. Ini sama seperti kita membuang permata ke lubang yang kotor. Ini karena kita tidak tahu untuk tekun dan bersemangat.

Ada seorang pria yang memiliki  sebidang lahan yang sangat besar. Akan tetapi, pria ini sangat malas. Dia membiarkan lahannya terlantar begitu saja. Dia selalu berpikir mengapa lahan orang lain ditumbuhi tanaman yang begitu cantik. Mereka juga selalu panen pada waktunya. Dia berpikir, "Sayang sekali jika lahan saya ditelantarkan begitu saja."

Dia pun pergi melihat bagaimana cara orang lain bercocok tanam. "Kita membutuhkan sapi untuk menarik bajak guna menggemburkan dan membalikkan tanah. Tanah harus digemburkan dan diratakan. Setelah itu, baru kita menaburkan benih. Selain itu, juga dibutuhkan air." Setelah mendengarnya, pria itu memutuskan untuk mencobanya.

doc tzu chi

Dia mulai membersihkan lahannya. Dia membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di lahannya. Setelah itu, dia menggemburkan tanahnya. Tanahnya juga sudah diratakan. Lalu, dia mulai menaburkan benih. Dia berpikir, "Jika saya menaburkan benih di atas tanah yang rata dan gembur ini, saat kedua kaki saya menginjaknya, maka tanah ini akan kembali keras. Hasil panen saya harus melebihi orang lain."

Dia mempekerjakan empat orang untuk memanggulnya, sementara dia duduk di sana untuk menabur benih. Orang-orang yang melihatnya pun merasa heran. Dengan sangat bangga dia berkata, "Lihatlah, saya tidak perlu menginjakkan kaki saya pada saat menabur benih sehingga tanah saya tetap sangat gembur." Orang-orang menertawakannya. Demi menghindari injakan kedua kakinya, dia malah menambah 8 kaki untuk menginjak lahannya.

doc tzu chi

Inilah manusia awam. Manusia awam selalu merasa dirinya paling pintar. Contohnya sebidang lahan itu. Mulanya, pria itu malas bercocok tanam sehingga membiarkan lahannya terlantar. Akan tetapi, setelah memutuskan bercocok tanam, dia malah tidak mengikuti tata cara dan berbuat sesuka hatinya. Karena itulah, dia melakukan kesalahan besar sehingga tujuannya tidak tercapai. Ini adalah kekeliruan.

Kita sungguh beruntung karena dalam hidup ini, kita berkesempatan mendengar Dharma. Inilah nilai dari kehidupan kita. Namun, apakah kita sudah bersungguh hati? Setelah mendengar Dharma, apakah kita sudah menerapkannya dalam keseharian? Hanya kita sendiri yang tahu. Karena itu, kita harus mengevaluasi diri apakah kita sudah menggenggam setiap detik dengan baik. Apakah setiap langkah kita sudah sesuai dengan Dharma atau tidak. Hanya kita sendiri yang tahu jawabannya.

Janganlah kita membuang permata di dalam diri ke dalam lubang yang kotor. Kita harus tahu untuk mengasihi diri sendiri karena sedikit kelalaian saja dapat mendatangkan penyesalan tak terhingga. Waktu yang sudah berlalu tak dapat kembali lagi. Karma yang sudah tercipta akan mengikuti kita selamanya.

Gambar: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV Indonesia).

Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina.
Meski sebutir tetesan air nampak tidak berarti, lambat laun akan memenuhi tempat penampungan besar.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -